Thursday, January 31, 2013

Bapak Wafat tapi Tetap Hidup

1991
Sudah cita-cita dari sejak lama Apa (Bapak) dan Emak berangkat ke tanah suci Mekah. Menunaikan rukun Islam yang kelima. Biaya ongkos naik haji, diperoleh bukan dengan cara mudah.  Tapi melalui pengorbanan yang tidak sedikit.  Sawah tempat "ngantor" Apa, dan ladang tempat mendapatkan makan sehari-hari dan biaya sekolah kami kudu berpindah tangan.  Karena, dijadikan areal industri.



Uang hasil penjualan sawah, cukup untuk ongkos naik haji Apa dan Emak berdua. Mereka berdua langsung daftar berangkat haji melalui pesantren Albidayah di Cangkorah yang waktu itu dipimpin oleh Pa Kiai Yayat. Berdua setiap Sabtu Apa dan Emak, latihan manasik haji di pesantren tersebut. Senyum cerah, selalu terpancar dari bibir Apa dan Emak.  Mungkin, sudah membayangkan akan nikmatnya beribadah di tanah suci.

Hampir setiap saat, selepas sholat atau setiap waktu luang.  Apa dan Emak, membaca buku tuntunan manasik haji dari Departemen Agama. Sebuah buku kecil, namun cukup tebal berisi doa dan ritual selama ibadah haji.  Sambil duduk di teras rumah atau duduk di kursi meja makan, mereka berdua menghapalkan doa-doa manasik bersama-sama.  Kadang-kadang, Emak dituntun oleh Apa untuk menghapalkan satu doa yang cukup sulit dihapalkan.  Penuh pengertian dan kesetiaan serta kesabaran yang amat sangat, Apa mengajari Emak membaca doa-doa manasik tersebut. Bila, salah atau sulit mengucapkan. Emak dan Apa tertawa berdua...

Saya dan Asep, adik saya yang masih tinggal di rumah.  Sementara kelima Kakak sudah jauh merantau. Kakak kesatu, keempat dan kelima di Jakarta, sedangkan kakak kedua dan ketiga masih di Batujajar. Masih teringat, Apa setiap malam bertahajud dan berdzikir. Bila, adzan shubuh, terdengar suara kunci dan handle pintu yang terbuka.  Menandakan Apa pergi ke mesjid. Saat terbangun, Apa sudah duduk di atas kursi meja makan.  Tampak, kopi buatan Emak mengepul asapnya. Harum, maklum kopi asli buatan Emak sendiri. Dipetik dari belakang rumah, dijemur, digarang dan ditumbuk halus, dan disaring sendiri oleh Emak. Sambil menikmati sepiring ubi rebus.  Apa memegang buku manasik haji, dengan kacamata yang selalu bertengger di atas hidungnya bila membaca.

Ada satu kebiasaan kurang baik yang hilang saat Apa akan berangkat haji.  Alhamdulillah, Apa berhenti total dari kebiasaan merokoknya.  Badannya terlihat sangat segar, wajahnya putih bersinar. Kumisnya dicukur habis, dengan tahi lalat di sudut bibir kanan. Ciri khas Apa, tahi lalat itu.  Kebalikan dari saya, tahi lalat terletak di sudut kiri bibir.  Setiap pagi, selesai mutolaah membaca buku manasik.  Apa berkeliling, jalan pagi-pagi. "Latihan, Sa'i dan Melempar jumroh.  Sekalian memohon maaf, doa restu dari seluruh kampung!", ujarnya.

Ya, Apa sebelum berangkat haji.  Berdua dengan Emak, sambil berolah raga pagi memakai training. Berkeliling ke tetangga dan orang2 di kampung untuk meminta maaf dan memohon doa restu mereka.  Kebalikan dengan kebiasaan orang-orang sekarang, dengan istilah "Walimatul Safar". Orang-orang kampung dan tetangga dekat yang kudu datang bertandang ke tempat orang yang akan berangkat haji. Terkadang sambil membekali amplop berisi sejumlah uang untuk orang yang akan berangkat haji tersebut. Aneh! Padahal sebaiknya, orang yang akan berangkat haji yang berkeliling kampung sambil bersilaturahmi dan berolah raga meminta maaf ke para tetangganya.  Sambil, melihat adakah tetangganya yang masih kelaparan atau tidak.

