Saturday, May 14, 2022

Nemu Uang 16 Juta Rupiah!

 Oleh : Deny Suwarja

Gerbang 328, belakang Payung Besar, tempat Uang ditemukan

Saat itu bersama dengan teman sekamar, Mang Iwan yang juga berasal dari Bandung, menuju ke Mesjid Nabawi untuk melakukan sholat Jum'at.  Mesjid sudah dipadati oleh jubelan para jemaah dari berbagai bangsa seluruh dunia.  Kita terpaksa kebagian sholat di payung besar di halaman mesjid.  Kita duduk di atas karpet hijau di bawah salah satu payung dari 250 payung besar yang akan terbuka pada waktu matahari mulai terik dan akan tertutup pada waktu tenggelam matahari. Di kiri,kanan, depan, belakang kami adalah saudara muslim dari seluruh dunia.  Sambil berdzikir, tak  henti memperhatikan warna kulit, bentuk tubuh, jenis pakaian bahkan sampai ke warna janggut pun menjadi bahan renungan dan bisa menjadi kesimpulan asal negara mereka.

Mudah sekali untuk mengenali asal negara dan kebangsaan mereka, cukup dengan melihat pakaian atau penutup kepala mereka. Kita sudah bisa membedakan asal negara mereka.  Orang Pakistan, terlihat dari pakaian tradisional mereka yang dikenal dengan Syirwal, atasan dan bawahan rata-rata putih atau krem. Orang Afghanistan, tutup kepalanya berwarna hitam panjang dan diikat di atas kepalanya sedemikian rupa sehingga menjadi ciri khasnya.  Orang Pakistan membiarkan penutup kepala di bagian dahinya melekuk ke atas. Sehingga pada waktu sujud bagian dahi, tidak terhalangi oleh penutup kepala tersebut. Orang Eropa Timur (Rusia, Dagestan, Azerbaijan, Tazikistan) bajunya ngepas di badan, seperti syirwal tetapi tidak gombrong, plus rompi khas bertuliskan asal negara mereka atau nama travel yang memfasilitasi keberangkatan mereka. Orang Turki, celananya panjangnya gombrong, baju atasannya dimasukkan kedalam celana panjangnya, sehingga terlihat jelas celana panjang tersebut dikencangkan memakain karet di bagian pinggangnya. Orang Bangladesh, atasan memakai baju seperti koko, tetapi ngepas banget di tubuh. Bawahannya, memakai kain sarung seperti orang Indonesia. Tapi, sarungnya lebih pendek. Satu pembeda yang paling jelas adalah, setiap orang Bangladesh melilitkan semacam kain yang lebarnya lebih  kuran 5 meter berupa tenunan, yang digunakan untuk mengikat kaki ke tubuhnya pada waktu mereka merasa pegal saat duduk kelamaan. 

Suhanallah...walaupun berbeda pakaian, berbeda kulit, berbeda bentuk mata, berbeda suku dan bangsa. Semua saling menyapa: Assalamu'alaikum, setiap berjumpa di mana saja dengan senyum di kulum atau senyum lebar. Saling menghargai dan menyapa atau mengucapkan terima kasih dengan menempelkan telapak tangan di dada. Bila ada yang tidak kebagian tempat duduk untuk sholat, dengan senang hati mereka berbagi dan menekuk lututnya sehingga yang tidak kebagian tempat duduk bisa ikut menyisip di sisinya.  Bila ada yang egois, tidak memberikan. Maka, semua mengingatkan untuk tidak boleh egois, dan harus berbagi tempat duduk.  Sesekali dari mereka dengan suka rela, mengambil air zamzam beberapa gelas plastik,  kemudian diedarkan dengan penuh senyum kepada siapa saja yang merasa haus.  Yang membawa makanan, akan berbagi dengan siapapun yang ada di sisi kiri atau kanannya. Yang mengantuk dan ingin tidur, dipersilakan tertidur tanpa merasa jengah. Karena, mungkin sepenanggungan, seperasaan yang diikat oleh keyakinan yang sama. Bahwa, mereka hadir di sana. Hanya untuk mencari keridhoan Allah semata. 


Untuk tempat sholat, baik di Mesjid Haram atau di Mesjid Nabawi antara tempat sholat pria dan wanita dipisahkan.  Jadi, tidak bisa suami isteri sholat di satu tempat yang sama.  Jarak antara tempat sholat pria dan wanita terpisah rata-rata antara 50 sampai 100 meter.  Dalam kumpulan ratusan ribu bahkan jutaan jemaah, bukan satu hal yang mudah untuk kembali bertemu bila kita berpisah dengan isteri, suami atau teman-teman kita.  Makanya, untuk memudahkan kembali bertemu, kita janjian untuk bertemu di pintu gerbang nomor berapa. Di Mesjid Haram, kalau saya tidak salah lihat ada 210 nomor gerbang (gate) sedangkan untuk pintu mesjid ada 100 pintu.  Pintu Masjid Nabawi ada 43 pintu dan 300 lebih gerbang pagar mesjid.  Namun, karena sangat menyemutnya jumlah jemaah pada waktu bubaran sholat. Walaupun, sudah janjian di gerbang pintu sekian atau pintu mesjid sekian lengkap dengan ciri tempatnya. Seringkali, kita tetap saja cukup sulit untuk menemukan istri, suami atau teman kita. Jurus terakhir adalah video call! Eh, pas diangkat isteri, suami atau teman kita ada di belakang bahkan di depan kita. Akhirnya, suka pada melengos sendiri. Asem!

