Friday, May 22, 2015

Cerita Dibalik Jelajah Sepeda Banjarmasin-Balikpapan 4-10 Mei 2015 (Day 6)

Etape Kelima (123 km) : Grogot – Waru


Direncanakan etape kelima akan menempuh rute terpanjang yaitu 123 km.  Menempuh rute dari Tana Paser, Kabupaten Paser, menuju Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur akan start pada pukul 05.30. Sarapan yang biasanya pukul 05.30 pagi ini dimajukan pukul 04.30.  Walaupun badan lemes karena kurang tidur, serta paha dan betis yang mulai terasa pegal-pegal.  Tapi semua peserta masih bersemangat.  Bercanda ria dan bersenda gurau, bertukar ledekan atau berfoto bersama selama sarapan.  Senyum dan kelakar, serta say hello yang full senyuman tetap menghiasi edisi sarapan etape kelima ini.
Setelah sarapan, langsung checking sepeda.  Merupakan “aktipitas” rutin (pe-nya pinjam lidah Kang Coe sang RC yang selama jelajah selalu berteriak “Pormasi dua-dua! Ingat ya lidah saya lidah Sunda! Jadi itu harusnya pake “ep”!). Checking rem, kekerasan ban, shifter dan pastinya checking baud hanger RD pinjaman dari Om Rokhmat yang hanya menempel doang.  Alhamdulillah semuanya masih OK!  Walaupun ada sepeda cadangan milik sponsor.  Panitia sangat tegas terhadap peserta.  Sebelum sepeda yang dibawa peserta benar-benar tidak bisa dipakai dan kerusakan masih bisa diperbaiki.  Peserta tidak diijinkan untuk memakai sepeda cadangan yang disediakan sponsor.  Makanya, setiap peserta kudu checking sepedanya sebelum berangkat.
Pukul 06.15 setelah peregangan dan berdoa di halaman depan Hotel Grand Sadurengas, tempat menginap. bendera start dikibarkan oleh perwakilan pemda setempat. Rute yang ditempuh cukup panjang serta mengejar waktu shalat Jumat.  Walaupun rute yang akan ditempuh merupakan rute terpanjang tetapi peserta jelajah akan beristirahat cukup lama.  Mengikuti waktu yang menunaikan sholat jumat.

Sekitar satu kilo meter selepas start, rombongan jelajah berbelok ke arah Tugu Gentung Temiang (Telaga Ungu), sebuah tugu berbentuk monument jam besar, mungkin ikon Tana Paser. Bernarsis ria dengan berbagai pose.  Sendiri-sendiri, berdua, bertiga, beregu dan berombongan.  Setelah polisi pengawal perjalanan tiba. Pukul 06.40, peserta melanjutkan perjalanan. Disiram hangatnya sinar mentari pagi di Tana Paser.  Rombongan sepeda melaju melahap tanjakan dan turunan yang silih berganti. Namun, badan jalan tidak semulus seperti di daerah Kalimantan Selatan.   Begitu meninggalkan Tana Paser, jalan rusak parah dan aspal berlubang telah menghadang.  Bersahutan saling mengingatkan: “Awas lubang!” atau dengan isyarat tangan menunjuk lubang yang banyak menganga di atas jalan.
Di simpang Kuaro, sekitar 12 kilometer dari titik start, beristirahat mengingat banyak peserta yang tertinggal cukup jauh dari rombongan depan.  Jalan dari titik awal yang didominasi tanjakan, menjadikan banyak yang tertinggal dari rombongan.  Sambil melahap buah-buahan, kurma dan  minuman yang disediakan tim feeding.  Beberapa peserta menyempatkan diri buang air kecil, menumpang di sebuah warung bakso Solo.  Si Mas Bakso cerita kalo dia sudah 12 tahun mengembara dari Solo ke Simpang Kuaro.  Setahun bisa pulang 3 kali, berkah jualan bakso di Kalimantan.
Jalan aspal berlubang masih kudu dilewati oleh peserta jelajah sekitar 10 km. Kudu super hati-hati saat menghindari jalan berlubang, karena banyak mobil dan truk yang melaju kencang dari kedua arah. Jalanan masih didominasi dengan tanjakan dan turunan. Di kiri dan kanan jalan terlihat hamparan kebun kelapa sawit. Sesekali tercium bau busuk dari getah karet.  Kang Aris yang membuka angin dengan Om Ismet dengan dikapteni Kang Coe menggusur rombongan antara 28 – 32 km/jam.  Padahal lutut Kang Aris masih bengkak dan dibalut dengan kain mitela akibat terjatuh di perbatasan Kalsel-Kaltim waktu bernarsis ria.  Rombongan terus melaju bersama, kompak kelima puluh peserta yang berpakaian hitam dengan motif dayak melahap tanjakan demi tanjakan.