Man propose, God disposses. Manusia berencana, Tuhan menentukan.
Makin mendekati hari H keberangkatan.  Seperti biasa, semua calon jemaah haji. Kudu diperiksa kesehatannya. Hasil pemeriksaan, ternyata Emak menderita kencing manis. Kondisi Ibunda langsung drop.  Bahkan beberapa kali dirawat di RS Asadyra. Apa, terlihat sangat "down" dengan kondisi Emak.  Walaupun, disembunyikan pada saat menjenguk Emak di rumah sakit. Mata apa terlihat berair, beberapa kali beliau berusaha mengusap air matanya. Melihat kondisi Emak yang terbaring di atas ranjang.

Kesetiaan Tanpa Batas

"Pokoknya, Apa harus berangkat. Walaupun tanpa Emak!", kata Emak, sambil menangis.
"Masa, Apa tega berangkat sendiri. Sementara Emak di rumah sakit. Tenang aja Mak, Emak pasti sehat. Kita pasti berangkat bareng ke Mekah!", jawab Apa.

Emak beberapa kali, kondisinya mengali naik turun. Sampai pada hari H, dipastikan Apa dan Emak bisa berangkat bareng.  Tapi, entah karena stress karena akan berangkat. Atau memang Tuhan berkehendak lain.
Pada saat adzan pemberangkatan yang dikumandangkan oleh seorang santri yang dibawa Buya (mertua dari Pesantren Keresek Cibatu Garut). Apa berdiri di pintu. Berpeci hitam, berbatik hitam putih. Selendang putih pemberian dari Buya tersangkut di lehernya. Seluruh warga kampung Babakansari, tumplek dan berbaris rapi di sepanjang jalan keberangkatan. Saat adzan berkumandang.  Semuanya tak kuasa menahan tangis....

Betapa tidak, Apa yang tetap harus berangkat sendiri ke Mekah.  Sementara Emak malah kembali harus masuk rumah sakit. Pada hari yang sama! Semuanya, merasakan kepedihan dan kesedihan kami sekeluarga. Yang ditinggal oleh mereka berdua, dengan kondisi dan tempat yang dituju berbeda pula. Saat Apa, berkeliling bersalaman sambil diiringi sholawat.  Seluruh warga menangis, dan memeluk apa.  Beliau memang orang baik, selalu ringan tangan menolong orang kampung dalam segala hal. Beliau sangat dekat dengan semua usia; kakek-nenek, tua-muda, bahkan anak-anak kampung semuanya dekat dengan Apa. Tak segan, anak-anak saling menggoda, dengan panggilan akrab Pak Eman!

Tiba di pesantren Albidayah, tempat pemberangkatan Apa menuju Pondok Gede, penginapan sementara calon jemaah haji. Carry putih Bang Randi (kakak ipar), dengan amat sangat terpaksa harus langsung menuju rumah sakit. Membawa Emak yang kondisinya sangat drop. Kami terpecah dua bagian, satu bagian mengantar Apa masuk ke dalam Bis.  Apa tampak sangat terpukul, matanya tak henti berurai air mata! Berusaha melambaikan tangan, dengan senyum dipaksakan.

Pergi Tak Kembali

Dua minggu setelah keberangkatan Apa ke tanah suci. Kami bergantian, menunggui Emak di rumah sakit.  Handphone belum ada waktu itu.  Kalaupun ada masih berbentuk seperti radio PCB milik militer. Jadi kami belum pernah mendapatkan kabar dari Apa. Apa dan bagaimana keadaan beliau di Mekah.  Emak, dalam sakitnya seringkali menanyakan Apa.  Beliau seringkali menyesali diri. "Kenapa Emak mah, malah masuk rumah sakit? Bukannya ke Mekah?".  Kami hanya bisa menangis...berusaha menghibur dengan segala cara dan meminta Emak untuk bersabar.

Karena harus bekerja, semua kakak saya harus kembali ke jakarta. Jadi Emak, akhirnya dibawa ke rumah kakak yang paling besar, Asih di Cijantung, Jakarta Timur. Dengan alasan biar mudah untuk dirawat dan dijaga kondisinya.  Saya, istri dan adik saya bertugas menjaga rumah.

