Monday, May 18, 2015

Cerita Dibalik Jelajah Sepeda Banjarmasin-Balikpapan 4-10 Mei 2015 (Day 5)

Etape Keempat (70 ( km) : Batu Kajang – Grogot

Memasuki etape keempat akan menempuh lebih kurang 70 km antara Batu Kajang menuju Tana Paser, ibu kota Kabupaten Paser, Kalimantan Timur (ternyata mencapai 90 km karena plus funbike). Menurut informasi dari Om Nuzul goweser setempat yang ikut rombongan jelajah, peserta masih menghadapi jalan di perbukitan yang menguras tenaga.  Walaupun, tidak seberat medan tanjakan kemarin.  Sudah menanjak, puwanas pula! Om Nuzul, mengatakan tanjakan di Gunung Rambutan lebih ramah, karena tidak curam dan teduh oleh pepohonan.  Sehingga tanjakan tersebut pasti dapat dilalui dengan cukup mudah oleh para peserta.
Dari Hotel Permata, tempat 50 peserta menginap sekaligus menjadi titik start etape keempat Jelajah Sepeda Banjarmasin-Balikpapan.  Walaupun di etape ketiga, dihajar medan yang cukup lumayan berat (menyenangkan tapi melelahkan), teman-teman jelajah tampak masih sangat bersemangat melahap etape keempat.  Setelah sarapan pagi, langsung melakukan ritual pemanasan berupa peregangan yang kali ini dipimpin oleh Om Ismet, marshal yang bertubuh gempal, berpipi gemil seperti pipi balita!


Saat baru peregangan pada paha, tiba-tiba Om Ismet menahan ketawa ngikik.  Sambil menunjukkan tangan ke arah belakang.  Semua peserta, serenta mengikuti arah telunjuknya.  Akhirnya, semua juga jadi tertawa tertahan.  Ternyata di belakang barisan.  Om Rein, si bungsu yang bertubuh kecil mungil. Malah terbengong-bengong.  Diam seperti patung dengan tatapan kosong. Kedua jemari tangan dimasukan ke dalam saku celananya. Entah melamun, atau memang lowbat!  Sepersekian detik, Om Rein belum juga “ngeh” kalau semua mata tertuju dan mentertawakan kelakuan bengongnya!  Setelah dipanggil beberapa kali.  Baru dia tersadar! Peregangan pagi itu makin lengkap setelah tertawa melihat “lawakan” si bungsu Rein.

Rein yang pada awal-awal perkenalan dibayangkan oleh teman-teman JSBB di dalam group WA itu berperawakan tinggi besar, bertubuh tegap, berdada bidang.  Wajahnya berewokan tapi tak berkumis.  Eh, pas ketemu langsung orangnya.  Semua pada senyum dikulum.  Ternyata Om Rein ini berpenampilan sebaliknya. Tubuhnya kecil mungil, badannya kurus pendek, celana dan bajunya terlihat terlalu kebesaran.  Begitupun sepeda dan sandal sepatunya.  Di rak sepedanya, selalu terselip kantung kecil yang entah apa isinya.  Kalo menurut Om Baron itu sepertinya jimat! 

Rein, adalah nama yang paling rame mengomentari di groups JSBB.  Panitia memang memfasilistasi di dalam Whatsapp untuk saling memperkenalkan diri dan saling menggali informasi dari sesama teman-teman peserta jelajah.  Bagi, yang awam pada awalnya dianggap serius.  Sehingga informasi yang masuk dianggap “beneran”.  Banyak peserta mengaku-ngaku “newbie” mohon nasihat dari para suhu atau para senior.  Ada newbie, yang pura-pura tidak bisa cara setting sepeda saat nanti sepeda harus dibongkar.Hal guyonan itu ditanggapi dengan serius oleh yang awam dan menawarkan diri dengan penuh percaya diri untuk membantunya.  Om Marta Mufreni, lebih gila lagi.  Dia menawarkan jersey JSBB dengan syarat utama, baru bisa dibeli kalau pembeli sudah bisa mencapai 500 km.  Eh, ada yang percaya juga! Menurut Om Marta, sampai beberapa orang kirim private massge dia pesan sekian buah jersey.  Setelah saling mengenal lebih jauh, dalam group JSBB kemarin.  Baru pada “ngeh” kalau anggota group JSBB itu orang “gila” semua! :D

