Friday, July 26, 2013

Saya Bukan Pengemis


2010

Saat keluar dari pintu BIP, tampak seorang anak berusia 8 tahunan.  Berdiri di atas trotoar.  Tubuhnya kecil, kulitnya hitam. Bajunya yang putih tampah sudah kusam, dua buah kancingnya sudah tak tampak.  Sehingga, bagian dada dan tonjolan tulang rusuk anak itu tampak terlihat.  Bersendal jepit, yang juga sudah lusuh.  Di depannya tampak pikulan bambu yang sudah menghitam dan mengkilat tanda sering dipakai. Di ujung pikulan itu tampak dua buah bakul.

Mata terus terpusat pada tingkah laku si anak.  Sambil perlahan mendekatinya. Penuh keraguan dan penuh hati-hati anak itu, beberapa kali mencoba menawarkan dagangannya.  Ternyata, setelah didekati. Anak itu menjual "cireng" mentah.

"Bu, cireng Bu...!", tawarnya pelan.  Penuh harap.  Tatapannya pasti menatap orang-orang yang lewat di depannya sambil menawarkan dagangannya. Tak seorang pun sepertinya, tertarik.  Mereka yang ditawari bersikap tak acuh.  Berjalan terus, lurus.  Jangankan membeli, menoleh pun tidak.  Kebanyakan, mereka hanya memberikan isyarat dengan tangannya.  Bahwa, mereka tidak tertarik membelinya.
Tanpa putus asa, anak itu terus, mencoba menawarkan dagangannya.  Tapi, tetap saja.  Belum ada satu pun yang membeli dagangannya.

"Jang, jualan cireng ya?" tanya saya. Pura-pura tidak tahu.
"Muhun, mau beli Pak?" jawab anak itu dan balik bertanya. Menawarkan cirengnya
"Berapa satunya?", tanya saya lagi.
"Satunya tiga ribu lima ratus Pak" jawab anak itu. Matanya berbinar.
"Beli 2 buah ya!" kata saya sambil menyodorkan satu lembar uang dua puluh ribu rupiah.

Tangan anak itu, dengan cekatan mengambil kantong plastik dari dalam bakul.  Kemudian memasukan dua buah cirengnya ke dalam kantong plastik itu.  Disodorkannya bungkusan plastik itu ke tangan saya.

Sambil menerima lembaran uang dua puluh ribu, dia berkata : "Pak, nanti kalau mau digoreng cirengnya dipotong-potong dulu ya.  Terus di tekan-tekan...agar minyaknya gak muncrat!"

"Sebentar ya Pak! Gak ada kembalian.  Saya tukarkan dulu!" katanya.
"Udah gak usah...buat jajan kamu aja!" cegah saya kepada anak itu.  Niat awal memang hanya ingin memberi tidak untuk membeli.
"Jangan Pak! Sebentar saya tukarkan dulu!" anak itu tanpa bisa dicegah.  Kakinya yang kecil, melangkah cepat.  Setengah berlari, menuju ke pedagang asesories. Menukarkan uang.

"Ini Pak, kembaliannya!", anak itu menyodorkan uang itu.
"Hush,  kan tadi udah dibilang.  Untuk jajan kamu aja ya!", paksa saya lagi.
"Maaf Pak, terima kasih...tapi saya bukan pengemis. Terima kasih ya Pak!" jawab anak itu tegas.

Buru-buru, pikulan bambunya diletakan di atas bahunya.  Anak itu setengah berlari menuju jalan Aceh.
Saya, hanya bisa termangu. Si Cikal, mencoba mengejar anak itu.  Tapi, tidak terkejar...





Tuesday, July 23, 2013

Minum Kopi Ajaib



Desember 1984
Angin yang menderu-deru di Situ Lembang, seperti bersahutan membuat lentingan pohon-pohon pinus seperti bergantian menggoyangkan ranting dan dahannya. Kombinasi kondisi udara dingin, cuaca, dan tiupan angin, praktis rata-rata suhu di situ Lembang waktu itu hampir 11 derajat Celcius!  Bersebelas  mengikuti Pendidikan Latihan Dasar Pecinta Alam Jayawijaya SMAN 2 Cimahi.  Di bawah asuhan akang-akan dari senior JW dan Jana Bhuana.   

