Monday, February 22, 2016

Berharap Hirup Udara Cihurip

 21 Februari 2016, Pukul 06.30 akhirnya berangkat juga dibarengi si Heisty dengan perbekalan seadanya di dalam tas pannier; jas hujan, sebutir buah peer, air minum, permen fox 6 biji. Karena lutut, terasa kurang nyaman kayuhan sepeda dibuat sepelan mungkin dengan gigi gear yang paling ringan walaupun jalan relatif datar. Jarak 13 km menuju Kecamatan Bayongbong persis keong, biasanya ditempuh hanya 30 menitan. Malah ditempuh sampai lebih kurang 50 menit. 
Janji gowes ke Cihurip bertiga Wa Muksin dan Mang Yudi sangat mendadak. Untung tidak ada agenda gowes. 
Tiba di Bayongbong, Wa Muksin dan Mang Yudi sudah menunggu di depan sebuah toko alat-alat outdoor.  Langsung perjalanan di lanjut. Jam menunjukkan pukul 07.30.
Wa Muksin yang lebaran pertama kalinya memakai sepatu cleat sudah diwanti-wanti. Hati-hati karena saya sampai terjatuh sampai 7 kali pada awal-awal memakai cleat.

Melewati Kecamatan Cisurupan di sebuah mesjid berhenti sebentar untuk buang air kecil. Sambil menarik nafas. Gowesan kaki dibuat seringan mungkin menghemat tenaga mengingat perjalanan ke Cihurip membutuhkan energi yang lumayan. Maklum kontur dan medannya yang bisa dibilang “sangar” tanjakannya.  Tiba di Cikajang pukul 09.50 WIB tanpa istirahat, langsung menuju ke Batu Tumpang. Sedikit tersendat di pasar Cikajang. Karena banyaknya kendaraan yang parkir di kedua sisi depan pasar Cikajang yang lumayan rame. Pedagang, becak, sepeda, dan bejibunnya motor menambah kemacetan di sana.
Sekitar 2 km dari pertigaan jalan menuju Singajaya/Cibalong, saya yang berada persis di belakang Wa Muksin dibuat kalang kabut. Karena tiba-tiba Wa Muksin keliatan limbung. Saat shifting sepertinya kurang mulus, akhirnya rantai keluar dari jalur crank. Nyangkut. Sementara kakinya belum terbiasa refleks. Untunglah masih kontrol. Saya ambil kanan dan tancap pedal secepat mungkin menyusul  Wa Muksin. Dan...bruk! Bener aja beliau “jatuh bego” sambil tertawa. “Satu kali Wa!, tinggal 6 kali lagi!!!”, teriak saya. Sambil ngakak! Mang Yudi, yang berada di belakang Wa Muksin juga ikut ngakak!


Tiba di Batu Tumpang pukul 10.40 rehat di warung nasi langganan. Udara yang mendung, di ketinggian daerah Batu Tumpang menambah perut minta diisi. Tapi kita tahan, karena ada harapan akan makan nasi liwet di Cihurip nanti.  Jadi cukup pesan susu coklat, dan makan lontong, tahu, gehu, bala dan kawan-kawannya. Cukup mengenyangkan.  Sepuluh menit kemudian dilanjutkan gowes tinggal menikmati jalan turunan. Praktis hampir bisa dibilang dari Batu Tumpang menuju pertigaan Ciparay sejauh 15 km jalan menurun tapi berkelok-kelok jadi kudu super hati-hati.  Langit pun mulai menangis, hujan gerimis.  Kabut menyapa kami diselingi desiran angin yang dingin.  Baru kurang lebih 5 km, kami dipaksa harus berhenti karena hujan mulai deras.
Wa Muksin yang ngebut dengan KHS-nya saya teriakin, “Wa, hujan... berteduh dulu di warung!”.

Wa Muksin tersalip, saat mendekati warung. Baru saja si Heisty akan diparkir. Tiba-tiba Wa Muksin, berteriak-teriak panik! “Eh, Eh, Eh.....!!!” dan terdengar “Bruk” untuk kedua kalinya terjatuh. Saya dan Mang Yudi kembali ngakak, diikuti gelak tawa dua orang tukang ojeg yang juga ikut berteduh. Yang akhirnya ikut membantu Wa Muksin yang tertindih si KHS. “Lupa euy... cleatnya gak dibuka dulu!”, kata Wa Muksin. 
“Dua kali wa! Berarti masih lima kali lagi!”, ujar saya sambil ngikik dan ngangkat jari tangan!


