Wednesday, October 2, 2019

Aku Bukan Kalian

Aku Bukan Kalian

"Pak, menurut Bapak pendapat Bapak tentang full day school?" Seorang siswa bertanya via WA kepada saya. Sudah terbiasa, mereka begitu terbuka dengan permasalahan mereka. Termasuk kepada hal-hal yang pribadi.
"Saya cuma bisa bilang kasihan kepada  kalian pada saat makan siang. Makan siang ya, seblak, cibay, cilok, migor, midog. Gak Ada gizinya. Bagaimana Kalian akan pintar, kalau makan dijejali junk food plus mecin dan pengawet!"
"Pak, boleh gak Saya nulis unek-unek kepada Presiden, kepada menteri pendidikan, kepada guru dan kepada orangtua saya? Tapi, takut nanti diciriin!"
"Bolehlah. Siapa yang bisa melarang untuk berbicara? Kan dijamin Pa Undang! (Undang-undang)"
"Ahsyiiiaaaap Pak! Jangan marah ya Pak!"
Lalu setelah setengah jam, siswa itu ngirim tulisan. Dengan bahasa khas anak remaja dan EYD yang acak-acakan.  Sengaja saya rapihkan, biar enak dibacanya.
Berikut tulisan sisaa tersebut. Namanya disamarkan ya! Maklum

Aku Bukan Kalian.

Dear orang dewasa, dear mentri pendidikan, dear guruku semua, dear orangtuaku, dear juga kawan kawanku, dear juga orang yang membaca kilasan opini ini.
Pernahkah kalian berfikir bahwa pendidikan sekarang lebih mengekang? Aku selaku pelajar, sebenar nya hanya bisa menurut tapi sekian tahun, yang kudapati sebenarnya hanya ya… basa basi tak efektif yang kian mememutari otakku.
Pentingkah sebenar nya kita sekolah dan belajar 10 jam lamanya?
Lalu bagaimana dengan anak yang nilainya 30 di bidang mtk tetapi 100 di bidang seni? Masihkah kalian menyebutnya pintar?
Semakin aku dewasa, pola pikirku sedikit mengerti. Sudut pandang yang katanya orang dewasa atau orang terdidik menyatakan ini itu tentang pendidikan lalu  membandingkannya dengan sudut pandangku. Salah satunya adalah mindset.  Sewaktu kecil, kita ditanami mindset “jika aku nilai 100 di matematika/IPA, maka aku anak pintar."

Teguran  yang sangat aku ingat sampai saat ini, dan aku tak ingin melupakan teguran tersebut selamanya. Teguran itu berisikan tentang hobiku yang menggambar di sebuah cover depan buku. Saat itu aku masih kls 2 SD. Aku butuh pelampiasan untuk ide yang kadang datangnya dadakan pastinya. Kata guruku waktu itu,  “Kamu ga boleh gambar di cover buku, buku tulis ga boleh di gambar-gambar sama gambar yang ga jelas, buku tulis itu buat belajar”
Saat itu aku memang hanya nurut saja namun sekarang, pola pikirku berubah lagi. Bagaimana seorang anak akan menjadi kreatif apa bila terlalu banyak dilarang?
Lalu kita beralih lagi ke pembahasan mind set lain nya, yaitu tentang ya… kekangan orang tua(?)
Tidak sedikit dari teman-temanku yang dikekang menjadi ini-itu oleh orang tuanya. Menurutku itu adalah pola hidup yang salah bagi sang anak. Entah ini orang tuanya yang tidak memberi kebebasan, tidak percaya sama anaknya, atau bagaimana, yang pasti jika orang tua mereka sebenarnya ingin anaknya sukses, ya berilah kebebasan sang anak untuk mengejar mimpinya.
Kita manusia bebas bermimpi. Pernah terpikirkah oleh kalian, seandainya kalian ingin anak kalian menjadi dokter tapi anaknya itu bakat di bidang hukum? Yang pasti anak tersebut malah akan stress dan depresi.  Karena yang ia jalani itu bukan passionnya.
Intinya.
Apa yang tak kalian (para ortu) tak dapat raih maka jangan sekali kali melampiaskannya pada anak kalian, tuntun untuk masa depannya, bukan kekangan untuk kesuksesannya.
Lanjut lagi, tentang pola pikirnya bapak menteri pendidikan atau bapak presiden yang terhormat.

Jadi gini Pak, seandainya Bapak baca opini saya, saya harap ini dapat menyadarkan bapak tentang pendidikan yang selama ini menurut saya yang baru anak ingusan, siswa SMP.  Pendidikan di Indonesia SALAH Pak. Sekali lagi saya ingatkan… “apa 10 jam pembelajaran di sekolah efektif?”

Maaf pak, saya senang belajar psikologi. Penyerapan memori seharinya pada otak manusia hanya sebatas kurang lebih 50%.  Jika sehari 100% maka 10 jam sekolah itu bisa diperkirakan 75% materi yang harus kita serap. Sekali lagi, itu sama sekali tidak efektif pak. Tau kah dampak dari pembelajaran materi berturut-turut tentang itu? Efek nya adalah depresi, stress.

Aku pernah sekali menceritakan keluh kesah ku pada orangtuaku tentang masalah ini, tapi respon yang kudapat malah terbalik.
“Mama Papa juga dulu sekolah, ga kaya kamu tuh, stress segala macem. Belom lagi dulu mah guru nya galak, ga ngerjain PR dipukul”

Maaf Pak, kita dari generasi yang kata Bapak Presiden adalah generasi milenial, yang harusnya lebih baik dari pendidikan Bapak.
Dendam lama biarkan terjadi pada diri kalian sendiri. Bukannya apa-apa.  Ini hanya untuk mengubah nasib, masa diatur dan dikendalikan sistem yang justru membuat kami dipressure fisik dan mental sedemikian rupa.  Bayangkan Pak, 10 jam kami di sekolah. Kapan kami punya waktu bermain yang merupakan hak kami sebagai anak-anak? Kapan kami bisa menuntut ilmu agama di madrasah kami? Bapak, tahu? Jangankan sekolah di madrasah setelah sekolah usai.  Hanya untuk berdialog atau mengobrol dengan orangtua kami pun. Kami terlalu lelah.  Sepulang sekolah, kami hanya bisa tertidur dengan seragam sekolah lecek yang masih kami kenakan. Menurut saya Pak, memang penting kita pintar dalam ilmu dunia. Tapi, jangan sampai ilmu akhirat dikesampingkan!!! Apa artinya kami menjadi pintar tapi tidak berahlak, tidak beradab, tidak beretika?
Sudahilah dendam kalian kepada masa lalu kalian. Jangan samakan pengalaman pahit kalian dengan kami.  Seandainya malah dendam terus dendam dan dendam, maka sampai kapan generasi di Indonesia akan berkembang? Akan mengalami perubahan nasib?
Ya mungkin cukup sekian pembahasan ku tentang mindset. Masih banyak memang opini yang ingin sekali aku keluh kesahkan tapi mungkin lain kali.

Salam dari milenial
Dini

No comments:

Post a Comment