Saat magrib tiba, kami baru tiba dari praktik gunung hutan.  Tubuh basah kuyup. Baju, celana, pakaian dalam dan kaos kaki semua basah. Tak satupun yang kering. Tubuh yang sudah menggigil kedinginan, karena didera hujan hampir tiap hari di akhir bulan Desember.  Semakin menggigil karena terperangkap dalam dinginnya malam di lembah Situ Lembang. Dinginnya sampai ke sumsum tulang. Membuat linu seluruh persendian yang mengikat tulang-tulang di tubuh kami.

Tak ada pakaian kering satupun. Pakaian cadangan yang disimpan di dalam ransel tak ada yang selamat. Basah semua.  Praktis berarti harus tidur dengan pakaian basah.  Mencoba sedikit menghangatkan badan, dengan tidur berdempetan di atas dipan dari kayu kasar. Dipan yang dibuat memanjang dalam barak komando, sehingga bisa memuat tidur sampai 11 orang (satu grup komando).  Satu demi satu, merebahkan diri di atas kerasnya dipan kayu papan kasar.  Seolah ada janjian, kami bergantian saling mengawal untuk buang air kecil di luar.  Gigi geligi beradu dengan cepat, menjadi bunyi gemeletuk menahan dingin.  Karena teramat dingin yang tidak tertahankan, tidak aneh membuat tubuh kudu bolak balik untuk membuang hajat kecil. Ke luar barak, tidak berani sendirian waktu itu. Karena suasananya sangat angker.  Konon, persis di depan barak yang ditempati. Ada kuburan misterius yang banyak memberikan cerita pada mereka yang tidur di dalam barak itu :)

Berbeda dengan peserta laki-laki yang langsung rebahan bahkan tertidur.  Para peserta perempuan yang hanya berjumlah tiga orang tampak masih sibuk sendiri-sendiri. Nyaris tanpa suara, mereka melakukan dan membereskan hal-hal yang mungkin dirasa perlu.  Si Bohim (nama rimba dari kang Robbi, sekarang di PTDI) yang terkenal jahil dan suka iseng.  Tiba-tiba berteriak: "Waw...pahiiit!" 
Terdengar suara cekikikan tertahan dan diikuti ledak tawa seisi barak.

Usut punya usut, selesai si Bohim buang air kecil.  Dia melihat, secangkir "kopi" panas. Yang mengepulkan uap panas.  Tubuh yang menggigil kedinginan. Mendorongnya untuk menjahili dengan meminum "kopi" itu tanpa ijin si pemilik.  Ternyata yang diminumnya, adalah jamu telat datang bulan milik si Revlon!


Wednesday, July 17, 2013

Taraweh, Tara Sawareh


Puasa Ramadan adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak di kampung. Pada waktu saya kecil, memasuki bulan puasa ditandai dengan mandi keramas.  Mandi keramasnya, bukan di sumur atau kamar mandi yang terletak di luar rumah.  Tapi di mata air yang dibentuk pancuran, di tepi sungai Citarum yang dikenal dengan Lebak. Pancuran tersebut terletak di Desa Sinar Jaya yang berjarak lebih kurang 3 km dari rumah.

Sebenarnya bukan hanya mandi keramas, tapi juga acara papasakan "ngaliwet". Istilah sekarang, makan-makan habis-habisan.  Sambil menunggu be berenang di Citarum.  Orang tua, sebenarnya melarang keras berenang di Sungai Citarum yang waktu itu airnya masih jernih. Mungkin karena khawatir akan tenggelam. Tapi dasar bengal tetap saja ikut dengan anak-anak yang lebih besar ke Lebak untuk "papasakan" terakhir sebelum puasa, berenang dan keramas di pancuran.