Setelah memakai wind shielder/jas hujan, perjalanan dilanjutkan kembali menikmati turunan. Tidak sampai setengah jam jarak 15 km sudah habis dilalap. Nyampe di pertigaan Cihurip, narsis sebentar untuk barang bukti(barbuk).  Jantung sempat berdegup kencang, karena adrenalin seperti mengalir dengan cepat. Betapa tidak saat mengambil foto, di seberah lembah tampak motor jauuuuuuhhhh.... berada di atas, kemudian menghilan. Muncul kembali sudah dibawah! Berarti? Turunan dan tanjakan super curam!!!
Benar saja tidak sampai satu menit dari pertigaan, jalanan langsung turun curam. Berakhir di sebuah jembatan yang melintasi sebuah sungai yang cukup lebar dan dalam. Airnya tampak bening walaupun deras.  Tak kuasa menolak keindahan alam yang masih perawan. Kami pun kembali foto-foto di atas jembatan bahkan Wa Muksin dan Mang Yudi turun ke sungai untuk mengambil beberapa foto.


Sepeda kembali dikayuh, langsung dihajar tanjakan jahanam. Gak ada datarnya, naik curam dan berkelok-kelok. Untuk sedikit terbantu oleh permukaan jalan yang sudah full hotmix. Kalau makadam mah mending “jualan es” alias TTB ajalah, mana si Heisty mah bannya kecil. Sempat beberapa kali terlontar pertanyaan, masih jauh Wa? Tanya saya ke Wa Muksin. Ya, lumayanlah udah deket.  Kirain deket teh, ke Kecamatan Cihurip. Ternyata, deket sampai “punuk” bukit. Selanjutnya turunan curaaaammm....Terus turun gak ada datar atau tanjakan lagi. Kantor Kecamatan sudah terlewati, alun-alun Cihurip, SD, SMP, SMA, Puskesmas terlewati. Tapi gak nyampe juga. “Tanggung, mending kita ke air terjun Cibadak dulu!”, jawab Wa Muksin yang diprotes oleh Mang Yudi. Ternyata informasi yang diberika Wa Muksin bahwa jalan ke air terjun Cibadak adalah hotmix, dan kita bisa memakai ban kecil. Cumah PHP (Pemberian Harapan Palsu) belaka. Ternyata jalan hotmix hanya sampai kota kecamatan. Selebihnya jalan ke air terjun adalah makadam jahanam. Wa Muksin yang memakai ban besar mah ngaciiiirrr. Bahkan, beberapa kali berhenti untuk menunggu saya dan Mang Yudi yang terpaksa TTB sambil geleng-geleng kepala. Karena batuan di jalanan yang jauh dari harapan. Bahkan beberapa kali masuk lumpur!



Alhamdulillah, setelah TTB dan sesekali gowes. Dengan dipandu oleh dua orang anak yang diperkirakan baru kelas 4 SD memakai sepeda motor. Kita akhirnya tiba di air terjun Cibadak.
“Hihaaaaaa!!!!”, saya berteriak saya melihat air terjun yang sangat tinggi lebih kurang 100 meteran. Putihnya air yang mengalir deras dari puncak bukit, jatuh ke bawah membentuk  4 anak air terjun yang besar pula. Walaupun tidak tinggi tapi sangat indah untuk dipandang.  Rumput dan tanaman perdu menghijau ranau disekitar area air terjun. Setelah narsis dan mengambil foto yang tidak ada puasnya. Kami pun melakukan sholat Dhuhur.

Saat berfoto ria, beberapa kali melontarkan teriakan “ngeri” bagaimana kita nanti kembali ke atas? Namun, dengan kesabaran walaupun kembali harus TTB dengan perut yang sudah terasa lapar sampai ke ubun-ubun! Dihajar tanjakn yang gak ada putusnya dengan makadam dan batu bahkan lumpur. Fisik kami benar-benar habis. Bahkan, Mang Yudi di sebuah warung kecil. Terpaksa membeli air kemasan. Setelah lebih kurang satu jam, perjalanan akhirnya berakhir di kantor kecamatan. Langsung disuguhi makan siang menuju magrib dengan menu ayam goreng kampung dadakan, sambal, sayur rebung, dan lalab daun singkong plus nasi hangat! Alhamdulillah,nikmat bangeeet sampai nambah 2 kali nasi. Bahkan, daging ayam yang sepertinya 2 ekor, dimamahbiak, sampai habis, dan tersisa hanya sepotong leher!
Jam 17.30 kami masih tertahan di Kantor Kecamatan Cihurip. Diputuskan untuk diloading mencari pickup borongan milik warga setempat. Tapi tidak ada, akhirnya mau tidak perjalanan dilanjut. Dengan penerangan seadanya, tapi cukup membantu menikmati tanjakan. Yang super curam. Ibaratnya datang seperti di surga karena turunan, pulang seperti neraka karena tanjakan.  Tapi, karena gelap tanjakan tidak terlalu terasa. Jam 20 lebih sudah bisa tiba di Batu Tumpang kembali. Teman-teman beberapa kali menelepon dan sms menanyakan posisi. Bahkan, mereka siap untuk menjemput. Tapi karena, posisi sudah relatif aman dari Batu Tumpang mah. Kami bertiga menolak.  Untunglah hujan hanya gerimis, karena jalanan relatif turun. Jam 21.30an tiba di rumah.
What a great day, and a long day indeed! Hampir 120 km pulang pergi.




1 comment: