Monday, December 17, 2012

Kepingan Mutiara Retak Sang Ustadz






"Panggil saja saya, Ustadz Birin", jawabnya saat ditanya namanya.  Ia adalah sosok manusia yang mungkin sudah langka di zaman edan sekarang ini. Di saat manusia berlomba mengejar harta dan kekayaan.  Ia asyik masyuk, dalam dunianya sendiri. Berjuang, tanpa lelah mencerdaskan tunas bangsa. Yang berserak di kampungnya! Anak-anak bangsa yang haus akan pendidikan.

Pertemuan dengan Ustadz Birin diawali saat kami, akan menyampaikan amanat dari para donatur. Paket berupa tas sekolah, baju muslim, mie instant serta pakaian layak pakai yang dikumpulkan dari sesama goweser. Bahkan, salam hormat dan takjub khusus layak disampaikan kepada Sang Master Kang Coe beserta si Bungsu Gheo. Mereka ikhlas gowes berangkat dari Cimahi ! yang berjarak lebih kurang 100 km! Demi berpartisipasi gowes bareng bakti sosial di Talaga Bodas.
Gowes Bareng Bakti Sosial (Gobarbakso) dengan antusias diikuti oleh berbagai komunitas goweser dari Bandung yang dikomandani Kang Ary Mustafa, Kang Dani, Kang Haji dari Pinest Cycling. KGC Garut mountainbike, jadi fasilitator tentunya.


Ustadz Birin, yang berpakaian teramat lusuh. Dengan bahasa yang sederhana kemudian bercerita.

Dulunya, kawasan kompleks ini disewa Pertamina. Mesjid serta ruangan dari kontener kemudian dipercayakan pada saya, untuk dijadikan kegiatan mengaji dan mengajar untuk anak-anak desa Wanakerta yang berjarak 1,6 km dari sini.


Waktu itu, saya dijanjikan digaji bulanan. Alhamdulillah, murid-murid yang belajar waktu itu sampai 70 orang. Tidak saja dari Wanakerta tapi juga dari berbagai daerah lainnya. Bahkan, ada yang dari Bungbulang, Malangbong, Banyuresmi dan lain-lain.

Waktu itu, saya beserta 5 orang teman. Bahkan dipercaya untuk menjadi SD jauh (filial) sekolah negeri di Cicapar. Kemudian, menjadi pusat kegiatan belajar SMP terbuka di sini. Kami pernah mendapatkan bantuan buku paket SMP terbuka satu truk penuh langsung dari Jakarta. (Sisa buku-buku paket SMP terbuka. Masih tersisa dan rapih tersusun di rak sederhana di dalam mesjid)



Anak- anak yang bersekolah di SD negeri, malahan banyak yang pindah ke sini. "Diasramakan" lah, mungkin istilahnya? Walaupun, asramanya hanya dari peti kemas bekas proyek. Suasana di sini kan sangat nyaman, di tengah hutan, udaranya segar. Jadi banyak orangtua yang percaya dan menitipkan mereka di sini.

Sayangnya, pada tahun keempat. Gaji tidak selancar yang dijanjikan. Malahan sering tidak dibayar. Kelima guru teman saya, tidak tahan. Karena mereka sudah berkeluarga dan harus menafkahi keluarganya. Akhirnya, mereka berhenti. Tinggal saya sendiri.

Dua tahun, saya terus berusaha bertahan. Terus mengajar di sini walaupun tidak ada yang menggaji.  Karena, kasihan pada anak-anak yang masih bertahan. Saya mencoba bertahan menemani dan mengajar mereka.

Untuk menafkahi isteri dan tiga anak.  Saya menjadi kuli atau buruh tani atau hanya sekedar jadi tukang menanam pohon keras di kebun orang. Sorenya, saya kemudian mengajar anak-anak di dalam mesjid. Tentunya dengan sisa tenaga dan pikiran seadanya.


Namun, setelah berusaha keras. Akhirnya, sekolah kami bubar. Terpaksa saya pun, kembali ke desa Wanakerta. Mengajar ngaji di rumah. Sedangkan mesjid ini, tetap digunakan oleh warga untuk sholat Jumat. Mesjid ini tiap hari Jumat dan Minggu, saya minta murid saya, Rohimah dan kawan-kawannya membersihkannnya.


Harapan saya, kalau seandainya ada yang mau mendanai. Tempat ini, bisa kembali menjadi tempat sekolah anak-anak. Saya kembali bisa mengajar dan mengamalkan ilmu saya. Walaupun mungkin hanya sedikit, karena saya cuma lulus SMA.

Dengan segala kesederhanaannya, Ustadz Birin berbicara panjang lebar. Tanpa lelah, terus berusaha mengajar dan berpengharapan besar untuk mengamalkan dan berbagi ilmu walaupun dia hanya lulusan SMA. Tak berharap, jadi pegawai negeri. Sekedar cukup untuk menafkahi anak dan istrinya.

Berkah, dari ilmu yang diberikan, anak perempuannya bisa bersekolah di SMA atas donasi dari seorang guru yang dulu menitipkan anaknya belajar di "sekolah"-nya.