Neraka Bocor Ujian Mental

Perjalanan terasa lebih berat dari etape ketiga dan keempat yang didominasi tanjakan, karena cuaca yang teramat sangat panas terik. Suhu udara mencapai lebih 36 derajat celsius. Walaupun belum memasuki tengah hari tapi kulit tangan dan wajah yang sudah dibaluri sunblock, manset, dan buff tidak mampu meredam bara panasnya cuaca di Borneo. “Alllahu Akbar… ya Allah, tolong dinginkan, sejukan!” hati berbisik dalam harap yang teramat sangat.  Dalam kayuhan yang tetap konstan, jersey hitam telah basah kuyup oleh keringat.  Motoris yang bertugas mengisi vidon, cukup kewalahan mengisi ulang vidon para peserta yang terus bergantian mengacungkan vidon kosong. Rasa haus dan lelah, benar-benar menguras fisik seluruh peserta jelajah.
 “Sepertinya neraka bocor! Panasnya minta ampun!” seorang peserta berteriak.  Cuaca panasnya hampir tak tertahankan oleh para peserta jelajah.  Namun, semangat dan ketahanan fisik serta mental benar-benar diuji di etape kelima ini.  Walaupun, fisik bagus tapi mentalnya lemah.  Bisa dipastikan minta dievak dengan berbagai alasan.  Sebaliknya, bila mental kuat walaupun fisik lemah.  Dalam keletihan seperti apapun dalam bersepeda bila mentalnya kuat akan menguji dalam kesabaran, ketabahan, kesetiakawanan dan mengendalikan ego seseorang.
Bersepeda itu olah raga yang sebenarnya melatih mental daripada fisik.  Seringkali pada waktu melihat tanjakan yang curam.  Beberapa peserta melambatkan kayuhan dan mengacungkan tangan minta didorong.  Bahkan, ada yang langsung minta dievak. Tidak baik memang, tapi itulah uniknya bersepeda bisa menggambarkan mental dan sifat seseorang.  Bukan tinggi rendahnya jabatan,pangkat atau keudukan; bukan mahal murahnya sepeda; bukan kaya miskinnya seseorang; bukan warna kulit yang dihargai dan dihormati sesama goweser.  Tetapi jiwa besar, kesabaran, ketabahan dan kesetiakawanannya!
Dalam kelelahannya beberapa orang yang masih mempunyai cadangan lebih, ikhlas membantu marshal mendorong para srikandi yang kendor gowesannya.  Beberapa kali Tante Intan dari KGC Jakarta yang terlihat mulai lusuh letih, lemah, dan lunglai,ibarat cucian yang kusut. Saat menghadapi tanjakan, dibantu bergantian oleh Om Rokhmat, Om Mega, Om Fami, Om Priyo, Om Imam, Om Dimas dan dewan penasehat Abah Ush. Supaya tetap dalam rombongan dan kebersamaan group KGC.


   
Tim marshal terus berusaha beberapa kali mendorong peserta agar kuat menanjak dan mempertahankan laju di 28-32 km/jam demi mengejar waktu sholat jumat.  Karena jarak antara satu kampung dengan kampung tidak seperti jawa yang rapat dan berdekatan.  Di jalur lintas Borneo ini, jangankan jarak antara satu kecamatan dengan kecamatan lain.  Jarak antara satu atau dua rumah yang dilewati di tengah perjalan, jaraknya bisa belasan kilo bahkan puluhan kilometer.  Untuk membakar semangat, yang mulai redup karena fisik yang dihajar habis-habisan oleh cuaca yang  sangat panas.  Sesekali terdengar Kang Coe berteriak: “Mana Suaranyaaaa!!!” yang dijawab dengan sorakan yang nyaris tidak terdengar dan tidak kompak lagi!


Jumatan Berpakaian Basah Kuyup.
Jarak sekitar 60 km yang telah ditempuh dari total sejauh 122,76 kilometer beberapa kali terdengar teriakan minta rehat dari para peserta saat menemui masjid yang cukup besar. Walaupun memang waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11.00 WITA. Tapi sepertinya bukan jumatan yang menjadi alasan utama.  Tapi rasa penat dan lelah dari fisik akibat cuaca panas dan tenaga yang terkuras akibat digeber sejak dari awal! Bahkan, Kang Aris yang membuka angin di depan hampir kebablasan mengangkat dan mengepalkan tangan tanda rombongan harus istirahat.  Untunglah Kang Coe yang berada tidak jauh dari Kang Haris berteriak: “Bukan di sini! Sebentar lagi masih di depan tempat istirahat mah! Nanti juga ada yang patwal yang mencegat!”.