Pada saat kami, selonjoran karena sepertinya karpet yang diduduki baru ditinggalkan oleh jemaah dari negara lain.  Tiba-tiba, Mang Iwan setengah berteriak campur kaget memanggil saya. "Pak...ada uang! Dua riyal! Dua lembar kertas!" Sambil memegang kedua lembar tersebut. Di sisi uang tersebut tampak sebuah kunci magnet hotel.  Saya, periksa kedua lembar uang kertas yang terbungkus kertas resi pengambilan dari ATM. "Waduh...ini mah bukan dua riyal Mang! Tapi Dua ribu riyal jadi kalau dua lembar jadi empat ribu riyal! Berarti kalau dirupiahkan sekitar Enam belas juta rupiah!!!" 

"Aneh ya Pak, kalau kita pegang uang kertas rupiah. Enam belas juta mungkin segepok uang kertas. Tapi, kalau riyal mah cuma dua lembar!" Ujar Mang Iwan tertawa.  "Kasihan, yang punyanya ya Pak! Kebayang kebingungan!" katanya lagi. "Iyalah, pasti...jangankan enam belas juta rupiah. Kita aja yang kehilangan lima puluh ribu perak aja udah garuk-garuk kepala!" jawab saya lagi. "Udah simpen aja dulu mang. Tapi,jangan dipake apalagi di bawa ke tanah air. Inget, ini tanah haram!"  Lalu saya ceritakan seorang teman yang mengalami kejadian hal yang sama, tapi di Mekah. Kemudian, uang yang tidak sedikit yang ditemukannya di bawa ke tanah air. Bisnisnya malah hancur tak bersisa!  

Walaupun, baru mengenal Mang Iwan beberapa hari saja. Saya sudah mengetahui beliau orang yang jujur dan tawadhu.  Terbukti, sekalipun uangnya puluhan juta tapi cara berpakaiannya tetap sederhana.  Bicara apa adanya, dan selalu berterus terang bila ada sesuatu yang tidak berkenan.  Hal itu terbukti, uang tersebut tetap dipegangnya dan tidak ingin diserahkan kepada sembarang orang.  Bahkan, dia mencoba mencari kira-kira hotel yang menggunakan kunci hotel yang ditemukan bersama dengan uang tersebut. 

Namun, hasilnya nihil!  Mungkin, karena beban mental dan rasa takut yang berlebihan Mang Ipan jatuh sakit. Beberapa hari sebelumnya, isteri Mang Iwan juga sakit di bagian kepala selama dua hari, bukan hal yang mungkin beliau juga dibebani mental dan rasa takut yang sama di hadapan Allah. Bila, uang tersebut tidak kembali kepada pemiliknya.  Di sisi lalin, tidak ingin menyerahkan kepada sembarang orang, bahkan polisi sekalipun yang tidak jelas.  

Setelah berdiskusi dengan TL, Mang Yuda dan Om Andri, semua menganjurkan agar uang tersebut jangan sampai terbawa ke tanah air. Sebaiknya diserahkan kepada badan atau lembaga di mesjid yang mengelola pengurusan penemuan atau kehilangan barang jemaah di mesjid Nabawi.  Masalahnya, kami belum mengetahui di mana kantor tersebut.

Beruntung. Alhamdulillah, pada saat akan pulang ke tanah air. Kita didatangi oleh Abdullah, seorang mahasiswa Indonesia yang mukim di Yaman dan pernah lama kuliah di Madinah. Dia menganjurkan uang tersebut diserahkan ke "Kantor Penemuan dan Kehilangan Barang" yang ada di depan Masjid Nabawi.  Kita sepakat, karena mahasiswa tersebut sangat fasih berbahasa Arab dan orangnya bisa dipercaya (kita sudah sering bertemu dan berjalan dengan mahasiswa itu selama di Mekah). uang tersebut akan diserahkan ke kantor tersebut.  Anehnya, setelah uang tersebut diserahterimakan kepada Abdullah. Mang Iwan pun sembuh dari sakitnya.  Kembali bercanda dan bisa tertawa lepas.

Alhamdulillah, seminggu kemudian setalah tiba di tanah air.  Mahasiswa yang bernama Abdullah tersebut mengirimkan foto-foto bukti bahwa, uang tersebut benar sudah diserahkan ke petugas di Kantor Penemuan dan Kehilangan Barang di depan masjid Nabawi.  

Menurut informasi, uang tersebut akan disimpan dan akan diberikan kepada pemiliknya.  Bila  dia mengklaim dan bisa menunjukkan bukti kepemilikkannya dan menceritakan di mana kira-kira kehilangan uang tersebut serta menyebutkan berapa jumlah uang yang hilangnya dengan tepat.  Namun, bila dalam jangka waktu satu tahun tidak ada yang mengklaim. Dipastikan uang tersebut akan digunakan untuk fisabilillah dimasukkan ke dalam infaq atau shodaqah. Bahkan, bukan hal yang mungkin diserahkan kepada penemu uang tersebut!

Wallahu a'lam bishowab!

Friday, May 13, 2022

Tenggelam dalam Lautan Manusia

 oleh; Deny Suwarja


Pada saat kami datang ke kota Mekah, pada malam 17 Ramadhan 1432 Hijriah, mesjid Haram yang luasnya lebih dari 36,6 hektar tersebut dipadati jutaan manusia.  Tiap ruangan mesjid, koridor di dalam mesjid. Bahkan halaman mesjid yang luasnya puluhan kali dari luas lapangan sepak bola, sudah dipadati manusia. Mulut-mulut mereka tak henti melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Seolah mereka tak mau menyia-nyiakan setiap detik dari kesucian bulan Ramadhan dan kesucian Mesjid Haram, tak rela sedetik pun untuk tidak beribadah. Sehingga, dalam posisi duduk, selonjoran, rebahan, bersandar bahkan sambil berdiri tangan mereka tak lepas dari Al Quran, mulut mereka pun tak henti membaca ayat suci Al Quran.  Siang dalam keadaan haus dan lapar karena berpuasa, bukan berarti mulut mereka berhenti untuk membaca ayat suci.  Malam dalam keadaan kantuk yang teramat sangat menyerang dua kelopak mata, mereka terus beribadah dengan segala cara.