Telanjang bulat, kami berenang di sungai Citarum tanpa rasa malu. Bersenda gurau, melompat dari batu besar hitam. Sesekali berbarengan menyelam berlomba mencari batu.  Yang paling jago berenang dan menyelam adalah anak seorang Kapten RPKAD yang sekarang dikenal sebagai si Guru alias Dadang.   Tidak salah, sekarang dia menjadi guru olah raga.  Karena jago berenang, dan larinya sangat cepat sekali. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi kurus, kaki panjang sehingga langkahnya jadi lebar. Dia bisa melakukan penyebrangan dari sisi Batujujajar ke sisi Cihampelas, Cililin pulang pergi! Padahal, sungai Citarum waktu itu selain jernih, arusnya sangat deras dengan lebih kurang 100 meter. Bahkan,pada saat air sungai Citarum dalam keadaan keruh, karena hujan deras di hulu. Saat tak seorangpun berani berenang. Si Dadang ini, berani terjun dan tetap menyebrang! Kita hanya bisa menjadi penonton terkagum-kagum!

Saat memasuki puasa, sesekali untuk "ngabeubeurang" menunggu siang, atau "ngabuburit" menunggu magrib. Kita tetap bermain sambil berenang di Citarum.  Pada waktu berangkat dan masih pagi, tubuh kita tidak akan terasa capai.  Selain masih  bugar, perjalanan dari rumah ke Lebak (Citarum)  menurun tajam. Tapi, pada waktu kita akan pulang, lelahnya tidak tergambarkan.  Saat tubuh, letih karena habis berenang.  Kita juga harus "mendaki" nanjak curam menuju pulang.  Tapi, tetap saja tidak kapok.  Hari-hari lainnya, tetap saja "ngabeubeurang" dan "ngabuburit" ke tempat itu lagi.  Kadang, agar pulang agak sorean. Perjalanan diputar lebih kurang 6 km ke arah barat. Menuju jembatan warung pulus, yang sekarang sudah tenggelam oleh Waduk Saguling!

Tangan Dimakan si Kilat!

Malam, setelah buka puasa.  Anak-anak biasanya, langsung saling menjemput teman.  Berteriak-teriak dari luar rumah. "Ihiiiii.....nnnn!", "Ahuuuuuuu....uuu!", "Mamaaaaa...ttt!", "Dadaaaa...aaang!", dengan posisi kedua telapak tangan ditempelkan di mulutu menyerupai corong pengeras suara.  Sehingga suara terdengar lebih keras. Sarung melilit di pinggang, atau di leher.  Biasanya, saya yang paling banyak membawa petasan.  Petasan, zaman dahulu gak seperti zaman sekarang.  Petasannya gede-gede.  Bisa segede dinamit.  Bahkan, ayah saya seringkali memodifikasinya.  Petasan yang sudah segede lengan si Ade Ray itu, dililit lagi dengan kertas mesin penghitung! Sehingga, bentuknya jadi super besar.  Untuk menghindarkan kecelakaan, serbuk mesiu di dalam sumbunya, dibuang.  Sehingga nyala dari sumbu jadi lambat.

Saat petasan hasil modifikasi yang diameternya telah berubah menjadi sebesar belewah.  Ledakannya tidak terbayangkan!  Kaca di sekitarnya akan bergetar bahkan pecah!

Si Kilat adalah petasan yang ukurannya sedang.  Biasanya dilemparkan dengan tangan. Disebut si Kilat karena reaksi pembakaran dari sumbu yang sangat cepat. Sehingga, bila kita terlambat sedikit saja melemparkan petasan pasca disundut sumbunya. Bisa dipastikan petasan itu akan meledak di tangan kita.   Bukan sekali dua kali, tangan saya menjadi korban.  Tidak kapok, tidak menangis....ayah saya cukup menyiram tangan yang terkena ledakan petasan itu dengan spirtus yang biasa dipakai untuk menyalakan lampu petromaks. Sehingga, terasa dingin. Cukup menghilangkan rasa terbakar dan sakit dari petasan itu.   Ayah tidak pernah marah, malah tersenyum.  Sambil kembali memberikan petasan yang baru dan lebih banyak.  Maklum, beliau seorang tentara :p

Taraweh, Tara Sawareh

Bila, sholat terawih tiba. Anak-anak dengan penuh semangat menuju masjid mang Udin.  Pada waktu puasa, jarang sekali sholat terawih di mesjid Pak Ikin.  Alasannya, selain takut oleh kegalakan Pak Ikin juga sholat terawihnya gak tanggung-tanggung 33 rokaat!  Jangankan 33 rakaat, yang 23 rakaat saja kadang jadi hanya 11 rakaat!
Bisa dibilang taraweh yang dilakukan oleh kami waktu itu tidak lebih dari kesukaan sholat beramai-ramai.  Diselingi saling dorong kiri-kanan.  Saat baru mulai sujud.  Tidak memandang ada orang tua atau bukan. Kami saling mendorong baik dari sisi ke sisi lainnya atau dari belakang ke depan! Sehingga sujud, harus dilakukan mendadak sambil posisi saling bertindihan sambil tertawa-tawa.  Orang-orang tua waktu itu tidak ada yang marah. Bahkan, hanyut di dalam "permainan" yang membuat kita terpingkal-pingkal.  Tapi, hal itu hanya terjadi pada saat kita jenuh.  Saat sholat khusu, yang sholat serius. Tapi, bila seorang anak jenuh. Siap-siaplah menerima bencana!

Saat memasuk rakaat yang kritis, saat mulai bosan dan mengantuk.  Salah seorang dari kami, biasanya, pura-pura mengambil air wudhu. Karena batal, kent*t.  Tapi sebenarnya, sekaligus mengambil pemukul beduk.  Saat orang-orang sedang bersujud, pemukul beduk itu kemudian diganjalkan di lutut bawah orang lain.  Akibatnya, orang itu pada waktu akan duduk dua sujud terganjal, dan terjungkal dengan sendirinya! Orang yang sholat di pinggir atau di depannya, akan tertawa terkikik!


Seringkali pada waktu sholat terawih, orang tua membuka celana kolornya yang mungkin kotor atau tidak suci.  Celana kolor itu digantungkan di kapstok di belakang mushola.  Saat orang lain, bersujud salah seorang anak mengambil kolor dekil yang sudah penuh dengan jamur tersebut.  Lalu ditutupkan ke kepala temannya yang sedang sujud! Tanpa melihatpun, kita sudah tahu kolor siapa yang ditempelkan atau siapa yang menempelkan kolor di atas kepala!  Yang marah, bukannya korbannya, tapi si empunya kolor!

Bila jamaah mesjid sedang khusu tahiyyat.  Suasana sangat sunyi sepi.  Yang terdengar hanya bunyi desis orang-orang yang berdoa membaca tahiyyat.  Tiba-tiba, "DUAAARRRR...!!!", sebuah ledak petasan cukup besar berbunyi di kolong mushola itu! Semuanya, terperanjat. Membaca salam, langsung beramai-ramai memburu ke jendela atau ke pintu mencari si pelaku "pemboman" teroris amatiran itu!

Solat taraweh, dalam artian anak-anak waktu itu benar-benar adalah tara sawareh (hanya dilakukan sebagian) selebihnya bermain dan menjahili orang!




Tajug, Cempor, Obor dan Sarung dari Tikar Pandan


Pada waktu saya kecil, nama mesjid tidak dikenal berdasarkan nama-nama berbau bahasa Arab seperti sekarang: Al Ikhlas, Al Islam, Al Barokah, Al Kautsar dan lain-lain.  Nama mesjid di kampung saya lebih dikenali didasarkan pada siapa imam mesjidnya.  Kampung yang dikenal dengan Babakan Sari, di Kecamatan Batujajar (Barat) walaupun kecil mempunyai beberapa mesjid kecil. Contohnya: Mesjid Mang Udin, Mesjid Pa Ikin, Mesjid Pa Inen, Mesjid Mualim Pahru,Mesjid Mualim Adang, Mesjid Mama Ajengan dan seterusnya.

Jelas, mesjid Mang Udin, berarti pengurus mesjid atau merebotnya adalah Mang Udin. Seorang pegawai sipil di "jero" yaitu pegawai non tentara di RPKAD yang bertugas memperbaiki sepatu para tentara. Beliau mempunyai seorang anak laki-laki teman akrab saya bernama "Ihin" alias Solihin. Yang meninggal waktu saya seumuran 7 atau 8 tahunan. Waktu itu, saya tidak mengerti kenapa Ihin bisa meninggal, tapi mengingat ciri-ciri sakitnya waktu itu.  Mungkin adalah tipes yang berkepanjangan.

Mesjid Pa Ikin terletak di sebelah utara rumah.  Pemiliknya adalah seorang guru tsanawiyyah di desa Galanggang. Seorang guru ngaji yang terkenal, disiplin sekali dan super galak.  Setiap kali akan memulai mengaji, beliau akan memijat paha kita dengan amat sangat keras. Sehingga, sakitnya terasa sampai ujung hati. Bisa membuat muka kita pucat pasi. Atau kadangkala, dia "menghajar" tempurung lutut kita sambil ngomong: "Hanca jang!" (Ayo lanjutkan!").  Tak seorangpun dari kita berani protes.  Beliau terkenal, galak. Sangat pemarah.  Pernah terjadi si Dodi, teman mengaji anaknya Mang Eno. Bergurau di dalam mushola. Langsung dihajar dengan menggunakan peci. Sampai terpelanting! 

Mesjid Pa Inen, adalah mesjid yang berada di sebelah timur rumah saya. Pemiliknya, kalau tidak salah pekerjaanya, sama dengan Mang Udin yaitu pegawai sipil di RPKAD waktu itu. Orangnya berperawakn tinggi kurus. Dibanding mesjid Mang Udin atau Pak Ikin, mesjid Pa Inen kurang saya kenal waktu itu.  Karena lebih sering mengaji di Mang Udin atau Pak Ikin. 

Menggunakan Obor dan Lampu Cempor

Sebenarnya, kalau zaman sekarang semua mesjid-mesjid di kampung saya tersebut tidak lebih dari sebuah mushola kecil atau dikenal sebagai "tajug".  Semua bangunannya, kurang lebih berukuran paling banter 3-4 meter. Berdinding bilik yang dicat kapur putih dengan pondasi batu yang ditinggikan. Lantainya, dari bambu "palupuh"  yang dibelah kecil-kecil sehingga kalau berjalan akan terdengar deritan khas. Lantai tersebut dialasi tikar dari daun pandan. Saking ringkihnya bangunan tersebut. Seringkali pada waktu sholat terawih. Kita yang termasuk anak-anak "bengal", melakukan "gempa" kecil terhadap mushola itu. Yaitu, menggoyang-goyangkannya secara bersamaan, sambil menahan tawa! Sebaliknya, orang-orang yang sedang sholat langsung akan beristigfar takut terjadi gempa beneran!

Ke semua "mesid" di kampung tersebut tidak pernah dijadikan tempat untuk sholat Jum'at.  Untuk sholat Jum'at masyarakat dari seluruh kecamatan Batujajar melakukannya di mesjid Kaum yang terletak di Pasar Batujajar sebelah selatan. Makanya, bukan hal yang aneh waktu itu, orang-orang yang berbeda desa sekalipun kalau masih dalam satu kecamatan akan saling mengenal satu sama lainnya. Karena disatukan oleh mesjid kaum.  Pada waktu berangkat jumatan, atau pulangnya akan bersilaturahmi dengan sendirinya.

Karena belum ada listrik masuk desa, suasana kampung yang masih dikelilingi kebun yang lebat pohon-pohonnya, terasa jadi sangat gelap dan menakutkan. Pada waktu magrib, untuk berangkat mengaji kami berangkat berombongan.  Saling menunggu atau menjemput antara teman yang terjauh ke mesjid ke teman yang paling dekat ke mesjid.  Mungkin dikarenakan dengan perasaan takut yang sama. Melewati kebun kopi di belakan rumah saya.  Menggunakan obor yang dibuat dari sebatang buluh bambu yang diisi minyak tanah kemudian ditutup dengan kain. Masing-masing orang biasanya mempunyai obornya masing-masing. Bila, minyak tanah dalam obor dari salah seorang teman habis, teman yang lainnya menyumbangkan sedikit minyaknya dengan meneteskan minyak dalam obor miliknya ke atas kain pada obor temannya. 

Di dalam mesjid pun, tidak jauh berbeda.  Untuk penerangan cukup menggunakan sebuah lampu cempor besar. Yang bahan bakarnya minyak tanah juga.  Seringkali pada waktu mengaji, tiba-tiba tanpa disadari minyaknya habis. Sehingga lampu cempornya mati.  Maka liburlah, anak-anak yang belum kebagian giliran mengaji, Karena suasana jadi gelap gulita.  Tidak mungkin mengaji dilanjutkan. Disamping senang karena tidak jadi mengaji, tapi juga nyesel karena sudah datang tapi tidak jadi mengaji :p

Tidak jarang, ketika guru mengaji utama tidak ada.  Mengaji seringkali diserahkan pada anak yang lebih besar.  Tapi itu tidak sekhusu mengaji pada guru utamanya, yaitu mang Udin atau Pa Ikin.   Entah karena malas atau iseng atau kenakalan anak-anak waktu itu.  Saat sedang mengaji, tiba-tiba salah seorang dari kita meniup lampu cempor untuk penerangan di mushola itu.

Berlaga seperti akan mengambil api, untuk obor yang akan dipakai pulang. Karena sudah selesai mengaji, seorang anak mendekat lampu cempor itu dan...."Phuuuhhhh....!" Maka, matilah lampu cempor itu. Sambil berteriak serempak, "Eueueueueuhhh....!" maka bubarlah semua. Berbarengan sambil berlari menuju pintu yang sempit. Anak-anak yang kecil seperti saya, tidak  jarang menjadi "kebiadaban" anak-anak yang sudah besar.  Seringkali terjatuh dan terinjak kaki atau tangan!

Kain Sarung Dianyam Tikar!
Pada waktu salah seorang dari kita sedang kebagian giliran mengaji.  Yang lain, yang belum kebagian giliran. Sebenarnya ditugaskan untuk "ngaderes" atau mengulang ayat yang kemarin telah dibaca.  Tapi, karena guru mengaji hanya seorang. Maka, hampir sebagian besar malah bermain-main atau mengisengi teman yang lain yang tengah serius mengaji.  Guru ngaji, hampir tidak bisa mengontrol kesemua muridnya. Selain karena hanya seorang diri, juga penerangan yang minim mengakibat anak-anak dapat melakukan kebengalan yang diluar batas. Tapi, ada juga yang anteng tidur pulas!

Sudah menjadi hal yang biasa, tikar dari pandan yang dipakai alas untuk mengaji. Tidak utuh lagi.  Selain, rusak karena kelembaban. Juga mayoritas dipake mainan oleh anak-anak. Entah, dicabutin satu persatu secara bersamaan, kemudian dipakai untuk "adu tarik tambang", helaian tikar  milik masing-masing disimpulkan satu sama lain, yang putus dia yang kalah.  Atau dipakai "ngadu kupu-kupu", helaiann pandan dibentuk seperti kupu-kupu kemudian diputar-putar diadukan dengan "kupu-kupu" milik teman dengan cara dikepit dua telapak tangan kemudia diputarkan dengan cepat. Yang "kupu-kupu"-nya rusak atau putus, dia yang kalah. Lalu, yang kalah mencabut lagi helain pandan dari tikar lagi!

Yang paling keterlaluan, adalah bila salah seorang dari kita. Mencabuti helai demi helai dari pandan tersebut. Helaian pandan itu diuntai membentuk tali yang panjang, kemudian diikatkan pada kain sarung anak yang sedang mengaji.  Tentu saja, anak yang dijadikan korban tidak mengetahui kalau kain sarung yang dipakainya, tengah "dianyam" dan disatukan dengan untaian tali pandan yang juga disatukan dengan tikar asal helain pandan yang dijadikan tali tersebut.

Maka, terjadilah ledakan tawa dari seluruh yang mengaji plus omelan dari guru mengaji yang tidak bisa berkata apapun. Guru mengaji hanya bisa, melongo dengan tatapan yang sulit diceritakan. Saat, anak itu selesai mengaji pada waktu berdiri dan berjalan keluar.  "Sarungnya" menjadi panjaaaaang....! karena disimpul dengan "tali" dari helain pandan tikar tempat duduknya. Sehingga tikar yang dipakai duduk pun langsung robek-robek!