Harapan untuk sedikit menarik nafas legapun sirna.  Rombongan yang perlahan sudah mengurangi kecepatan pun kembali melaju, ditarik perlahan pada kecepatan 28 km/jam.  “Edan! Gak pada punya udel apa?!” , teriak Amel, peserta wanita yang paling muda!  Ternyata kalimat “sebentar lagi” hanya PHP (Pemberi Harapan Palsu).  Kondisi fisik dan mental sepertinya sudah pada puncak kelelahan.  Kayuhan kaki hampir gak sinkron lagi.  Kontroling handlebar jadi gak lurus lagi, di tanjakan yang derajat kemiringannya aduhai dan panjang membuat perjalanan akhir ke tempat jumatan terasa sagat lama sekali.  Padahal jarak yang ditempuh tidak lebih dari 6-7 km saja.
Alhamdulillah, akhirnya terlihat dua orang petugas patwal yang member isyarat agar rombongan menepi dan berhenti di masjid Nurul Ijtihad, Desa Long Kali Kabupaten Paser, Kaltim.  Yang terletak di depan sebuah pasar yang cukup ramai dan perumahan penduduk yang cukup padat.  Waktu menunjukan pukul 11.15. Menyandarkan sepeda di tembok pagar mesjid, buka kacamata, buka helem, buka buff dan jersey yang basah kuyup oleh keringat, buka sepatu dan kaos kaki.  Hampir seluruh peserta mencari tempat yang menurut pikiraan masing-masing nyaman dan teduh untuk beristirahat. Lagi-lagi hanya mimpi dan pemberian harapan palsu semata, ternyata mesjid, warung kecil dan rumah-rumah atau bangunan madrasah sekitar mesjid. Ternyata beratapkan seng! Kepala udah “tuwing-tuwing” bin “kleyengan” saking panasnya.

Sudah Digarang Masuk Oven pula
Bayangkan, sudah gowes sekitar 70 km dalam keadaan panas terik membaranya sang raja cahaya.  Dalam keadaan letih dan baju basah kuyup oleh keringat, saat ingin beristirahat dalam keteduhan.  Ternyata yang ditemukan atap-atap seng.  Setelah digarang habis-habisan, kudu masuk “oven” pula!  Saat makan siang, mungkin karena jarak yang sangat jauh serta cuaca panas.  Nasi yang ada pada kotak yang dibagikan, hampir dua kali lipat dari biasanya!  Buwanyaaaak banget! Tapi keras! Lengkaplah sudah ujian dan cobaan hari ini.

Dua kali jersey yang dicuci dan dipakai basah-basah di tubuh kering hanya dalam waktu hitungan menit .  Pada waktu jumatan pun jersey kembali dicelupkan ke dalam air, diperas dan langsung dipakai.  Untuk mengurangi panas saat di dalam mesjid. Kering hanya dalam waktu sesaat! Luar biasa.  Terpikir juga kenapa ya koq ada orang yang bisa hidup dan bertahan di daerah panas seperti ini.  Sambil menunggu sholat jumat mengobrol dengan anak-anak setempat yang berkumpul dan mendekati malu-malu.  Setelah dibagi beng-beng, fitbar dan buah peer perlahan mereka berani ngobrol.   Saat ditanya, memang setiap hari sepanjang tahun cuacanya panas begini?  Mereka serempak menjawab, iya!  Kadang-kadang hujan juga, tapi tetap aja “hareudang” bin panas, kata mereka lagi.

Molor Waktu, Molor!
Panitia dan tim marshal sepertinya memaklumi cuaca yang teramat panas.  Rencana start kembali pukul 13.00 diundur menjadi pukul 14.00.  Molornya waktu terebut digunakan sebaik-baiknya oleh para peserta untuk molor.  Bergelimpanganlah hampir semua peserta di berbagai sudut mejid dan madrasah.  Untuk mengembalikan kesegaran fisik yang masih harus menempuh sekitar 52 km lagi menuju kota Waru.   Semua sudah memahami betul kondisi fisik dan mental yang letih mengharuskan mereka lebih berhati-hati saat mengayuh pedal.  Salah satu recovery yang terbaik adalah tidur sekejap tapi berkualitas.  Lelap. Walaupun sesaat.  Tubuh akan kembali segar.


