Wednesday, July 17, 2013

Taraweh, Tara Sawareh


Puasa Ramadan adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak di kampung. Pada waktu saya kecil, memasuki bulan puasa ditandai dengan mandi keramas.  Mandi keramasnya, bukan di sumur atau kamar mandi yang terletak di luar rumah.  Tapi di mata air yang dibentuk pancuran, di tepi sungai Citarum yang dikenal dengan Lebak. Pancuran tersebut terletak di Desa Sinar Jaya yang berjarak lebih kurang 3 km dari rumah.

Sebenarnya bukan hanya mandi keramas, tapi juga acara papasakan "ngaliwet". Istilah sekarang, makan-makan habis-habisan.  Sambil menunggu be berenang di Citarum.  Orang tua, sebenarnya melarang keras berenang di Sungai Citarum yang waktu itu airnya masih jernih. Mungkin karena khawatir akan tenggelam. Tapi dasar bengal tetap saja ikut dengan anak-anak yang lebih besar ke Lebak untuk "papasakan" terakhir sebelum puasa, berenang dan keramas di pancuran.

Telanjang bulat, kami berenang di sungai Citarum tanpa rasa malu. Bersenda gurau, melompat dari batu besar hitam. Sesekali berbarengan menyelam berlomba mencari batu.  Yang paling jago berenang dan menyelam adalah anak seorang Kapten RPKAD yang sekarang dikenal sebagai si Guru alias Dadang.   Tidak salah, sekarang dia menjadi guru olah raga.  Karena jago berenang, dan larinya sangat cepat sekali. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi kurus, kaki panjang sehingga langkahnya jadi lebar. Dia bisa melakukan penyebrangan dari sisi Batujujajar ke sisi Cihampelas, Cililin pulang pergi! Padahal, sungai Citarum waktu itu selain jernih, arusnya sangat deras dengan lebih kurang 100 meter. Bahkan,pada saat air sungai Citarum dalam keadaan keruh, karena hujan deras di hulu. Saat tak seorangpun berani berenang. Si Dadang ini, berani terjun dan tetap menyebrang! Kita hanya bisa menjadi penonton terkagum-kagum!

Saat memasuki puasa, sesekali untuk "ngabeubeurang" menunggu siang, atau "ngabuburit" menunggu magrib. Kita tetap bermain sambil berenang di Citarum.  Pada waktu berangkat dan masih pagi, tubuh kita tidak akan terasa capai.  Selain masih  bugar, perjalanan dari rumah ke Lebak (Citarum)  menurun tajam. Tapi, pada waktu kita akan pulang, lelahnya tidak tergambarkan.  Saat tubuh, letih karena habis berenang.  Kita juga harus "mendaki" nanjak curam menuju pulang.  Tapi, tetap saja tidak kapok.  Hari-hari lainnya, tetap saja "ngabeubeurang" dan "ngabuburit" ke tempat itu lagi.  Kadang, agar pulang agak sorean. Perjalanan diputar lebih kurang 6 km ke arah barat. Menuju jembatan warung pulus, yang sekarang sudah tenggelam oleh Waduk Saguling!

Tangan Dimakan si Kilat!

Malam, setelah buka puasa.  Anak-anak biasanya, langsung saling menjemput teman.  Berteriak-teriak dari luar rumah. "Ihiiiii.....nnnn!", "Ahuuuuuuu....uuu!", "Mamaaaaa...ttt!", "Dadaaaa...aaang!", dengan posisi kedua telapak tangan ditempelkan di mulutu menyerupai corong pengeras suara.  Sehingga suara terdengar lebih keras. Sarung melilit di pinggang, atau di leher.  Biasanya, saya yang paling banyak membawa petasan.  Petasan, zaman dahulu gak seperti zaman sekarang.  Petasannya gede-gede.  Bisa segede dinamit.  Bahkan, ayah saya seringkali memodifikasinya.  Petasan yang sudah segede lengan si Ade Ray itu, dililit lagi dengan kertas mesin penghitung! Sehingga, bentuknya jadi super besar.  Untuk menghindarkan kecelakaan, serbuk mesiu di dalam sumbunya, dibuang.  Sehingga nyala dari sumbu jadi lambat.

Saat petasan hasil modifikasi yang diameternya telah berubah menjadi sebesar belewah.  Ledakannya tidak terbayangkan!  Kaca di sekitarnya akan bergetar bahkan pecah!

Si Kilat adalah petasan yang ukurannya sedang.  Biasanya dilemparkan dengan tangan. Disebut si Kilat karena reaksi pembakaran dari sumbu yang sangat cepat. Sehingga, bila kita terlambat sedikit saja melemparkan petasan pasca disundut sumbunya. Bisa dipastikan petasan itu akan meledak di tangan kita.   Bukan sekali dua kali, tangan saya menjadi korban.  Tidak kapok, tidak menangis....ayah saya cukup menyiram tangan yang terkena ledakan petasan itu dengan spirtus yang biasa dipakai untuk menyalakan lampu petromaks. Sehingga, terasa dingin. Cukup menghilangkan rasa terbakar dan sakit dari petasan itu.   Ayah tidak pernah marah, malah tersenyum.  Sambil kembali memberikan petasan yang baru dan lebih banyak.  Maklum, beliau seorang tentara :p

Taraweh, Tara Sawareh

Bila, sholat terawih tiba. Anak-anak dengan penuh semangat menuju masjid mang Udin.  Pada waktu puasa, jarang sekali sholat terawih di mesjid Pak Ikin.  Alasannya, selain takut oleh kegalakan Pak Ikin juga sholat terawihnya gak tanggung-tanggung 33 rokaat!  Jangankan 33 rakaat, yang 23 rakaat saja kadang jadi hanya 11 rakaat!
Bisa dibilang taraweh yang dilakukan oleh kami waktu itu tidak lebih dari kesukaan sholat beramai-ramai.  Diselingi saling dorong kiri-kanan.  Saat baru mulai sujud.  Tidak memandang ada orang tua atau bukan. Kami saling mendorong baik dari sisi ke sisi lainnya atau dari belakang ke depan! Sehingga sujud, harus dilakukan mendadak sambil posisi saling bertindihan sambil tertawa-tawa.  Orang-orang tua waktu itu tidak ada yang marah. Bahkan, hanyut di dalam "permainan" yang membuat kita terpingkal-pingkal.  Tapi, hal itu hanya terjadi pada saat kita jenuh.  Saat sholat khusu, yang sholat serius. Tapi, bila seorang anak jenuh. Siap-siaplah menerima bencana!

Saat memasuk rakaat yang kritis, saat mulai bosan dan mengantuk.  Salah seorang dari kami, biasanya, pura-pura mengambil air wudhu. Karena batal, kent*t.  Tapi sebenarnya, sekaligus mengambil pemukul beduk.  Saat orang-orang sedang bersujud, pemukul beduk itu kemudian diganjalkan di lutut bawah orang lain.  Akibatnya, orang itu pada waktu akan duduk dua sujud terganjal, dan terjungkal dengan sendirinya! Orang yang sholat di pinggir atau di depannya, akan tertawa terkikik!


Seringkali pada waktu sholat terawih, orang tua membuka celana kolornya yang mungkin kotor atau tidak suci.  Celana kolor itu digantungkan di kapstok di belakang mushola.  Saat orang lain, bersujud salah seorang anak mengambil kolor dekil yang sudah penuh dengan jamur tersebut.  Lalu ditutupkan ke kepala temannya yang sedang sujud! Tanpa melihatpun, kita sudah tahu kolor siapa yang ditempelkan atau siapa yang menempelkan kolor di atas kepala!  Yang marah, bukannya korbannya, tapi si empunya kolor!

Bila jamaah mesjid sedang khusu tahiyyat.  Suasana sangat sunyi sepi.  Yang terdengar hanya bunyi desis orang-orang yang berdoa membaca tahiyyat.  Tiba-tiba, "DUAAARRRR...!!!", sebuah ledak petasan cukup besar berbunyi di kolong mushola itu! Semuanya, terperanjat. Membaca salam, langsung beramai-ramai memburu ke jendela atau ke pintu mencari si pelaku "pemboman" teroris amatiran itu!

Solat taraweh, dalam artian anak-anak waktu itu benar-benar adalah tara sawareh (hanya dilakukan sebagian) selebihnya bermain dan menjahili orang!




No comments:

Post a Comment