Berbeda dengan yang berada di dalam mesjid. Lautan manusia di pelataran Ka’bah, menyemut terpusat mengelilingi Ka’bah. Gerakan titik-titik putih adalah kaum muslimin yang berpakaian ihram dan titik-titik hitam adalah kaum muslimah. Bergerak perlahan, berlawanan arah jarum jam mengelilingi Ka’bah. Bergerak serempak cepat pada saat melewati hijir Ismail, kemudian melambat bahkan sepersekian detik hampir berhenti hanya karena lautan manusia tersebut sesaat melakukan Isti’lam. Mengangkat tangan, dan memberi kecupan jauh, sudah cukup membuat antrian jutaan manusia di belakangnya tersendat sepersekian detik. Lautan jutaan manusia yang seperti sudah seperti aliran air tersebut bergerak bersama mengelilingi Ka’bah 7 kali putaran.  Takbir, tasbih dan tahmid serta do’a-do’a terbaik sepanjang kaki melangkah memutari Ka’bah terus terucap dari mulut para jemaah.

Pada saat Tawaf inilah kita bisa meyakinkan diri dalam Al Quran, Surat Al Hujrat ayat 13: ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat:13)”.  Tidak ada perbedaan suku bangsa atau ras. Tidak ada perbedaan  warna kulit, manusia berkulit hitam legam, berkulit putih, berkulit kuning, berkulit merah, bahkan berkulit abu-abu semua sama mengumandangkan takbir,tasbih dan tahmid yang sama. Semuanya menyatu berpadu dalam kekhusuan yang syahdu dengan lontaran bahasa aneka rupa. Tapi, tetap saling menghormati, saling menolong, saling membantu saling lempar senyum penuh kedamaian dan persaudaraan.


Tenggelam dalam lautan manusia yang bergerak bersama, tidak menjadikan kita saling dorong, saling sikut atau saling injak. Yang ada malah saling jaga untuk melindungi mereka yang lemah.  Secara serempak bila ada kursi roda di tengah mereka, kita saling memberikan isyarat dan merentangkan tangan. Agar aliran manusia di belakang, tidak melindas kursi roda yang diduduki hamba Allah yang sudah teramat lemah karena usia atau karena tidak mampu berjalan.  Anak-anak kecil yang baru bisa berjalan sampai yang sudah berlari, ikut hanyut bergeraka dituntun orang tuanya, tanpa takut terinjak oleh manusia dewasa. Para orangtua, dengan tenangnya memangku bayi mereka, menggendong, bahkan memunggu buah hati mereka di pundak. Tanpa rasa takut, jejalan manusia yang seperti buih lautan di tepi pantai. Sengatan matahari dengan suhu hampir 39 derajat tidak lagi terasa panas. Yang terasa justeru sebalik, hati terasa sejuk, damai tak bisa diceritakan dengan kata-kata. 

Gerakan gelombang jutaan manusia, serempak melangkah pelan mengelilingi Ka’bah. Kiblat umat Islam, bangunan berbentuk kubus dengan ukuran panjang 13 meter, lebar 11 meter dan tinggi 12 meter  yang ditutupi kain beludru hitam yang disebut Kiswah. Ka'bah bukanlah benda yang disembah tetapi merupakan tempat ibadah dan kiblat bagi umat Islam. Ka'bah hanyalah sebuah bangunan suci yang dibuat oleh manusia.  Riwayat menyebutkan Ka’bah adalah bangunan yang pertama kali dibangun oleh Adam kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Syist. Ketika terjadi banjir besar di masa Nabi Nuh, kabahpun ikut rusak dan hilang terbawa air banjir. Kemudian di zaman Nabi Ibrahim, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangunnya kembali. Makanya, lebih kurang 10 meter dari Ka’bah terdapat maqam Ibrahim. Bukan makam yang berate kuburan, tapi maqam, yaitu tempat bekas telapak kaki Nabi Ibrahim pada waktu membangun Ka’bah.  Hal ini perlu dijelaskan, karena banyak yang masih berpikiran bahwa maqam Ibrahim adalah makamnya nabi Ibrahim (;p).  Di bawah Multazam (pintu Ka’bah) terdapat batu hitam, yang merupakan tempat malaikat Jibril mengajarkan tata cara wudhu dan sholat kepada Rasulullah Muhammad S.A.W.

Harum semerbak, tercium dari jarak sekitar sampai 5 meteran, karena pasca pandemi.  Sekeliling Ka’bah dihalangi barrier berwarna putih berjarak 2 meter dari dinding Ka’bah. Sisi positifnya, jemaah tidak terlalu terpusat dan berebut untuk mencium Hajar Aswad dan Multazam. Namun, dibuatnya barrier tersebut tidak menjadikan berkurangnya kekhusuan umat muslim untuk bertawaf. Tidak menjadikan mereka untuk menghentikan shalat di sekitar maqam Ibrahim. Kabah dan maqam Ibrahim, adalah tempat mulia untuk melakukan perintah Allah seperti tercantum dalam Al Quran, surat Al Baqarah ayat 125: Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".

Kita tenggelam dalam keheningan diri, komtemplasi yang terjadi dengan sendirinya tanpa harus berkonsentrai.  Langkah kaki pendek dan pelan terus bergerak mengeliling Ka’bah, yang tertutup hitamnya kain Kiswah yang semerbak wangi oud.  Dada terasa sesak karena rasa haru dan bahagia tak terhingga. Mata lurus ke depan menatap keagungan dan kemuliaan Ka’bah. Di tengah lantunan tasbih, tahmid dan takbir yang keluar dari jutaan mulut.  Air mata tak terasa membasahi kedua pipi, mulut terus mengucapkan tasbih, tahmid dan takbir serta sholawat kepada Rasul dan para sahabatnya terus mengalir dari mulut para jemah. Dalam isakan dan tangisan, dalam sujud di Maqam Ibrahim, terselip doa kepada Sang Maha Pencipta, agar ayah ibu, anak, istri, saudara serta semua kaum mukminin dan mukminat diberikan keselamatan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Aamiin….