Dikasih Uang Jajan

Peserta jelajah mulai menyusuri jalan raya Batu Kajang-Gerogot dengan semangat tinggi.  Tanjakan demi tanjakan yang dibilang flat oleh goweser Borneo.  Satu persatu dilalui.  Tak jarang selama perjalanan anak-anak SD bersorak dan bertepuk tangan sambil berteriak dengan aksen seperti Upin dan Ipin: “Duh, banyaknyaaaaa!!!” atau “Wuih, ramainyaaaa!!!”
Saat melewati sebuah tanjakan, tiba-tiba sebuah mobil MPV sang sopir yang menurut Om Sugeng seorang wanita cantik berjilbab.  Melambatkan dan mendekati rombongan sambil berteriak dan memberi acungan jempol. “Salut, saya kagum dengan kalian! Nih buat beli kopi dan minuman ya!” , teriak sopir itu sambil menyerahkan uang 100 ribu rupiah yang diterima oleh Om Sugeng peserta jelajah yang penampilannya sudah “sepuh”.  Padahal, di dalam rombongan Om Sugeng justru selalu berada di barisan kedua atau ketiga!

Om Sugeng mempunyai ciri khas selama jelajah, yaitu di belakan sepedanya ditandai dengan bendera kecil yang dipasang pada sebuah bambu kecil.  Pada hari pertama bendera yang dipasang, satu.  Hari kedua, dua bendera. Jumlah bendera menandakan jumlah etape yang telah berhasil diselesaikan.

Menikmati Tanjakan Gunung Rambutan

Belum sampai 5 kilometer dari Batu Kajang, peserta langsung menemui tanjakan namun tanjakan tersebut tidak terlalu menyiksa karena tidak terlalu curam plus aspal jalannya mulus.  Peserta jelajah masih bisa gowes bareng berombongan dengan “Pormasi dua-dua!”.  Kelima Marshal dan RC pun tampak tidak terlalu tersiksa karena tidak harus mengatur dan mendorong peserta yang kedodoran.  Udah masih teduh dan cukup mendukung untuk menggowes sepeda.  Selain karena pepohonan di Gunung Rambutan yang cukup rapat.  Juga cuaca yang sedikit mendung.


Setelah mencumbu rayu tanjakan dengan mengayuh sepeda lebih kurang dua jam,  akhirnya sampai di Air Terjun Gunung Rambutan, Desa Sungai Terik, Kecamatan Batu Sopang. Air terjunnya tidak terlalu tinggi hanya sekitar 20 meter.  Tapi airnya yang jernih cukup mengundang para peserta jelajah untuk rehat sejenak berfoto. Konon di kolam air terjun tersebut ada seekor buaya muara. Lebih memilih untuk tidak rehat, melanjutkan gowes menuju puncak gunung rambutan bersama dengan Kang Idham dan Tante Intan, sesekali bernyanyi-nyanyi sambil menikmat kayuhan.  Makin mendekati puncak, tanjakan makin curam.  Masih bisa bercanda dan bernyanyi ria. Tapi tidak securam tanjakan di Garut atau Bandung, yang jangankan bercanda atau bernyanyi. Bahkan, kepala harus khusu tertunduk lesu!



Para peserta jelajah akhirnya tiba di lokasi tertinggi Pegunungan Meratus. Ditandai dengan sebuah pohon yang sangat eksotis.  Cabang dan rantingnya membulat.  Nun jauh di bawah sana, pemandangan menghijau ranau.  Awan putih pun sepertinya mencoba menggoda agar para peserta berfoto ria mengabadikan pemandangan tersebut.  Setelah puas bernarsis ria.  Rombongan jelajah masih mencumbu turunan dan tanjakan yang silih berganti yang juga berkelok-kelok sesudah Gunung Rambutan.  Aspal yang melapisi jalan relative masih mulus. Jalan berlubang baru dijumpai setelah tiba persimpangan Kuaro, 25 km dari Tana Paser, ibu kota Kabupaten Paser.
Hujan gerimis sempat turun saat peserta melintasi daerah pegunungan itu hingga ke simpang Kuaro. Memasuki tengah hari peserta jelajah sudah masuk Tana Paser, yang lebih dikenal dengan nama Tanah Grogot.  Saat memasuki kota Grogot tampak satu monument berupa jam besar yang berupa ungu.  Ternyata makin memasuk perkotaan, semua bangunan, pagar, menara mesjid, tembok bangunan didominasi warna ungu.  Mungkin ungu menjadi ciri khas dari kota Grogot.


