Wednesday, July 17, 2013

Tajug, Cempor, Obor dan Sarung dari Tikar Pandan


Pada waktu saya kecil, nama mesjid tidak dikenal berdasarkan nama-nama berbau bahasa Arab seperti sekarang: Al Ikhlas, Al Islam, Al Barokah, Al Kautsar dan lain-lain.  Nama mesjid di kampung saya lebih dikenali didasarkan pada siapa imam mesjidnya.  Kampung yang dikenal dengan Babakan Sari, di Kecamatan Batujajar (Barat) walaupun kecil mempunyai beberapa mesjid kecil. Contohnya: Mesjid Mang Udin, Mesjid Pa Ikin, Mesjid Pa Inen, Mesjid Mualim Pahru,Mesjid Mualim Adang, Mesjid Mama Ajengan dan seterusnya.

Jelas, mesjid Mang Udin, berarti pengurus mesjid atau merebotnya adalah Mang Udin. Seorang pegawai sipil di "jero" yaitu pegawai non tentara di RPKAD yang bertugas memperbaiki sepatu para tentara. Beliau mempunyai seorang anak laki-laki teman akrab saya bernama "Ihin" alias Solihin. Yang meninggal waktu saya seumuran 7 atau 8 tahunan. Waktu itu, saya tidak mengerti kenapa Ihin bisa meninggal, tapi mengingat ciri-ciri sakitnya waktu itu.  Mungkin adalah tipes yang berkepanjangan.

Mesjid Pa Ikin terletak di sebelah utara rumah.  Pemiliknya adalah seorang guru tsanawiyyah di desa Galanggang. Seorang guru ngaji yang terkenal, disiplin sekali dan super galak.  Setiap kali akan memulai mengaji, beliau akan memijat paha kita dengan amat sangat keras. Sehingga, sakitnya terasa sampai ujung hati. Bisa membuat muka kita pucat pasi. Atau kadangkala, dia "menghajar" tempurung lutut kita sambil ngomong: "Hanca jang!" (Ayo lanjutkan!").  Tak seorangpun dari kita berani protes.  Beliau terkenal, galak. Sangat pemarah.  Pernah terjadi si Dodi, teman mengaji anaknya Mang Eno. Bergurau di dalam mushola. Langsung dihajar dengan menggunakan peci. Sampai terpelanting! 

Mesjid Pa Inen, adalah mesjid yang berada di sebelah timur rumah saya. Pemiliknya, kalau tidak salah pekerjaanya, sama dengan Mang Udin yaitu pegawai sipil di RPKAD waktu itu. Orangnya berperawakn tinggi kurus. Dibanding mesjid Mang Udin atau Pak Ikin, mesjid Pa Inen kurang saya kenal waktu itu.  Karena lebih sering mengaji di Mang Udin atau Pak Ikin. 

Menggunakan Obor dan Lampu Cempor

Sebenarnya, kalau zaman sekarang semua mesjid-mesjid di kampung saya tersebut tidak lebih dari sebuah mushola kecil atau dikenal sebagai "tajug".  Semua bangunannya, kurang lebih berukuran paling banter 3-4 meter. Berdinding bilik yang dicat kapur putih dengan pondasi batu yang ditinggikan. Lantainya, dari bambu "palupuh"  yang dibelah kecil-kecil sehingga kalau berjalan akan terdengar deritan khas. Lantai tersebut dialasi tikar dari daun pandan. Saking ringkihnya bangunan tersebut. Seringkali pada waktu sholat terawih. Kita yang termasuk anak-anak "bengal", melakukan "gempa" kecil terhadap mushola itu. Yaitu, menggoyang-goyangkannya secara bersamaan, sambil menahan tawa! Sebaliknya, orang-orang yang sedang sholat langsung akan beristigfar takut terjadi gempa beneran!

Ke semua "mesid" di kampung tersebut tidak pernah dijadikan tempat untuk sholat Jum'at.  Untuk sholat Jum'at masyarakat dari seluruh kecamatan Batujajar melakukannya di mesjid Kaum yang terletak di Pasar Batujajar sebelah selatan. Makanya, bukan hal yang aneh waktu itu, orang-orang yang berbeda desa sekalipun kalau masih dalam satu kecamatan akan saling mengenal satu sama lainnya. Karena disatukan oleh mesjid kaum.  Pada waktu berangkat jumatan, atau pulangnya akan bersilaturahmi dengan sendirinya.