Wednesday, May 11, 2022

Berpuasa Selama 18 Jam



Oleh : Deny Suwarja

Saat menikmati perjalanan Jakarta - Jedah dengan maskapai penerbangan Lion Air JT 1112 yang memakan waktu kurang lebih 9,5 jam.  Rombongan dalam pesawat yang akan melakukan umroh praktis harus berpuasa lebih kurang 18 jam. Hal itu terjadi karena pesawat menuju ke arah Barat, yang mau tidak mau menambah perjalanan waktu.  Karena penerbangan searah dengan arah perjalanan perputaran bumi.  Jadi seolah-oleh kita mengejar dengan tenggelamnya matahari. 

Saat awak pesawat membagikan jatah makan siang, terlihat hanya satu atau dua orang yang tidak berpuasa (ruhsoh) dan menyantap makanan tersebut.  Namun, Alhamdulillah secara umum semua memilih untuk tetap berpuasa.  Waktu terasa berlalu sangat lambat. Pada saat melihat jam tangan menunjukkan pukul 17.30, seorang teman yang duduk di sisi pesawat membuka jendela pesawat. Tampak, matahari masih tertawa, terang benderang. Padahal kalau di Indonesia sudah pasti matahari sudah redup, tenggelam di ufuk barat.



Mulut dan bibir sudah kering, tenggorokan benar-benar merasakan rasa haus yang amat super duper dahaga. Air ludah mengental dengan sendirinya, Cairan di dalam mulut terasa lengket. Karena kelenjar parotis, sublingual dan kelenjar submandibular tidak mampu lagi menghasilkan saliva. Namun berkah ketabahan.  Semua tetap bertahan dan tabah terus berpuasa, paling saling tersenyum dan menunjukan ke tenggorakan masing-masing. Padahal kalau iman mereka tipis atau dengan alasan ruhsoh.  Bisa saja mereka makan dan minum, karena sebelumnya awak pesawat membagikan nasi box untuk berbuka puasa dan segelas air kemasan.  Tapi, tak seorang pun yang membuka dan menyantapnya. Semua tetap khusu berpuasa, bersabar, mengisi waktu dengan tadarus membaca Al Quran. 

Pukul 17.45 pesawat mendarat di Jeddah seharusnya sudah magrib, tapi tetap masih terlihat cukup terang. Diangkut bus bandara menuju ke ruang imigrasi untuk pemeriksaan paspor dan visa. Saat turun dari pesawat dan bus bandara. Jemaah membawa tas tentengannya masing-masing,  yang dipastikan tidak ringan. Minimal membawa tas yang berisi pakaian dan bekal makanan ringan untuk berbuka. Dalam kondisi berpuasa yang sudah melewati batas waktu kebiasaan.  Dipastikan tubuh sudah dalam titik yang paling lemah. Beberapa jemaah, bahkan menggusur atau menyeret tas tentengannya di atas lantai menuju ruang pemeriksaan.  Saat memasuki ruang imigrasi, tampak antrian berderet sangat panjang di depan beberapa meja imigrasi yang dihalangi kaca mika.

Manusia dari berbagai negara dan bangsa, semua berbaris antri. Ada beberapa rombongan main serobot, tapi kami hanya diam karena jangankan kami. Petugas bandara Arab Saudi saja, yang terus berteriak mengarahkan agar kami antri, tidak mereka dengarkan. Sepertinya, petugas bandara tidak siap untuk menerima kedatangan jemaah yang begitu banyak.  Terlihat, antrian lelaki dan perempuan tidak dipisahkan. Antrian rombongan dari berbagai negara yang baru turun, tidak dipisahkan berdasarkan asal  negara dan maskapainya tetapi dibiarkan berderet dan bercampur dengan rombongan negara lain.

Suasananya di bandara terlihat sangat kikuk, hirup pikuk dan penuh tekanan mendadak yang tidak diperkirakan sebelumnya dengan jumlah kedatangan manusia yang begitu membludak dan mendadak. Antrian bertumpuk, akhirnya beberapa meja pemeriksaan imigrasi dibuka mendadak untuk mempercepat proses. Manusia yang berpostur tubuh tinggi besar, kurus tinggi, pendek kekar, pendek kurus mengantri dalam antrian berbeda bangsa.  Manusia dengan berbagai warna kulit hitam, putih, kuning, cokelat, abu-abu semua mengantri dalam satu antrian berbeda negeri. Manusia dengan pakaian aneka warna dan aneka model mengantri dalam antrian berbeda ras. Satu kesamaan, di tangan masing-masing memegangkelengkapan paspor dan visa untuk diperiksa.

Petugas imigrasi yang memeriksa kelengkapan dokumen di beberapa meja, terlihat tidak sabaran dan geregetan dengan beberapa jemaah yang bermasalah dengan dokumennya.  Sehingga mereka terpancing marah, mengomel dengan bahasa Arab disertai isyarat tangan yang menunjukkan kekesalan mereka. Alhamdulillah, walaupun sempat disela oleh rombongan negara lain yang bertubuh tinggi besar.  Pada saat giliran kami si petugas mendadak jadi ramah.  Tersenyum ramah, sambil menyapa: ”Haaa, Indonesia Selamat Datang! Apa kabar?!” dengan lidah terasa tebal sambil menyerahkan paspor, saya jawab, :”Alhamdulillah, bi khoir. Kayfa haluk?!” Dia terlihat senang, tersenyum lebar, mengangguk angguk dan tanpa ba bi bu. “Jegrek” paspor langsung dicap, tidak seperti jemaah dari negara lain yang diperiksa sangat teliti. ”Selamat datang!” Ujarnya, menyerahkan paspor yang sudah dicap sambil tertawa.

