Tuesday, June 14, 2016

Urang Jakarta mah Bodo


Tahun 1992, saya bekerja di sebuah pesantren di Banten. Seringkali tempat tinggal saya dijadikan semacam tempat transit oleh orang-orang Baduy Dalam apabila mereka akan ke Bogor atau ke Jakarta. Pada awal-awal perkenalan, mereka selalu menjaga jarak, dan bersifat tertutup bila saya bertanya masalah adat istiadat asal mereka yaitu di Cikeusik (Baduy Dalam ada tiga kampung, Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo). Mereka hanya menjawab dengan dialek Basa Sunda khas Baduy:
"Atuh teu wasa kami mah!".
Rombongan mereka bisa antara 2 sampai 12 orang. Mungkin karena kabar dari mulut ke mulut. Hampir tiap minggu, dipastikan ada orang Baduy Dalam yang belum pernah mampir di tempat tinggal saya, karena kabar dari teman-temannya mereka jadi ikut mampir. Pakaian mereka sangat khas, atasan baju putih, bawahan memakai semacam rok yang tidak dijahit, ikat kepala putih dengan bahan hasil tenunan sendiri. Di pinggang mereka terlilit kain semacam ikat pinggang. Diantara lilitan ikat pinggang tersebut tersimpat "koja" (tas kecil dari kulit teureup) yang berisi berbagai macam jimat batu-batu kecil yang berbentuk macam-macam. Bau badan mereka sangat khas, bau minyak keletik (kelapa) dan bau lalay (kelelawar). Di pinggangnya selalu terselip golok khas baduy.
Suatu malam, sesudah ikut berbuka puasa Ki Asnar dan kawan-kawannya (satu wanita) ngumpul bareng keluarga saya. Mereka tidak begitu tertarik dengan acara tipi. Lebih suka tiduran di atas karpet, dan mengobrol dengan teman-temannya. Cara bicaranya dengan bahasa Sunda dengan mulut menggumam dan tidak terdengar jelas.
Ki Asnar lebih bijak, dia tetap menemani saya membaca koran. Koran Kompas yang bertebaran di bawah tiba-tiba diambil oleh Ki Asnar. Tapi cara membacanya aneh. Korannya dibalik, jadi hurup terbalik semua. Pelan-pelan dia mengeja: "Ek...kom...pas!!!"
Saya kaget lalu sontak bertanya.
"Emang Dia basa maca kitu Nar?", tanya saya. (Memang kamu bisa baca?)
"Ih, teu wasa atuh kami mah. Teu meunang ku kolot!", jawab Ki Asnar sambil tersenyum kecil. (Ah, saya gak bisa. Gak boleh sama orangtua)
"Eta mah kabeneran baeee...!", katanya lagi. (Tadi membaca kebetulan saja)
"Naha kolot bet ngalarang diajar maca!", tanya saya lagi.
(Kenapa dilarang belajar membaca?)
"Sabab, ceuk kolot kami. Manusa anu bisa maca jeung sakola mah jadi barodo! Eta bae, buktina loba manusa ti Jakarta anu sarakola. Naha sok loba anu daratang ka lembur kami. Nepungan kokolot kami ngadon tatanya jeung dudukun mementa jimat ngarah beunghar jeung boga jabatan! Apan kami mah jalma bodo teu nyakola. Kuduna oge kami anu teu sakola loba tatanya kanu sakola! Tah poma kitu kabukti urang Jakarta mah bodo".
(Sebab, kata orang tua kami, manusia yang bersekolah itu jadi bodoh. Buktinya, banyak orang dari Jakarta yang bersekolah malah datang ke kampung kami bertanya tentang perdukunan dan meminta jimat agar kaya dan punya jabatan! Kan mereka tahu, kami itu manusia bodoh, tidak sekolah. Mestinya kami yang tidak sekolah dan bertanya kepada mereka yang bersekolah).

No comments:

Post a Comment