Saat menghadiri wisuda S-2 anak kedua kemarin. Dari tempat duduk wisudawan, beberapa kali si magister melambaikan sambil tersenyum lebar kepada kami yang berada di balkon. Kami membalasnya, juga dengan senyum lebar sambil mengangkat dua jempol. Tak terasa mata mengembun. Teringat masa kecilnya. “Gak kerasa ya Bu, rasanya baru kemarin anak itu saat usia tiga tahun cuma bisa ngomong “ca…ca…ca…!” Dia berbeda dengan anak seusianya, yang mungkin sudah menguasa 50 kosa kata. Tapi dia terlambat dalam kemampuan berbicara. Bahkan, pada saat sudah bisa berbicara dia "agak" disleksia.
Begitupun waktu SD bahkan, seorang guru kelasnya pernah datang ke rumah sekedar “menganjurkan” untuk pindah sekolah. Karena, kata guru itu, anak kami tersebut pada jam pelajaran tidak pernah memperhatikan. Dia malah menggambar atau mengguntingi kertas buku tulisnya.
“Ibu, maaf di rumah dia itu memang anak saya. Tapi, di sekolah dia itu anak Ibu juga anak guru-guru yang mengajarnya. Di rumah biarlah kami mengajari dia membaca Al Quran, belajar sholat dan mengajarkan mana hal baik mana buruk. Tapi, di sekolah Ibu gurulah yang harusnya mengajarinya. Supaya dia, asalnya tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa. Kalau dia sudah pintar, kami pasti tidak akan menyekolahkan dia!” Jawaban ibunya itu membuat sang guru terdiam.
“Ibu, maaf di rumah dia itu memang anak saya. Tapi, di sekolah dia itu anak Ibu juga anak guru-guru yang mengajarnya. Di rumah biarlah kami mengajari dia membaca Al Quran, belajar sholat dan mengajarkan mana hal baik mana buruk. Tapi, di sekolah Ibu gurulah yang harusnya mengajarinya. Supaya dia, asalnya tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa. Kalau dia sudah pintar, kami pasti tidak akan menyekolahkan dia!” Jawaban ibunya itu membuat sang guru terdiam.
Saya dan ibunya, tidak pernah menuntut anak-anak kami menjadi rangking. Tidak pernah menganjurkan atau mengharuskan mereka untuk les ini, les itu. Prinsip kami, cukuplah mereka menjadi anak saleh. Manusia yang tidak pernah meninggalkan sholat, puasa dan mengaji. Namun, bila mereka melakukan hal-hal yang belum waktunya atau kurang pantas. Tetap mereka, diberikan hukuman atau teguran sepantasnya.
Selalu saya tekankan kepada mereka: “Sekolah itu di mana-mana sama saja. Tergantung dari orangnya. Yang namanya emas, kalaupun jatuh di comberan yang kotor. Tetap saja emas. Akan berkilau, tidak akan terpengaruhi oleh air yang kotor. Kalian bersekolah di manapun, tergantung diri kalian. Terserah mau sekolah di mana. Kalian mau menjadi apa. Yang penting kalian tidak lupa sholat, puasa dan mengaji! Berbuat baik terhadap sesama manusia. Sayang terhadap yang lebih muda. Membantu yang lemah atau kekurangan. Bukan tinggi rendahnya jabatan, bukan gelar dan tingginya sekolah, bukan baik buruknya pakaian yang menjadikan baik buruknya seorang manusia. Karena itu kalian harus menjadi sebaik-baiknya manusia”
Saya cukup bahagia, saat mendengar si Sulung lulus menjadi Tukang Insinyur IT dengan nilai apa adanya. Tapi, saat dia selesai kuliah. Dia bisa membantu beberapa orang temannya yang masih kesulitan dalam penyusunan skripsi mereka. Saya cukup senang, walapun bukan lulusan terbaik. Dia bisa mandiri dan bekerja sesuai dengan keinginannya. Anak pertama memang tidak mau terikat dalam bekerja. Dia pernah menjadi dosen di almamaternya atau permintaan dosen walinya. Tapi, hanya bertahan 2 tahun. “Gak bebas!” jawabnya, saat ditanya mengapa berhenti.