Menunggu bis penjemputan ke hotel di Mekah, semua berkumpul di ruang tunggu.  Saling bertanya, sudah waktu buka belum? Berapa menit lagi untuk berbuka? Semua tampak harap-harap cemas. Tak sabaran menunggu waktu berbuka yang tinggal menunggu menit. Beberapa dari kami bertanya kepada orang-orang yang diperkirakan penduduk Jedah. Jawabannya ternyata sama saja, I don’t know! Ma ’arif! Ternyata mereka juga sama-sama baru mendarat. Akhirnya, pukul 18.50 waktu Jeddah terdengar suara adzan sayup-sayup entah dari mana.  Segera, semua berbuka puasa. Menikmati seteguk demi seteguk air kemasan dengan tiga butir kurma yang disediakan di bandara. Kompak semua membuka kemasan alumunium berisi sejumput nasi, sepotong daging dan sesendok sayur yang dibagikan awak maskapai penerbagangan, sesaat sebelum mendarat tadi. Jemaah lelaki tentunya was-was dan riskan karena sejak di atas Yulamlam, harus sudah berpakain ihram. Takutnya sosis tunggal mereka ikut dilahap saking laparnya!

Semua tampak lega, wajah sumringah bahagia kembali tampak di wajah-wajah lelah tapi tak mau menyerah.  Ikhlas, berlapar, berhaus dahaga, berpuasa selama lebih kurang 18 jam! Alhamdulillah, bisa tamat berpuasa selama 18 jam lebih dengan perjuangan dan pengalaman yang tidak akan terlupakan sepanjang hayat!

 

20 April 2022

Friday, December 6, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 14)

#JinIslamdiKersek
#BAGIANKEEMPATBELAS
Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 14)
 
Sudah pernah diceritakan, kalau saya hampir menemui ajal, hampir meregang nyawa saat sebuah golok menyambar ke arah leher saya. Gangguan demi gangguan masih banyak lagi, tidak bisa diceritakan semua. Karena, akan membuat bosan para pembaca.  Misalnya, ada yang pernah ditelanjangi tengah malam atau siang, ada yang ditarik dan disembunyikan selimutnya kemudian ditelanjangi, sehingga pada waktu bangun kedinginan, selimut dan baju yang terbang di atas pemiliknya, ada yang kedua lengannya dimasukan ke dalam lobang lengan bajunya sehingga kedua lengannya tidak bisa bergerak.  Ada juga yang dimasukkan ke dalam karung, kemudian lobang karungnya dijahit seperti mengarungi beras.  Santri yang sedang berdzikir, tasbihnya ditarik, Ada yang sedang bersujud, tubuhnya digulingkan sampai tak berkutik, atau ada juga santri sedang sujud tikarnya ditarik sehingga jadi tersungkur.  
 
Yang belum diceritakan adalah banyaknya surat-surat dari jin yang bernama Siti Kolbuniyah itu.  Menulis suratnya di secarik kertas, dengan pensil merah. Pada awal mulanya surat tersebut, tulisannya bukan Bahasa Arab, entah bahasa atau tulisan apa yang dipakainya.  Entah mungkin bahasa atau huruf di negeri Habsyi.  Tulisannya curat-coret tidak bisa dimengerti, dengan ukuran hurup melebihi ukuran hurup di kita.  Hanya, terpikir saja kalau carikan kertas dengan tulisan merah itu adalah sebuah surat.  Jin itu menyimpan yang saya pikir surat itu di bawah bantal yang biasa saya gunakan untuk tidur atau di sarung bantal kecil untuk menancapkan jarum.  Kadang-kadang malah, sarung bantal itu sendiri yang dijadikan korban, ditulisi dengan hurup dan bahasa “Alien” tersebut.  Menjadikan sarung bantal jadi sangat kotor.  Apa yang dituliskan, sama sekali tidak bisa ditangkap maknanya. Sehingga, semua carikan-carikan tersebut saya bakar.  Di kemudian hari saya merasa menyesal, karena surat-surat tersebut bisa dijadikan bukti untuk penulisan kisah nyata ini. Surat-surat tersebut bisa dijadikan bukti otentik, adanya tulisan jin Siti Kolbuniyyah. Mungkin bisa dijadikan bahan penelitian di Chanel History dalam acara Ancient Alient, membuktikan keberadaan mahluk halus.
 
Diakibatkan surat-suratnya sering dibakar, jin itumenjadikan pengganti kertas adalah sarung-sarung bantal.  Mungkin agar, tidak dibakar atau maksudnya ingin agar tulisannya dijadikan perhatian dan dibaca oleh saya.  Saya mengerti apa yang tertulis di carikan-carikan kertas itu bukan sekedar tulisan.  Tapi, tulisan yang mengandung arti atau surat.  Karena begitu seringnya tulisan tersebut muncul di berbagai tempat. Dugaan awal saya, mungkin jin itu mengajak berkomunikasi langsung. Mengajak berdamai atau ada yang ingin disampaikan jin itu kepada saya.  Karena kesal, dengan kotornya sarung bantal yang selalu dicoreti jin itu, sehingga harus mencucinya berulang-ulang.  
 
Akhirnya, saya menuliskan beberapa kalimat. Siapa tahu jin itu membalasnya. Kalimat yang saya tulis: “ Kalau curat-coret kamu di kertas yang dibakar adalah benar sebuah surat yang ditujukan kepada saya. Saya minta, kamu menulis dalam huruf latin atau hurup yang bisa dibaca oleh saya, manusia. Serta bahasa yang dipakai harus bahasa Sunda, karena saya adalah manusia Sunda!” lalu catatan itu diletakan di atas bantal.  Tidak sampai sepersekian detik, entah darimana datangnya,  Muncul sebuah jawaban di secarik kertas dengan tulisan pensil merah, memakai aksara Latin dalama bahasa Sunda.  Tapi, ya ampuuun. Bahasa yang digunakan, bahasa kasar dan berbau porno.  Malahan, makin ke sini, bahasa yang digunakan sangat jorok dan kotor.  Mungkin dia merasa sudah sangat akrab.  Bagaimana isi surat-surat tersebut, nanti di belakang diceritakan.  Sekarang kita tunda dulu.  Saya akan ceritakan, bagaimana upaya selanjutnya saya untuk mengusir jin tersebut, Kotak surat atau brievenbus yang dijadikan tempat menyimpan surat oleh Nyai Siti Kolbuniyah adalah di bawah bantal saya. Saya biarkan sampai menumpuk berupa carikan-carikan kertas. 
 
