Thursday, January 31, 2013

Sawah, Gasrok, Urek, Tutut, Urab Kacang Panjang...

1980
Pagi hari yang cerah, dinginnya udara yang menyelusup ke pori-pori kulit. Sedikit terhangatkan oleh sorot sinar mentari yang tersenyum genit. Di tengah hamparan sawah nan luas, dengan padi yang menghijau ranau.  Atap langit biru dengan sapuan awan tipis serta tiupan angin halus menambah kesejukan pagi itu. Beberapa orang petani tampak duduk berkelompok, dengan pakaian sederhana seadanya.  Teramat lusuh, dekil dan kotor oleh lumpur sawah.  Mereka sungguh asyik masyuk, melahap santapannya di atas kertas nasi dengan botol aqua plastik di sampingya. Suap demi sesuai nasi yang dimasukkan ke dalam mulut, benar-benar dinikmati dengan penuh syukur. 


Melihat kenikmatan makan di tengah sawah, dengan duduk di atas pematangnya. Mengingatkan pengalaman masa kecil dulu bersama Bapak dan Emak.  

Pada saat masa menyiangi padi (Sunda: Ngagasrok, Ngarambet). Seringkali diajak oleh Bapak pergi ke sawah dan sedikit membantunya. Beriringan mengikuti langkah Bapak. Sama-sama di atas bahu digantungkan gasrok, yaitu sebuah alat yang keseluruhannya terbuat dari kayu; panjang gagangnya sekitar 1,5-2 meter, yang diujungnya dipasang kayu berukuran 20x30x5 cm yang  dibuat sedemikian rupa sehingga paku-paku yang dibengkokan bisa ditancapkan di bagian bawahnya untuk "menggaruk" sekaligus "menarik" gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi.

Tidak seperti anak-anak sekarang yang menganggap lumpur sawah itu kotor.  Saya, justru paling suka bermain lumpur di sawah dengan gasrok. Bila, terlalu bosan dan letih.  Sambil beristirahat, mencari belut dengan sebuah alat yang disebut "urek". Urek, alat untuk memancing belut, terbuat dari senar yang dianyam, dengan ujungnya terbuat dari peniti yang dibengkokan atau kail yang diberi umpan cacing. 

Kadang sambil menunggu ayah selesai menggasrok sawah. Berburu menangkap capung yang waktu itu sangat banyak jenis dan warnanya adalah aktifitas lain yang dilakukan. Sekarang baru, ngeh.  Ternyata di sawah sekarang sudah sangat jarang ditemukan capung. Mencari tutut, atau keong sawah adalah permainan lain yang mengasyikkan. Tutut tersebut, saat tiba di rumah menjadi santapan bersama dengan bumbu kunyit, warna kuning yang gurih. "Mainan" lain yang cukup mengasyikkan adalah mengoleksi serangga sebangsa kepik, juga jenis dan warnanya beraneka ragam. Pun sama, kepik yang dimaksud sepertinya sudah tidak ditemukan di sawah-sawah.

Sengatan panas matahari yang terik, tidak menjadikan takut kulit menjadi hitam. Matahari justru dijadikan sahabat sebagai alat untuk menentukan kapan waktu istirahat, waktu pulang dan waktu sholat. Emak, yang datang sekitar jam 8-9 pagi datang belakangan ke "kantor" Bapak. Kepalanya ditutup dengan "samping kebat" atau kain panjang yang warna merah dengan motif burung merak. Di bahu Emak, tersangkut juga sebuah kain panjang. Di tengah-tengsh kain di atas punggung, tersangkut bakul nasi dari anyaman bambu, (Sunda: Boboko) yang ditutupi daun pisang yang sudah dipanaskan sehingga mudah dibentuk dan lentur. Tidak keras seperti saat basah.

Tangan kiri Emak membawa teko air dari alumunium yang ujungnya juga ditutup daun pisang yang dikerucutkan dilubang air, sehingga  air di dalam teko akan tetap panas. Biasanya air teh tubruk, bukan teh celup seperti sekarang. Di leher teko, tersangkut telinga 2 cangkir kaleng untuk minumnya. Di tangan kanan Emak, susunan rantang yang berisi lauk pauk. Biasanya terdiri dari goreng jengkol, sambal goreng terasi,  ikan pindang deles yang digoreng dengan telur, serta makanan wajib yang super nikmat "urab kacang panjang".  Masakan Emak, walaupun sederhana tapi sangat lezat dan sedap. 

Kalau Emak, sudah tampak dari kejauhan. Bergegas saya berlari-lari kecil, di atas pematang sawah. Dengan ujung ibu jari kaki yang ditancapkan ke atas tanah agar tidak licin. Baju kemeja dekil yang kekecilan, berkibar-kibar di bagian perut karena kancingnya sebagian sudap tiada. Dalam hati, langsung bersorak, asyik makan! Bapak, yang sedang menggasrok pun. Segera menghentikan "mainan" gasroknya sejenak. Langsung menuju ke pematang sawah, dimana Emak sudah mempersiapkan makan. 

Waktu makan normal di sawah adalah jam 8-9 pagi. Masih pagi memang sepertinya tapi menurut perkiraan waktu dan kebiasaan petani.  Itu adalah titik optimal bekerja, karena beratnya kerja di sawah. Lapar bisa dikatakan sudah di puncak ubun-ubun. Nanti, sekitar jam 10-11 pagi.  Emak akan menyuruh Kakak perempuan, mengantarkan kopi dan makanan ringan.

Setelah mencuci tangan di selokan yang mengalir di pinggiran pematang. Bapak dan saya langsung menyikat habis makanan yang disuguhkan Emak. Cukup dialasi daun pisang atau piring seng, duduk di atas pematang sawah. Di bawah terik matahari dan tiupan angin segar. Tapi nikmatnya makan di sawah seperti itu, selalu terbayangkan sampai saat ini.

Masih terasa, harum dan gurihnya urab kacang panjang buatan Emak di lidah. Bahkan, seringkali saya meminta istri untuk membuat masakan urab kacang panjang seperti itu.  Tapi, tetap tidak menemukan rasa yang tepat. Sambel goreng terasi buatan Emak juga sangat sedap. Pedas dan manisnya pas, sehinga goreng jengkol yang telah dipotong kecil2 dengan lancarnya masuk ke dalam mulut. Dengan susulan suapan nasi panas-panas dari jemari. Ikan pindang deles goreng yang dibalut telur menjadi sajian tersendiri yang menambah kenikmatan makan.

Dengan setia dan telaten, Emak menambahkan nasi bila Bapak atau saya masih lapar. Emak, menuangkan teh panas dari teko ke dalam cangkir kaleng yang catnya sudah codet di sana sini. Harum, tercium dari uap panas teh tersebut.  Saat meminumnya, Subhanallah...ibaratnya minuman dari surgalah yang diberikan oleh Emak.  Padahal cuma teh tubruk panas cap Poci. Sesekali, Emak dan Bapak membahas obrolan ringan perkara sawah, padi, hama, irigasi dan sejenisnya yang waktu itu tidak saya mengerti.

Saat melihat para petani yang sedang makan di sawah sekarang, seperti ada yang hilang.  Mereka tidak lagi makan memakai daun atau piring seng.  Bekal minuman mereka, bukan lagi memakai teko alumunium dan cangkir kaleng. Alas nasi mereka telah tergantikan dengan kertas nasi, yang praktis langsung di buang. Dan menjadi sampah anorganik yang tidak bisa dihancurkan oleh mikroorganisme. Botol plastik berisi air putih telah menggantikan teko alumunium dan seduhan teh panas. Capung-capung yang beraneka warna dan bentuk pun sepertinya telah punah. Burung bangau yang sesekali melintas di sawah masa lalu, pun telah tiada.

#teriring salam dan sujud pada Apa dan Emak...I miss you! TT

No comments:

Post a Comment