Tuesday, August 6, 2013

Peupeuncitan



Hari terakhir puasa, adalah saat-saat yang kritis untuk puasa seorang anak yang baru belajar puasa. Betapa tidak.  Pada hari itu, hampir tiap orang tua mengusahakan untuk memotong unggas.  Baik membeli atau atau didapat dari peternakan sendiri.
Aneka makanan olahan pun dihidangkan dengan aneka rasa, aneka rupa.  Mulai dari kentang goreng yang dicampur dengan petai, opor ayam yang dimasak santan dengan pepaya muda, daging semur, daging bistik (beepstick), kubis yang diiris kecil2 plus bihun yang dibumbu kecap dan masih banyak lagi.
Tercium harum masakan itu dari setiap rumah.

Setelah semuanya matang dan siap. Anak-anak beriringan saling antar makanan ke rumah tetangga.  Menggunakan baki yang ditutup sehelai koran atau rantang susun.  Tak jarang saling berpapasan.  Saling tertawa menanyakan arah tujuan baki atau rantang yang berisi olahan makanan. Masih terasa kental rasa kekeluargaan dan gotong royong.  Makanan tersebut, dikirimkan sebagai tanda silaturahmi.  Mohon maaf lahir batin serta rasa syukur kepada Illahi karena telah berhasil melewati puasa ramadhan.

Tak jarang, karena terlalu banyak makanan yang dikirim dari puluhan tetatangga.  Karena tidak mau ribet.  Makanan yang diterima tersebut hanya dipindahpiringkan.  Dikirimkan kembali kepada tetangga yang lain.  Lucunya, sepertinya perilaku memberikan  dan makanan yang diterima tersebut.  Juga dilakukan oleh tetangga kita.  Akibatnya, bukan sekali dua kali justru makanan yang dikirimkan oleh kita kepada si Anu, malah kembali ke rumah! :)


Saat hari raya Idul Fitri tiba, pagi-pagi sekali Emak saya telah menyiapkan makanan hasil olahan tersebut dimasukan ke dalam wadah yang disebut "besek" yaitu wadah yang terbuat dari bambu.  Biasanya, selama malam takbiran, beliau tidak pernah tidur.  Sibuk memasak, mengolah kue "gegeplak" dan menggoreng rangginang.  Yang rutin dikirimkan oleh beliau ke mesjid, sebagai makanan camilan untuk mereka yang mengumandangkan takbir di dalam mesjid.  Emak, biasanya mengirimkan besek-besek dengan menggunakan "nyiru" atau tampah tersebut sebanyak 10 buah.  Begitupun para tetangga, melakukan hal yang sama.

Saat usai, sholat Idul Fitri di mesjid.  Jemaah tidak langsung pulang, tapi duduk sendiri untuk "hamin".  Berdoa, berkumpul mengelilingi susunan besek-besek yang jumlahnya puluhan buah.  Tidak aneh berjumlah puluhan, karena setiap rumah minima mengirimkan 5-10 besek.  Setelah selesai berdoa langsung  bersalaman.  Pulang ke rumah masing-masing.  Saat keluar dari mesjid, setiap tampah yang tertumpuk kemudian, dimuati besek sejumlah orang yang dibagi rata.  Masing-masing telah dititipkan pada anak atau keluarga atau perwakilannya.

Pada waktu tiba di rumah.  Lagi-lagi terjadi hal lucu, ternyata besek-besek yang diterima oleh kita adalah besek-besek yang dikirimkan oleh Emak tadi pagi :) alias mereka kembali!
Karena, saking banyaknya olahan masakan tersebut.  Seringkali, emak harus memanaskan di dalam satu wajan.  Aneka macam hidangan tersebut disatukan, dipanaskan berulang-ulang dalam satu wajan. Maka jadilah makanan baru khas lebaran, yaitu Tumis Haseum!

No comments:

Post a Comment