Rombongan langsung menuju masjid Grogot yang jugan berwarna ungu.  Arsitekturnya tampak sangat indah.  Lapangan parkir dan halamannya masih dalam penyelesaian.  Di dalam mesjid pun warna tembok masih ungu.  Lukisan kaligrafi yang sangat indah pun terpampang pada tembok dalam mesjid dan kubah mesjid.  Lampu Kristal menambah kecantikan dan keanggunan kaligrafi dan interior masjid itu.


Setelah menunaikan sholat dhuhur dan makan siang, rombongan jelajah bersama-sama dengan goweser Tana Paser, Grogot dan Kapolres-nya funbike keliling kota.  Mengunjungi musim kesultanan setempat, ambil foto keluarga dan kembali gowes menuju Hotel Grand Sadurengas tempat menginap yang juga berwarna ungu. 

Ganti Kamar 4 Kali

Hotel Grand Sadurengas yang menurut Mbah Google berstatus bintang empat, diresmikan pada tahun 2012 sebagai hotel milik pemda setempat.  Saat memasuki kamar di lantai satu hotel termewah di Tana Paser itu, ternyata pendingin ruangan tidak jalan.  Komplain ke teknisi, kemudian melihat dan mendekatkan lengannya ke ventilasi AC.  Menurut teknisi itu, AC-nya rusak.  Jadi pindah kamar lain.  Karena sudah teramat penat akibat gowes hampir 90 km lebih. Tas pakaian dibawain oleh bell boy menuju ke kamar pengganti.  Weleh, ternyata saat digesekan kartu kamarnya.  Pintu gak bisa dibuka! Macet! Programnya Rusak! Kata bell boy itu yang melalui HT meminta kamar pengganti yang baru.  Di pindah ke kamar penggati lain.  Bisa dibuka.  Ternyata AC-nya rusak juga!  Asem!!!



Karena sudah terlalu lelah, bersama Kang Dede sementara tiduran dan menunggu teknisi membetulkan AC.  Ternyata tidak datang.  Waktu sudah menunjukkan pukul 22 tapi gak bisa tidur.  Karena ruangan yang panas.  Kang Dede yang kesal, menghubungi petugas hotel. Sepuluh menit kemudian, malah bell boy yang tadi yang datang.  Memohon maaf, supaya kita pindah lagi.  Ke kamar single bed, dengan bed tambahan!  Mendengar itu, Kang Dede sudah habis kesabarannya.  “Panggil manajernya ke sini.  Lucu banget, sudah dipindah kamar tiga kali dengan kondisi tidak nyaman.  Malah mau dipindah ke kamar lebih kecil!  Dimana-mana juga kalau kompensasi itu harus ke yang lebih baik! Bukan dipindah ke kamar yang lebih jelek!”.  Pelayan kamar ngeloyor pergi sambil berkomunikasi dengan manajernya.  

Setelah menunggu lebih kurang setengah jam.  Pelayan itu balik lagi ke kamar. “Pak mohon maaf atas ketidaknyamanannya.  Kata manajer, Bapak berdua silakan pindah ke Deluxe Suite Room di lantai tiga”.  Setengah mengantuk, tas dan pakaian dibawakan oleh pelayan hotel yang berulang-ulang minta maaf!  Di dalam kamar setelah mandi dan siap untuk tidur,
Kang Dede berucap:” Lamun teu kieu mah iraha deui urang bisa sare di Kamar Deluxe Suite Room hahahaha….!”



No comments:

Post a Comment