Siang terasa sangat panas, terik sekali waktu itu. Rasa gerah. Rumah seperti terasa sepi. Sementara, istri saya sedang menyuapi Danial. Anak pertama saya yang waktu itu baru berusia sekitar 8 bulan. Adik saya masih sekolah. Rumah, mendadak terasa sunyi. Sepi. Ada yang kosong dari jiga. Ada yang hilang. Entah kenapa. Tampak, 2 hari terakhir Kang Encep (kakak ipar) dan Kang Asep Arifin tetangga di depan rumah saya. Bolak-balik dan duduk di kursi depan rumah.  Terdiam. Membisu seperti kebingungan.  Karena sibuk, menunggui Emak, saya pun kurang memperhatikan hal itu.

Hari beranjak sore, keanehan dan rasa tidak enak mulai muncul saat Kang Asep Aripin (Daseng), Pak Elon dan Kang Encep bertandang ke rumah.  Jantung tiba-tiba berdegup kencang.  Sepertinya rasa tidak nyaman yang dirasakan sedari tadi pagi menjadi kenyataan. "Den, Enung, Asep...kudu sabar...!" Kang Asep memulai pembicaraan. Tapi, tidak berlanjut...matanya basah. Begitupun mata Kang Encep, mengucur dengan derasnya. Pak Elon yang waktu itu Ketua RT, akhirnya melanjutkan. "Jodo, pati, bagja, cilaka sudah digariskan oleh Allah SWT...sebenarnya ada kabar dari pesantren  Cangkorah, ada jemaah haji yang wafat!"

"Dugh...!" jantung serasa terhenti. Tidak dilanjutkan pun saya sudah bisa menduga. Apa! Serasa disambar petir di siang bolong! Apa wafat! Benarkah? Ah, Masa??? Tidak Mungkin! Aneka perasaan berkecamuk dalam diri. Sementara Emak belum sembuh dari sakit, baru ditinggal ke Mekah. Ditambah sekarang ditinggal wafat! Allahu Akbar!

Berusaha menguatkan diri, tapi tetap tidak percaya. Saya tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh mereka bertiga. Namun, air mata dan kekosongan jiwa yang dirasakan tidak bisa membohongi diri sendiri. Saya tetap berusaha tabah. Istri, saya langsung menangis. Dia langsung menelepon Buya di Cibatu. Mengabarkan kabar buruk tersebut.

Magrib menjelang, suasana makin sepi. Buya dan Umi dari Cibatu sudah tiba. Saya dengan ditemani Pak Jaka dan Kang Encep langsung menuju Cijantung. Tiba di Cijantung sekitar jam 9 malam. Di sana Iyan dan Aush, kakak saya sudah menunggu di rumah Asih, kakak tertua. Saya langsung menuju asrama haji Pondok Gede untuk memastikan wafatnya Apa.  Tiba di atas, langsung melihat para jemaah yang wafat hari itu. "Degh....!" mata langsung tertumbuk pada nama EMAN SULAEMAN! Nama Apa, saya terdiam. Tak bisa berkata apapun. Tapi, dalam hati tetap tidak percaya, dan yakin. Seyakin-yakinnya Apa masih hidup!

Beliau mungkin memang wafat, tapi karena saya tidak pernah melihat sosok tubuh jenazah dan tidak menguburkannya. Makanya, sampai sekarang saya tetap menganggap Apa masih hidup. Namun, di alam yang lain.  Mungkin, saat saya menceritakan ini. Apa dan Emak melihat dari alam sana dengan penuh kebahagiaan. Amien...!

Sawah, Gasrok, Urek, Tutut, Urab Kacang Panjang...

1980
Pagi hari yang cerah, dinginnya udara yang menyelusup ke pori-pori kulit. Sedikit terhangatkan oleh sorot sinar mentari yang tersenyum genit. Di tengah hamparan sawah nan luas, dengan padi yang menghijau ranau.  Atap langit biru dengan sapuan awan tipis serta tiupan angin halus menambah kesejukan pagi itu. Beberapa orang petani tampak duduk berkelompok, dengan pakaian sederhana seadanya.  Teramat lusuh, dekil dan kotor oleh lumpur sawah.  Mereka sungguh asyik masyuk, melahap santapannya di atas kertas nasi dengan botol aqua plastik di sampingya. Suap demi sesuai nasi yang dimasukkan ke dalam mulut, benar-benar dinikmati dengan penuh syukur. 


Melihat kenikmatan makan di tengah sawah, dengan duduk di atas pematangnya. Mengingatkan pengalaman masa kecil dulu bersama Bapak dan Emak.  