Karena belum ada listrik masuk desa, suasana kampung yang masih dikelilingi kebun yang lebat pohon-pohonnya, terasa jadi sangat gelap dan menakutkan. Pada waktu magrib, untuk berangkat mengaji kami berangkat berombongan.  Saling menunggu atau menjemput antara teman yang terjauh ke mesjid ke teman yang paling dekat ke mesjid.  Mungkin dikarenakan dengan perasaan takut yang sama. Melewati kebun kopi di belakan rumah saya.  Menggunakan obor yang dibuat dari sebatang buluh bambu yang diisi minyak tanah kemudian ditutup dengan kain. Masing-masing orang biasanya mempunyai obornya masing-masing. Bila, minyak tanah dalam obor dari salah seorang teman habis, teman yang lainnya menyumbangkan sedikit minyaknya dengan meneteskan minyak dalam obor miliknya ke atas kain pada obor temannya. 

Di dalam mesjid pun, tidak jauh berbeda.  Untuk penerangan cukup menggunakan sebuah lampu cempor besar. Yang bahan bakarnya minyak tanah juga.  Seringkali pada waktu mengaji, tiba-tiba tanpa disadari minyaknya habis. Sehingga lampu cempornya mati.  Maka liburlah, anak-anak yang belum kebagian giliran mengaji, Karena suasana jadi gelap gulita.  Tidak mungkin mengaji dilanjutkan. Disamping senang karena tidak jadi mengaji, tapi juga nyesel karena sudah datang tapi tidak jadi mengaji :p

Tidak jarang, ketika guru mengaji utama tidak ada.  Mengaji seringkali diserahkan pada anak yang lebih besar.  Tapi itu tidak sekhusu mengaji pada guru utamanya, yaitu mang Udin atau Pa Ikin.   Entah karena malas atau iseng atau kenakalan anak-anak waktu itu.  Saat sedang mengaji, tiba-tiba salah seorang dari kita meniup lampu cempor untuk penerangan di mushola itu.

Berlaga seperti akan mengambil api, untuk obor yang akan dipakai pulang. Karena sudah selesai mengaji, seorang anak mendekat lampu cempor itu dan...."Phuuuhhhh....!" Maka, matilah lampu cempor itu. Sambil berteriak serempak, "Eueueueueuhhh....!" maka bubarlah semua. Berbarengan sambil berlari menuju pintu yang sempit. Anak-anak yang kecil seperti saya, tidak  jarang menjadi "kebiadaban" anak-anak yang sudah besar.  Seringkali terjatuh dan terinjak kaki atau tangan!

Kain Sarung Dianyam Tikar!
Pada waktu salah seorang dari kita sedang kebagian giliran mengaji.  Yang lain, yang belum kebagian giliran. Sebenarnya ditugaskan untuk "ngaderes" atau mengulang ayat yang kemarin telah dibaca.  Tapi, karena guru mengaji hanya seorang. Maka, hampir sebagian besar malah bermain-main atau mengisengi teman yang lain yang tengah serius mengaji.  Guru ngaji, hampir tidak bisa mengontrol kesemua muridnya. Selain karena hanya seorang diri, juga penerangan yang minim mengakibat anak-anak dapat melakukan kebengalan yang diluar batas. Tapi, ada juga yang anteng tidur pulas!

Sudah menjadi hal yang biasa, tikar dari pandan yang dipakai alas untuk mengaji. Tidak utuh lagi.  Selain, rusak karena kelembaban. Juga mayoritas dipake mainan oleh anak-anak. Entah, dicabutin satu persatu secara bersamaan, kemudian dipakai untuk "adu tarik tambang", helaian tikar  milik masing-masing disimpulkan satu sama lain, yang putus dia yang kalah.  Atau dipakai "ngadu kupu-kupu", helaiann pandan dibentuk seperti kupu-kupu kemudian diputar-putar diadukan dengan "kupu-kupu" milik teman dengan cara dikepit dua telapak tangan kemudia diputarkan dengan cepat. Yang "kupu-kupu"-nya rusak atau putus, dia yang kalah. Lalu, yang kalah mencabut lagi helain pandan dari tikar lagi!

Yang paling keterlaluan, adalah bila salah seorang dari kita. Mencabuti helai demi helai dari pandan tersebut. Helaian pandan itu diuntai membentuk tali yang panjang, kemudian diikatkan pada kain sarung anak yang sedang mengaji.  Tentu saja, anak yang dijadikan korban tidak mengetahui kalau kain sarung yang dipakainya, tengah "dianyam" dan disatukan dengan untaian tali pandan yang juga disatukan dengan tikar asal helain pandan yang dijadikan tali tersebut.

Maka, terjadilah ledakan tawa dari seluruh yang mengaji plus omelan dari guru mengaji yang tidak bisa berkata apapun. Guru mengaji hanya bisa, melongo dengan tatapan yang sulit diceritakan. Saat, anak itu selesai mengaji pada waktu berdiri dan berjalan keluar.  "Sarungnya" menjadi panjaaaaang....! karena disimpul dengan "tali" dari helain pandan tikar tempat duduknya. Sehingga tikar yang dipakai duduk pun langsung robek-robek!





No comments:

Post a Comment