Saturday, October 5, 2019

Pak Leknan

Tinggi tubuhnya kurang lebih 170 cm. Di usia 40-an tahun masih terlihat gagah. Kumis tebalnya senantiasa digunting rapi. Alis tebal dan bulu mata lentik menghiasi bola mata yang lebar. Pipinya sedikit tirus, tapi bukan berarti kurus. Rahangnya kekar. Hidung mancung dengan tahi lalat di sebelah kirinya. Bibirnya yang tebal senantiasa menyunggingkan senyum ramahnya. Rambut tebalnya, yang mengkilap karena diusapi mandom senantiasa disisir rapi ala Elvis Presley.
Setiap pagi, setelah berpakaian dinas lengkap.
Baret merah, tersemat emblim RPKAD, menutupi rambutnya yang tebal, hitam legam.Semua emblimnya disematkan dengan rapi di dada kiri dan kanan. Semuanya mengkilap, karena terbuat dari kuningan yang rutin dibrasso. Tidak seperti sekarang, emblim TNI terbuat dari kain bordiran :p
Pada waktu akan melangkahkan kaki kanannya setiap berangkat dinas atau setiap akan keluar rumah. Dia pasti menundukkan kepala, mulutnya mengguman dan kadang berdesis. Terdengar Basmallah 11 kali, sholawat 7 kali, bismillahi majreha..., Lahaola wala quwwata.... Setelah itu, barulah dia melangkahkan kaki kanannya. Semua masih terekam dalam ingatan.
Jabatan di kampungnya hanya ketua RW. Anak kecil, remaja, pemuda, orang tua sampai kakek nenek menyebut dia Pak Leknan! Maksudnya Letnan, padahal dia hanya berpangkat Peltu. Teman-teman seperjuangannya, padahal sudah banyak yang berpangkat kapten bahkan mayor. Tapi, dia lebih memilih tetap dengan pangkat itu. "Pangkat mah moal dibawa paeh!" Begitu dia bilang.
Terkenal di kampungnya sebagai orang serba bisa. Dari bertani sampai mengobati orang yang sakit, kesurupan, mengusir jin dan setan, santet, sampai yang ingin enteng jodoh. Pernah menyaksikan sendiri, Abah Karna, yang jalannya sudah bungkuk hampir 90 Derajat. Berjalan tegak kembali karena setiap bada magrib dia pijat refleksi. Pijat refleksi nya, Islami. Titik-titik yang ditekan, berbeda sesuai dengan tanggal Qomariah.
Bila dia pulang kerja, berangkat ke sawah atau ke manapun. Anak-anak kecil, riang memanggil nya: Pak Leknan! Pak Leknan! Pak Leknan! Dia tersenyum ramah kepada bocah-bocah itu. Lalu menggoda dan mengejar mereka, yang tertangkap dikelitikin sampai terpingkal-pingkal kegelian.
Dia sangat ramah pada setiap orang. Tidak pernah membeda-bedakan kasta. Semua orang menghormatinya, karena dia selalu menghormat mereka apa adanya. Sekalinya disakiti orang, dia hanya terdiam. Menahan rasa sakit dan menelannya diam-diam. Kesabaran yang luar biasa.
Pernah satu waktu, saya mengiringi dia berjalan di belakangnya. Cangkul terpanggul di bahunya, saya yang waktu itu masih SMP kelas 2 membawa juga sebuah "gasrok" alat untuk membersihkan gulma di sawah. Di tengah jalan, tampak tiga orang remaja. Membawa senapan angin dan sedang membidik burung Pipit yang masih kecil di ketinggian pohonnya.
Sepertinya, dia gereget ingin menegur, tapi tidak mau menyinggung ketiga remaja itu. Dia berhenti, lalu berkata: "Ngajaran euy!" (Nyobain dong!). Senapan angin diserahkan ke tangannya. Dia memompa bedil angin itu, beberapa kali. Dia masukkan mimis/peluru yang dimintanya dari salah seorang remaja. Dia, menempatkan popor di bahu kirinya. Senjata itu diarahkan ke "tongtolang" (buah nangka yang masih kecil), yang letaknya lumayan tinggi. Mata dipicingkan. Nafasnya ditahan beberapa detik. Dan....."desh!" Terdengar bunyi letupan kecil dari angin yang dimampatkan mendorong peluru. Buah nangka kecil itu terjatuh di atas tanah. Tangkai buahnya yang kecil, hancur, dihantam peluru. "Nah, begitu caranya kalau menembak. Jangan ke burung. Kasihan, mereka juga pingin hidup!" Katanya, sambil melemparkan senjata, kepada tiga remaja itu! Mereka tersenyum dan angkat jempol!
Pada tahun 1992 dia berangkat menunaikan rukun Islam kelima. Sebulan sebelum berangkat, setiap pagi dia berkeliling kampung, memohon ampun pada masyarakat yang mungkin disengaja atau tidak pernah tersakiti hatinya. Saat keberangkatan, adzan dikumandangkan untuk mengiringi keberangkatannya. Seluruh masyarakat di kampungnya mulai dari anak- anak, remaja, pemuda, kakek-nenek, berbaris sepanjang jalan. Mereka menangis dan tertunduk penuh haru. Sepanjang jalan dia disalami dan didoakan oleh semua orang.
Allah Maha Berkehendak, Allah Maha Rahman, Allah Maha Rahim...dua Minggu setelah keberangkatan, mendapat kabar. Dia wafat di Mekah, pada saat tawaf setelah sholat Dhuha! Allahumagfirlahu, warhamhu.... Amiiin.
Begitulah TNI seharusnya, selalu ramah pada setiap orang. Disegani, dicintai, dirindukan, ringan tangan membantu siapa saja, ramah, sopan, santun dan selalu menjaga citra baik kesatuannya!
05.10.2019
#DIRGAHAYUTNI
#TENGKORAKPUTIH
#SETIASAMPAIMATI
#YON305SILIWANGI
#RPKAD
#KOPASANDHA
#KOPASSUS

No comments:

Post a Comment