Pada saat masa menyiangi padi (Sunda: Ngagasrok, Ngarambet). Seringkali diajak oleh Bapak pergi ke sawah dan sedikit membantunya. Beriringan mengikuti langkah Bapak. Sama-sama di atas bahu digantungkan gasrok, yaitu sebuah alat yang keseluruhannya terbuat dari kayu; panjang gagangnya sekitar 1,5-2 meter, yang diujungnya dipasang kayu berukuran 20x30x5 cm yang  dibuat sedemikian rupa sehingga paku-paku yang dibengkokan bisa ditancapkan di bagian bawahnya untuk "menggaruk" sekaligus "menarik" gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi.

Tidak seperti anak-anak sekarang yang menganggap lumpur sawah itu kotor.  Saya, justru paling suka bermain lumpur di sawah dengan gasrok. Bila, terlalu bosan dan letih.  Sambil beristirahat, mencari belut dengan sebuah alat yang disebut "urek". Urek, alat untuk memancing belut, terbuat dari senar yang dianyam, dengan ujungnya terbuat dari peniti yang dibengkokan atau kail yang diberi umpan cacing. 

Kadang sambil menunggu ayah selesai menggasrok sawah. Berburu menangkap capung yang waktu itu sangat banyak jenis dan warnanya adalah aktifitas lain yang dilakukan. Sekarang baru, ngeh.  Ternyata di sawah sekarang sudah sangat jarang ditemukan capung. Mencari tutut, atau keong sawah adalah permainan lain yang mengasyikkan. Tutut tersebut, saat tiba di rumah menjadi santapan bersama dengan bumbu kunyit, warna kuning yang gurih. "Mainan" lain yang cukup mengasyikkan adalah mengoleksi serangga sebangsa kepik, juga jenis dan warnanya beraneka ragam. Pun sama, kepik yang dimaksud sepertinya sudah tidak ditemukan di sawah-sawah.

Sengatan panas matahari yang terik, tidak menjadikan takut kulit menjadi hitam. Matahari justru dijadikan sahabat sebagai alat untuk menentukan kapan waktu istirahat, waktu pulang dan waktu sholat. Emak, yang datang sekitar jam 8-9 pagi datang belakangan ke "kantor" Bapak. Kepalanya ditutup dengan "samping kebat" atau kain panjang yang warna merah dengan motif burung merak. Di bahu Emak, tersangkut juga sebuah kain panjang. Di tengah-tengsh kain di atas punggung, tersangkut bakul nasi dari anyaman bambu, (Sunda: Boboko) yang ditutupi daun pisang yang sudah dipanaskan sehingga mudah dibentuk dan lentur. Tidak keras seperti saat basah.

Tangan kiri Emak membawa teko air dari alumunium yang ujungnya juga ditutup daun pisang yang dikerucutkan dilubang air, sehingga  air di dalam teko akan tetap panas. Biasanya air teh tubruk, bukan teh celup seperti sekarang. Di leher teko, tersangkut telinga 2 cangkir kaleng untuk minumnya. Di tangan kanan Emak, susunan rantang yang berisi lauk pauk. Biasanya terdiri dari goreng jengkol, sambal goreng terasi,  ikan pindang deles yang digoreng dengan telur, serta makanan wajib yang super nikmat "urab kacang panjang".  Masakan Emak, walaupun sederhana tapi sangat lezat dan sedap. 

Kalau Emak, sudah tampak dari kejauhan. Bergegas saya berlari-lari kecil, di atas pematang sawah. Dengan ujung ibu jari kaki yang ditancapkan ke atas tanah agar tidak licin. Baju kemeja dekil yang kekecilan, berkibar-kibar di bagian perut karena kancingnya sebagian sudap tiada. Dalam hati, langsung bersorak, asyik makan! Bapak, yang sedang menggasrok pun. Segera menghentikan "mainan" gasroknya sejenak. Langsung menuju ke pematang sawah, dimana Emak sudah mempersiapkan makan. 

Waktu makan normal di sawah adalah jam 8-9 pagi. Masih pagi memang sepertinya tapi menurut perkiraan waktu dan kebiasaan petani.  Itu adalah titik optimal bekerja, karena beratnya kerja di sawah. Lapar bisa dikatakan sudah di puncak ubun-ubun. Nanti, sekitar jam 10-11 pagi.  Emak akan menyuruh Kakak perempuan, mengantarkan kopi dan makanan ringan.