Saya dan istri saya tidak pernah memaksa anak-anak kami untuk belajar di luar sekolah. Tidak pernah diikutkan les bahasa Inggris atau matematika apalagi les piano. Ada juga yang keukeuh ingin ikut les itu, tapi paling bertahan 2-3 bulan. Berhenti dengan sendirinya. Tidak pernah dipaksa untuk melanjutkan atau berhenti. Setiap ba’da magrib cukup diajari membaca Al Quran dan diajari perihal pentingnya sholat dan pengetahuan agama. Anak-anak saya lulus SD, SMP dan SMA tidak pernah menjadi rangking. Saya cukup berkilah, rangking itu gak penting. Yang lebih penting kamu bisa!
Waktu di SMA ada guru mata pelajaran tertentu yang mengharuskan semua muridnya ikut les pelajaran di rumahnya. Hampir semua temannya ikut les itu. Tapi anak kedua saya, cukup diberikan motivasi. Kalau kamu ikut les, hanya untuk mengejar nilai. Lebih baik jangan ikut. Nilai yang berbentuk angka itu bukan segalanya. Yang penting prosesnya kamu mendapatkan nilai itu. Terbukti, karena dia tidak ikut les. Di raport untuk mata pelajaran tersebut anak kedua saya mendapat nilai seadanya. Karena kata teman-temannya yang ikut les di guru tersebut. Pada waktu akan ulangan, soalnya sudah dibahas di tempat les! Jadi anak-anak yang tidak ikut les bagi yang tidak bisa mengerjakan hanya celingukan kebingungan. Begitupun anak saya, nilainya cuma dapat pas buat ongkos. “Udahlah, gak masalah nilai mah. Yang penting kamu bisa! Titik!” Kalimat itu lagi yang terlontar dari mulut saya dan ibunya.
Alhamdulillah, walaupun tidak pernah rangking. Anak pertama bisa menjadi tukang Insinyur IT. Anak kedua, bisa menyelesaikan kuliahnya di S-2 ITB ! Anak ketiga, sedang menjalani kuliah di UPI Bandung. Pun anak keempat saya, atas kemauannya sendiri. Dia ingin sekolah sambil masantren. Ingin tahfiz Quran lalu kuliah dan menjadi programmer seperti AA!
Sebagai orang tua hanya bisa mendukung, mengarahkan dan menjadikan mereka anak-anak yang terbaik sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Orang tua tidak berhak untuk mendikte anak-anaknya menjadi apa yang diinginkan orang tuanya. Orang tua tidak berhak untuk memaksa anaknya untuk mengikuti les ini itu demi ambisi orang tuanya.. Sehingga, anak-anak tidak punya sedikit pun waktu untuk bermain.
Masa SD, SMP dan SMA adalah masa-masa menyenangkan. Masa bermain sebelum memasuki masa dewasa. Biarkan mereka menjadi diri mereka sendiri oleh kemauan dan kemampuan mereka sendiri. Jangan sampai anak-anak kita menjadi dewasa tanpa merasakan bagaimana nikmatnya menjadi anak-anak dan remasa semasa sekolah. Karena terlalu disibukkan oleh les ini-itu yang menghabiskan waktu bermainnya.
Otak manusia itu seperti sebuah wadah yang bisa menampung air. Tapi, bila terlalu penuh dipastikan airnya akan tumpah ruah. Bukan sekali dua kali, menemukan kasus anak yang sebenarnya pintar. Di sekolah. NIlai-nilainya malah sangat kurang. Usut punya usut anak-anak itu akhirnya mengaku cape, karena sepulang sekolah harus ikut les ini itu oleh orang tuanya. Bahkan adaya yang pulang sampai pukul 20 malam!
Dua hal yang pasti selalu kami tekankan pada mereka. Jangan pernah lupakan sholat dan mengaji! Cukuplah kalian menjadi anak-anak yang saleh! Karena di alam kubur kelak, kalian tidak akan ditanya oleh malaikat: "Rangking berapa waktu sekolah?"
Dess2018
No comments:
Post a Comment