Saya selalu bertawakal kepada Allah SWT saking ingin bisa mengusir jin tersebut. Adalah percuma, sekalipun dia menyerah kalah tapi tidak minggat dari rumah saya. Tetap akan membuat berabe dan tidak nyaman dalam rumah saya.  Membaca isi suratnya, yang sudah bisa dimengerti karena memakai hurup latin dan bahasa Sunda. Jin itu bercanda sangat keterlaluan.  Saya, sudah kehabisan akal, bagaimana caranya menaklukkan dan mengusir jin kebandelan dan kejahilan jin tersebut. 

Sulitnya, jin itu selalu lebih unggul daripada orang pintar yang akan mengusirnya. Kiai dan Mak Paraji tidak ada yang berdaya. Menyerah karena kesaktian jin tersebut. Akhirnya, saya menyadari. Seharusnya saya hanya berpegang dan berharap kepada Allah SWT bukan kepada sesama mahluk.  Secara pribadi saya bertekad akan melawan habis-habisan. Perang total dengan segala kemampuan diri yang ada untuk melawan jin itu sendiri. Tidak akan meminta bantuan kepada orang lain atau orang pintar lagi.  
 
Bukan, karena tidak percaya dengan ilmu orang lain, bukan takabur.   Bukan menolak bantuan sukarela dari mereka yang peduli dan menyayangi saya. Bukan karena sudah tidak ada lagi yang ingin membantu mengusir jin itu. Tapi murni ingin berusaha sendiri, dengan kemampuan diri sendiri. Tidak melibatkan orang lain.  Karena, awal mula masalah itu muncul, diakibatkan oleh saya.  Saya sendirilah yang harus menyelesaikannya
DESSULAEMAN

Thursday, December 5, 2019

Mengamuknya Jin Islam di Keresek (Bagian 13)

#jinIslamdiKeresek
#bagiantigabelas
Mengamuknya Jin di Keresek (Bagian Ketigabelas)

Ku Hasba

Saya terus berusah untuk mengusir jin tersebut. Jin yang sulit untuk diusir, karena tidak ada yang mampu mengusir jin tersebut. Bukan ajian yang tidak sakti, bukan ilmu yang tidak mampu, bukan pula doa yang tidak mempan.  Tapi, karena ilmu jin tersebut lebih sakti, lebih tinggi daripada orang yang merapa ajian atau doa tersebut.

Terbukti sewaktu saya mendatangkan seorang ahli debus dari Cirebon, yang terkenal sakti mandraguna. Orang yang terkenal si pahit lidah, karena ilmunya pasti manjur untuk mengusir setan, iblis ataupun jin.  Dukun yang terkenal ke seluruh daerah, baik di timur atau di barat, di utara atau di selatan.  Semua jin yang digjaya, sering menggoda manusia, berlaku jahil aniaya kepada manusia tidak ada yang berdaya menghadapi semburan air ludahnya.
 
Sanusi, begitulah orang tersbut di panggil, orang pintar dari Tegal Gubug. Terkenal di seluruh daerah bagian utara, beliau adalah tukang menaklukan setan, Iblis dan jin.  Bila Sanusi sudah turun tangan, maka tidak ada satupun setan, iblis dan jin yang  mampu menahan keampuhan ilmunya. Nah, kepada Sanusilah saya barharap dapat mengusir jin yang mendekam dan mengganggu kedamain di pesantren.   

Saat datang ke rumah saya, Sanusi langsung berkata, bahwa kedatangannya adalah lillahita’ala hanya ingin membantu dan mengembalikan kedamaian di pesantren. Kedamaian yang direnggut oleh jin yang ingin membalas dendam atas kematian suaminya (padahal saya tidak ada niat sedikitpun untuk melakukan pembunuhan tersebut). 

Sanusi, langsung melakukan ritual pengusiran jin tersebut.  Dimulai dengan membaca doa, kemudian dia menuliskan surat Alamtaro di daun pintu bagian atas.  Dia menuliskan surat tersebut dengan cara diputus-putus, seperti tulisan-tulisan Arab di isim atau ajimat yang sering dilakukan oleh sebagian orang pada waktu  melakukan ritual Rebo Wekasan.  Isim atau ajimat, yang biasanya dimasukkan ke dalam air, kemudian airnya diminum atua dipakai untuk mencampuri air untuk mandi.  Baru saja Sanusi, menuliskan surat Alamtaro tersebut, belum sampai setengahnya.  Tiba-tiba, terdengar suara jernih dan merdu.  Suara tersebut sangat fasihah dan makroj hurufnya sangat tartil.  Ayat yang dibacakan adalah ayat yang setiap kali akan dituliskan oleh Sanusi di daun pintu.

Dari hal ini saja jelas, bahwa, jin perempuan itu lebih tinggi ilmunya daripada Sanusi.  Terbukti, jangankan takut saat dituliskan ajimah oleh Sanusi. Dia, malah melakukan qiro’at dengan suara yang merdu, lebih faham perihal Al Quran.  Sesat setelah jin tersebut membacakan surat Alamtaro, di depan para hadirin. Entah darimana datangnya, sebuah kertas putih lengkap dengan tulisan warna pensil merah seperti biasanya. Isi surat tersebut, menantang duel kepada saya untuk mengadu ilmu dan kesaktian, mengajak berdebat tentang masalah ilmu yang dua belas. 
“Bila Ustadz (jin itu menyebut saya ustadz) penasaran ingin menjajal ilmu yang Ana miliki dangan ilmu yang ustadz dapatkan dari Ayah ustadz. Baiklah, ayo ustadz mau nanya apa kepada Ana!”