Setelah mencuci tangan di selokan yang mengalir di pinggiran pematang. Bapak dan saya langsung menyikat habis makanan yang disuguhkan Emak. Cukup dialasi daun pisang atau piring seng, duduk di atas pematang sawah. Di bawah terik matahari dan tiupan angin segar. Tapi nikmatnya makan di sawah seperti itu, selalu terbayangkan sampai saat ini.

Masih terasa, harum dan gurihnya urab kacang panjang buatan Emak di lidah. Bahkan, seringkali saya meminta istri untuk membuat masakan urab kacang panjang seperti itu.  Tapi, tetap tidak menemukan rasa yang tepat. Sambel goreng terasi buatan Emak juga sangat sedap. Pedas dan manisnya pas, sehinga goreng jengkol yang telah dipotong kecil2 dengan lancarnya masuk ke dalam mulut. Dengan susulan suapan nasi panas-panas dari jemari. Ikan pindang deles goreng yang dibalut telur menjadi sajian tersendiri yang menambah kenikmatan makan.

Dengan setia dan telaten, Emak menambahkan nasi bila Bapak atau saya masih lapar. Emak, menuangkan teh panas dari teko ke dalam cangkir kaleng yang catnya sudah codet di sana sini. Harum, tercium dari uap panas teh tersebut.  Saat meminumnya, Subhanallah...ibaratnya minuman dari surgalah yang diberikan oleh Emak.  Padahal cuma teh tubruk panas cap Poci. Sesekali, Emak dan Bapak membahas obrolan ringan perkara sawah, padi, hama, irigasi dan sejenisnya yang waktu itu tidak saya mengerti.

Saat melihat para petani yang sedang makan di sawah sekarang, seperti ada yang hilang.  Mereka tidak lagi makan memakai daun atau piring seng.  Bekal minuman mereka, bukan lagi memakai teko alumunium dan cangkir kaleng. Alas nasi mereka telah tergantikan dengan kertas nasi, yang praktis langsung di buang. Dan menjadi sampah anorganik yang tidak bisa dihancurkan oleh mikroorganisme. Botol plastik berisi air putih telah menggantikan teko alumunium dan seduhan teh panas. Capung-capung yang beraneka warna dan bentuk pun sepertinya telah punah. Burung bangau yang sesekali melintas di sawah masa lalu, pun telah tiada.

#teriring salam dan sujud pada Apa dan Emak...I miss you! TT

Wednesday, January 2, 2013

Tukang Cuci Mobil Menghajikan Orangtuanya

Tukang Cuci Mobil Menghajikan Orangtuanya

Saat mengayuh pedal ke Puncak Darajat beberapa waktu lalu, seperti biasanya kami mengobrol dan berbagi pengalaman. Cerita suka duka hidup yang pernah dialami dan sangat membekas dalam ingatan masing-masing. Satu dari teman kami menceritakan pengalaman pribadinya.

"Sampai sekarang, dalam ingatan saya tersimpan kenangan kepahitan masa lalu. Alhamdulillah, masa-masa yang penuh perjuangan hidup itu telah berlalu," ujar Mang Budi, mulai bercerita. Kalimat yang mengalir di sela deru nafas yang teratur. Tidak ngos-ngosan, tidak terlihat lelah karena latihan demi latihan dinikmati dengan gear seringan mungkin. Menggunakan power seminimal mungkin, mengandalkan putaran kaki seringan mungkin. Lambat memang, tapi praktis jadi berhemat tenaga.

"Semasa sekolah dulu, masa remaja saya tidak sebahagia dan seceria seperti remaja lain.  Bapak saya, seorang sopir omprengan. Penghasilan beliau tidak menentu. Kadang jadi sopir truk, sopir angkot atau sopir truk sayur. Bahkan, seringkali karena tidak kebagian shift Bapak harus menganggur satu bahkan sampai dua bulan." Mang Budi melanjutkan ceritanya, dia menjejeri saya.

