Wednesday, October 2, 2019

Tenggang Rasa

Tenggang rasa.

Masih menempel pada memori otak, saat Ibu Hetty, guru PMP semasa SMA kelas 1 tentang tenggang rasa. Tenggang rasa adalah adalah suatu sikap hidup dalam ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang mencerminkan sikap menghargai dan menghormati orang lain. Contohnya, bila ada tetangga kita ada yang meninggal dunia, tidak pantas kita menyetel musik dangdutan keras-keras. Bila teman sedang terkena musibah, jangan lantas kita berjoget atau teriak-teriak meniru penyanyi hip hop serasa menjadi rapper.

Istilah tenggang rasa  atau toleransi di zaman sekarang tidak sulit ditemukan. Banyak hal-hal yang kita lakukan sebagai upaya tenggang rasa atau toleransi terhadap orang-orang di sekitar kita. Tenggang rasa adalah implementasi dari rasa empati, yang sudah ada dengan sendirinya di dalam setiap manusia yang berakal sehat. Sejatinya, orang yang berakal sehat pasti mempunyai empati sehingga mampu untuk tenggang rasa. Sebaliknya manusia yang tidak mempunyai empati, dipastikan orang tersebut akal sehatnya sedang sakit.

Ironisnya, karena akal sehatnya sedang sakit, maka rasa empati orang tersebut juga mati atau dimatikan. Dia tidak peduli dengan penderitaan dan rasa sakit orang-orang di sekitarnya. Tak sedikitpun menunjukkan perasaan sedih atau ikut berduka. Bahkan, dia makin puas jiwanya saat banyak orang menyesalkan matinya rasa empatinya.

Tenggang rasa adalah manisfestasi dari Sila Kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagai manusia yang mengaku Pancasila sebagai dasar negara. Kita harus mampu menumbuhkan dan menjaga sifat dan perilaku untuk bertenggang rasa terhadap sesama anak bangsa. Mampu berbuat adil terhadap diri sendiri dan adil terhadap orang lain. Tidak usahlah menunjuk dada, mengepal tangan dan berteriak: Saya Pancasila, tapi sifat perilaku, kelakukan, perbuatan dan omongan kita tidak mampu mengamalkan sila kedua dari Pancasila.

Manusia yang tidak mempunyai tenggang rasa, berarti tidak mempunyai empati. Menunjukkan manusia seperti itu sudah mati rasa. Tidak peka terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya dan lebih memilih menyibukkan diri sendiri untuk mencapai kepentingannya sendiri. Matinya empati, menunjukan matinya hati, matinya akal sehat.

2102019
Dess

No comments:

Post a Comment