Kesaktian Sanusi dari Cirebon, ternyata tidak mempan mengusir Jin Siti Kolbuniyyah yang mengganggu di rumah saya.  Jin itu malah menantang mengaduk ilmu.  Detik itu juga, Sanusi memohon maaf, sambil tertunduk-tunduk. Menahan malu, dan mengakui kesaktikan dan ketinggian ilmu dari jin tersebut. Tidak lama kemudian Sanusi pamit.  Dia mengatakan jin yang ada di rumah saya, bukan jin sembarang jin, tapi sepertinya  jin santri yang menguasai denga n  baik ilmu agama.  Percuma saja, dia melanjutkan ritual pengusiran dan mengeluarkan ilmu kesaktian untuk melawan jin itu.

Apa yang diucapkan Sanusi tidak salah, sebab kenyataannya Iko, keponakan saya yang pertama kali bermimpi tentang jin Siti Kolbuniyyah, sebelum mengamuk.  Suatu malam Iko, sedang menghafalkan, menalar kita Alfiyah dalam bab Idhofat.  Iko malah sengaja diledek, dan dijadikan candaan oleh Siti Kolbuniyyah.  Ledekan dan candaan yang dilakukan oleh jin tersebut akan membuat terbelalakn orang yang paling cerdas sekalipun. Betapa tidak.  Sekalipun seorang profesor, kalau menalar sesuatu kalau membaca dari atas ke bawah.  Berurutan dari paragraf pertama, lanjut ke paragraf kedua, ketiga dst. Apalagi kalau paragraf tersebut berbentuk Couplet.  Dari bait awal, lanjut ke bait kedua, ketiga dan seterusnya.  semua yang ditalar tersebut harus berurutan, dari kepala baru ke ekor, sehingga susunannya tidak kacau balau. 

Tapi, lain yang dilakukan oleh Siti Kolbuniyyah.  Dia membacakan bait-bait alfiyah dilakukan secara terbalik. Di membacakan mulai dari ekor (bawah) dilanjutkan ke kepala (atas).  Hal tersebut dia lakukan dengan sangat lancar, tidak ada istilah tanggung  atau ragu-ragu (kagok). Tidak tersendat atau jeda sedetikpun. Tertib dan lancar seperti kita membaca biasa, padahal apa yang dilakukan jin itu dilakukan sebaliknya. Siapa orangnya yang bisa melakukan,menalar alfiyah secara terbalik?  Silakan aja coba sendiri, dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi dinyanyikan bait-baitnya dari kalimat terakhir kemudian ke kalimat awal. Plus, menyanyikannya harus dalam tempo cepat dan tidak boleh ada jeda. 

Kesimpulannya, jin ini dipastikan adalah jin yang sangat pintar dan cerdas. Ternyata jin juga, kalau sudah pintar tidak tanggung kepintarannya.  Bila cerdas, tidak tanggung kecerdasannya.  Bila jin ingin mengaji, maka dia akan mengaji dengan sungguh-sungguh sampai dia benar-benar mengerti.  Sifat dan kelakuan tersebut adalah karunia dari Illah Robbi yang Maha Suci. Sebaliknya, bila jiin berbuat jahat, maka kejahatannya melebihi kejahatan mahluk lain yang ada di dunia.  Kalau jin itu berbuat jahil atau iseng, makan kejahilan dan keisengannya melebihi kejahilan dan keisengan mahluk yang ada di muka bumi.  Kalau jin menakut-nakuti, maka perbuatan menakut-nakuti orang tersebut akan membuat seorang penakut langsung mendapat gelar almarhum karena serangan jantung mendadak.  Begitupun, bila jin itu menampakan diri dalam bentuk rupa yang cantik jelita, maka kecantikannya akan melebih seorang bidadar sekalipun. (memangnya Ceng Hasan Basry pernah bertemu dengan bidadari? (penulis))

Begiitu pula, bila jin tersebut menampakan diri dalam rupa yang buruk.  Pasti keburukannya, melebih wajah seburuk-buruknya manusia di muka bumi.  Dalam cerita Sunda  ada tokoh yang disebut Carmad, seorang tokoh buruk rupa. Tetapi, bila manusia ditakut-takuti oleh keburukan rupa Carmad tidak akan seberapa rasa takutnya bila ditakut-takuti oleh keburukan rupa dari rupa jin yang menampakan diri dalam wajah yang paling buruk.

Sifat jin bila diberi sifat bengal, sealim-alimnya jin, pasti diberikan sifat bengal.  Sampai ada peribahasa, sealim-alimnya jin sama dengan sedholim-dholimnya manusia. Ulamanya jin, kiayinya jin yang paling alim, sama dengan pencuri kawakan, tukang begal, tukang maling dalam kalangan manusia.

Saya mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT yang masih melindungi saya, keluarga dan para santri saya sehingga masih bisa bernafas sampai detik ini.  Bila tidak ada perlindungan dan rahmat dari Allah SWT, dipastikan saya sudah menjadi almarhum.  Walaupun, karena tekanan batin dan stress berat atas godaan dan teror yang dilakukan oleh jin tersebut menjadikan tubuh saya kering kerontang, kurus hanya tulang berbalut kulit. Karena tidak enak makan, tidak enak tidur, dan berpuasa untuk mendapatkan tingkat kesabaran seperti yang dinasihatkan Ayahanda dalam mimpi.  Saya berharap, semoga gangguan jin cepat berlalu dan kehidupan saya bisa kembali berjalan normal seperti biasanya (BERSAMBUNG).