“Priiiit, Priiiiit….!!!” Terdengar bunyi peluit tanda persiapan.  Pukul 13.45. Walaupun hanya sekejap, terasa nikmat .  Semua bersiap-siap. Tak ada umpatan atau omelan.  Kembali bersiap dan saling mengingatkan kalau-kalau ada barang ketinggalan.  Om Nuzul goweser Tana Paser yang rencananya akan mengantar rombongan sampai Balikpapan, menawarkan obat gosok berupa cream agar kaki tidak keram.  Lumayan, paha dan betis yang asalnya terasa pegal-pegal berkurang.  “Ini obat gosok asli dari Kalimantan Kang.  Panasnya sekitar 20 sampai 30 menit, tapi bagian tubuh yang diolesi akan enakan!, kata Om Nuzul yang entah kenapa disebut Nuzul Edan karena selama perjalanan tidak menunjukan gejala-gejala edannya hehehe….

“Tinggal 50 km, ayo semangat Yah! Semoga cuacanya didinginkan dan diteduhkan!”, itulah pesan WA anak-anak dan anak mertua saya.  Yang selama perjalanan berkomunikasi melalui WA. Plus kirim-kirim foto untuk mengurangi rasa rindu akan rumah.
Perjalanan dilanjut dalam cuaca yang tidak berubah, sekalipun sudah memasuki sore hari.  Tanjakan dan turunan bergantian menyambut rombongan yang sudah mulai gowes “goyang dumang”.  Di kiri kanan jalan masih dipenuhi perkebunan kelapa sawit dan karet.  Jalurnya masih lurus hampir tidak ada belokan kiri atau kanan.  Rolling, rolling, dan rolling 50 pasang kaki mengayuh bersamaan dan kompak menciptakan lagu kecepatan antara 28-32 km/jam (belakangan Kang Aris berbisik, di speedo saya malah sampai 35 km/jam!).
Om Martha Mufreni sang pelatih, yang berada di belakang rombongan.  Tiba-tiba menyusul dan berpindah rombongan.  Sepeda single gear-nya mengharuskan dia melakukan interval saat menghadapi tanjakan.  Tapi karena mungkin sudah letih, Kang Haris yang berada di depan menyangka Om Martha sengaja menarik kecepatan rombongan yang memang mulai melambat. Dan… terjadilan hiruk pikuk dan teriakan “huuuuu…!”, “Hihaaa…!”, “Hajaaar…!” dan teriakan lainnya, yang diikuti meluncurnya para peserta yang menghajar tanjakan dengan powernya! Ngebut semua dah! Rombongan pun jadi cerai berai tak karuan!

Finish!
“Masih jauh gak Pak?”, Tanya saya kepada polisi patwal.
“Ya, sekitar 7 km lagilah!”, jawab polisi yang berbadan cukup tambun itu enteng.
“Ealah…Bapak mah PHP doang, dari tadi tempat kita istirahat dibilangnya tinggal 10 km lagi! Udah hampir 23 km koq gak nyampe-nyampe!”, timpal saya.
“Hehehe… kan biar semangat Pak!” ucapnya lagi.

Tampaknya ucapan polisi patwal itu kali ini tidak PHP lagi, saat Kang Idham yang pernah gowes touring di jalur ini mengatakan hal yang sama.  Paling 7 km lagi, saat keliatan kantor polisi berarti sudah nyampe di Waru! Kata Kang Idham.  Ternyata benar, setelah rehat dan menunggu rombongan lengkap. Baru gowes sekitar 3 km.  Suasana kota mulai terasa.  Lalu lintas mulai ramai, lampu kiri kanan terang benderang.  Perumahan penduduk tidak lagi didominasi atap seng.  Berganti dengan gedung-gedung dan rumah permanen.  Kecepatan rombongan terasa makin bertambah seiring dengan makin dekatnya tempat finish.



Tepat, pukul 17.45 WITA saat rombongan melihat umbul-umbul dan baligo berwarna biru bertuliskan KOMPAS di sebuah hotel. Rombongan pun serentak berteriak, “Horeeee…!!!”.  Semuanya langsung masuk ke halaman hotel.  Tepuk tangan, high five dan saling salaman serta pelukan kebahagiaan bercampur baur dengan senyuman, tawa lebar dan mata yang berkaca-kaca! Etape kelima adalah perjalanan yang sangat super melelahkan. Kegembiraan tak henti, dibarengi dengan foto-foto bersama.  Tangan saling bergandengan, salam komando, dan tawa lebar menghiasi foto-foto sore menjelang malam hari itu.



Di tempat parkir telah disiapkan sop es buah dan aneka makanan khas.  Seperti kesetanan, semuanya serempak berebutan menyerbu sop es buah.  Idaman yang dibayangkan dicumbu selama perjalanan yang panas membara selama siang ini. Menikmati, dingin dan manisnya sop buah yang saat melewati tenggorokan seperti terpenuhinya rasa rindu pada kekasih hati!

(foto2: dokter Monica dan om Dimas Basudewo)

No comments:

Post a Comment