"Emak saya, pekerjaannya tukang bersih-bersih di sebuah puskesmas. Tugas Emak adalah menyapu, membersihkan dan mengepel lantai puskesmas.  Penghasilan Emak saya, tidak jauh berbeda dengan penghasilan Bapak. Tidak mencukupi untuk biaya keperluan makan apalah untuk membiayai sekolah saya. Akibatnya, bukan sebulan, dua bulan bahkan tiga bulan. Seringkali saya harus menunggak biaya sekolah, karena Bapak dan Emak tidak mempunyai cukup uang untuk membayar SPP sekolah." Mang Budi, nada suaranya bergetar. Namun, dia tetap berusaha tersenyum di sela-sela untaian kalimat-kalimat bernada pahit yang pernah menjadi bagian keseharian kehidupan masa lalunya.
Mang Budi, sekarang sudah menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan pembangkit listrik asing dengan gaji lebih dari cukup.

"Waktu itu, untuk membantu meringankan beban orangtua. Saya menjadi buruh cuci mobil di sebuah pemandian mobil. Atau bahkan, untuk menghemat ongkos.  Seringkali  saya harus berjalan kaki pulang ke rumah dari sekolah yang berjarak hampir 15 km. Mulut kering karena haus, dan perut yang lapar karena belum makan seharian, menjadi tantangan tersendiri saat harus pulang berjalan kaki.  Tiba di rumah, saat adzan magrib berkumandang." Mang Budi, katanya yang dulu tubuhnya kurus kering karena kurang gizi. Berkulit hitam karena terbakar matahari. Sekarang, sudah bertubuh subur, berkulit putih lengkap dengan janggut yang dibiarkan tumbuh subur menutupi dagunya.

"Setiap hari, saat saya berangkat atau pulang sekolah. Saat melewati Puskesmas tempat Emak bekerja  Hati dan batin saya seperti diiris-iris sembilu. Perih.  Saat melihat Emak sedang menyapu atau mengepel lantai Puskesmas. Seringkali saya harus menahan mata yang berembun saat melihatnya. Telapak tangan seringkali mengusap butiran air mata yang mendadak keluar saat melihat perjuangan Emak demi menafkahi dapur dan  membiayai sekolah saya. Terbersit rasa malu, rasa bersalah dan ingin berhenti sekolah. Karena telah merepotkan Emak. Tapi,  hati kecil berkata lain. Saya harus sekolah, dan harus berhasil mengubah nasib dan keadaan." Saya, tidak bisa melihat mata Mang Budi mengembun, terbawa emosi. Karena terhalang kacamata hitamnya. Tapi dari nadanya yang papan dan penuh perasaan dapat dirasakan.

"Alhamdulillah, walaupun susah payah karena tidak ada biaya, saya bahkan hampir drop out. Namun dengan segala kepahitan, menahan rasa malu oleh sekolah, oleh guru dan oleh teman-teman karena terlalu sering menunggak iuran sekolah. Perjuangan karena harus menahan dahaga dan lapar karena tidak punya uang untuk jajan. Akhirnya, saya bisa menyelesaikan sekolah saya di sebuah STM.  Berkah dari rasa sayang, rasa hormat dan perjuangan keras Bapak dan Emak saya, juga hasil kerja keras nyambi sebagai buruh cuci mobil untuk membantu membayar iuran sekolah.  Alhamdulillah, akhirnya setelah lulus saya bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan Amerika waktu itu (sekarang milik China)."

"Dengan gaji yang waktu itu tidak seberapa. Setelah beberapa tahun kemudian saya menikah dan membuka warung kecil-kecilan. Alhamdulillah, warungnya maju pesat. Setiap ada kelebihan, saya menabung. Sedikit demi sedikit, akhirnya uang terkumpul cukup untuk membalas budi baik Bapak dan Emak saya. Jujur saya akui, saya tidak pernah membeli sesuatu yang tidak penting-penting banget. Kalaupun harus membeli barang yang diperlukan, saya membeli sesuai dengan uang yang ada. Saya, tidak ingin terjerat riba dengan bank. Akhirnya saat yang dinantikan tiba. Uang tabungan saya cukup untuk menghajikan Bapak dan Emak. Saat saya utarakan maksud saya kepada mereka berdua. Bapak dan Emak saya tidak berkata apapun. Hanya pelukan erat dan tangis mereka, sebagai ungkapan terima kasih. Saya balas peluk erat mereka, terbayang saat Emak sedang mengepel lantai Puskesmas setiap saya berangkat. Alhamdulillah, saat itu saya melihat Emak dan Bapak saya bisa tersenyum bahagia!" Mang Budi mengakhiri ceritanya, saat kami tiba di penghabisan tanjakan Toblong, Darajat...