DESSULAEMAN

Gambar Ilustrasi dari Google

Thursday, November 14, 2019

Kamu adalah Apa yang Kamu Makan

 Kamu adalah Apa yang Kamu Makan

"Ketika ‘sifat malu’ hilang dari seseorang maka mudahlah dia melakukan berbagai pelanggaran dan tidak segan untuk bermaksiat bahkan dia tidak malu untuk bermaksiat secara terang-terangan"

Lagi ramai, beberapa orang manusia yang mengaku muslim. Bicara blak-blakan bahkan tidak mempunyai malu atau rasa bersalah sedikitpun. Mereka mengaku, sangat menyukai makan daging babi yang disajikan di sebuah restoran di Jakarta.
Konon, kata presenter yang menggunakan bahasa Inggris. Restoran, yang jelas-jelas menunya menggunakan daging babi tersebut pelanggannya adalah "orang Islam".

Entah benar, entah tidak mereka orang Islam. Karena orang Islam yang benar-benar Islam, jangankan makan daging babi, bahkan, minyak babi pun tidak berani mereka konsumsi.

Alasan yang mereka utarakan, bahwa mereka pada awalnya, tidak mengetahui yang mereka makan adalah daging babi. Tapi, karena mereka merasakan bahwa daging babi itu enak. "Ya, gimana lagi, karena rasanya enak dan saya suka. Ya, terusin aja makan di sini!" Wajah yang diwawancarai tersebut tidak dibalur sama sekali. Sepertinya mereka tidak keberatan disorot dan ditampilkan mulan sebagai muslim pemakan babi. Dari kalimat bisa teranalogikan mereka bisa juga melakukan zina, melakukan korupsi, menghardik anak yatim, minum alkohol, berjudi dsb.

Perbuatan dan perkataan yang seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya rasa malu. Orang yang tidak punya rasa malu, berarti orang itu tidak punya iman. Karena malu itu adalah sebagian dan Iman. Orang tersebut tidak malu dengan Allah, tidak malu dengan Rasulullah, tidak malu dengan Al Qur'an yang jelas-jelas mengharamkan daging babi. Atau mungkin, urat malu mereka sudah putus?
Naudzubillah min dzalik!

Sunday, November 3, 2019

Home Sick

Home sick

"Bu, ini Ija, kalau boleh.  Tolong kirim sayur kacang merah buatan ibu, batagor dan baso tahu buatan ibu, kue pastel buatan ibu, cilok buatan ibu dan kue risoles buatan Ibu. Kalo boleh bawain sprite dan sosis dua kaleng hehehe...!"

Sebuah pesan WA dari Wali Kamar si Bungsu dua hari lalu. Si Bungsu sepertinya merindukan masakan ibunya. Dia memang jarang sekali jajan makanan warung. Sekalinya jajan, pasti langsung batuk karena tidak terbiasa makanan berpecin atau MSG atau minuman gula sodium. 

Hari itu juga, Sabtu, langsung mengantar ibunya ke pasar belanja bahan makanan yang dipesan. Berbeda dengan pesantren lain, tiap minggu boleh ditengok dan tiap minggu ketiga santri boleh dibawa keluar pondok sehari penuh. Tujuannya agar mereka tidak jenuh dan tetap orangtua bisa menjaga komunikasi dengan anak-anaknya. 

Pulang belanja, Ibunya mengolah dan memasak makanan pesanan khusus untuk si Bungsu. Rencana berangkat malam Minggu terpaksa ditangguhkan sampai Minggu subuh karena rasa letih dan kantuk setelah seharian membuat pagar bambu. Namun untuk Cilok dan Risoles karena gak sempat akhirnya beli di toko.

Tiba di pondok bada Asyar, si Bungsu keluar dari dalam Mesjid. Matanya berbinar. Hujan yang cukup deras tidak diacuhkannya. Dia memburu kami, mencium tangan. Di sudut lantai mesjid, makanan yang dia pesan. Dia buka satu demi satu.  Disantapnya sayur kacang merah dan nasi dia habiskan. Batagor, baso tahu, pastel isi abon dia santap satu demi satu. Giliran cilok dan risoles, begitu dicicipinya. Dia langsung protes, "Cilok mah bukan buatan ibu. Risoles juga bukan ya?!" Saya, Ibunya dan Kakak perempuannya tersenyum simpul. "Iya, bukan. Gak sempet ngebuat. Soalnya pesanannya kebanyakan!"

Selesai makan dan melahap makanan pesanannya. Saya minta dia membacakan surat Al Mulk. Dia pun membacakannya dengan lancar, hanya dua ayat terakhir yang masih belum lancar. "Good! Ija hebat!" Ucap saya. Alhamdulillah.
"Ijanya, gak narget sih. Jadi hafalan Al Mulk satu bulan baru hafal!" kata si bungsu santai. "Gak apa-apalah itu juga udah bagus. Tapi, lebih bagus lagi kalau Ija bikin target ya! Tapi gak usah dipaksain", jawab ibunya.

Tadinya, kami mau pamitan jam 17.00. Tapi si Bungsu maksa minta kami pulang ba'da Magrib. Kami mengalah, tangan dan pundaknya saya pijat. Tapi dia balas memijat saya pundak dan punggung saya karena saya bilang kepala saya migrain.

Saat ba'da Magrib kami pamitan. Dia pasrah. Diantarnya kami sampai pintu mobil, padahal hujan turun cukup deras. Saya peluk dan cium keningnya, "Ija hebat!" Bisik saya. Bergiliran berpelukan dengan Ibu dan Kakaknya. Saya tatap matanya, tampak dia menahan tangis. Mungkin dia masih kangen dengan kami.  Lalu dia berlari ke dalam mesjid. Kami memakluminya. Karena dia pernah ngomong, "Ija gak suka menangis!" Itu yang diucapkannya saat pertama masuk pesantren.

www.dessulaeman.blogpsot.com