Serpihan catatan ringan. Mungkin tidak bermakna bagi orang lain. Tapi sangat membekas dan memberikan arti diri si GuruDess. Hanya cerita biasa, pengalaman dari pernak-pernik kehidupan
Sunday, December 8, 2013
Bicaralah dengan Anak-anak dengan Bahasa Mereka
Saat baru sepuluh menit tiba di rumah dalam keadaan lelah dan kurang sehat. Keringat belum kering di badan. Mata jadi terpicing, mulut melongo. Si Cantik keriting, anak ketiga saya yang duduk di kelas 3 SMP. Baru tiba juga. Tapi ada yang aneh. Rambutnya jadi lurus, tipis mengkilap. Tanpa menghiraukan kebingungan dan mulut saya yang melongo. Si Keriting, langsung meraih tangan, dan cium tangan sambil mengucap salam.
"Koq, rambutnya jadi lurus Teh? Ke salon ya?", tanya saya penasaran.
"Iya, Yah...", jawabnya menahan perasaan wajahnya tertunduk. Lalu dia masuk ke dalam.
Sore hari, setelah mandi. Meredakan kelelahan setelah "bike to camping" sehari semalam, dengan kondisi flu berat. Badan direbahkan di atas karpet sambil menonton Wild Animal. Si Keriting cerita, "Dena ke salon pake uang sendiri koq Yah. Nabung tiga bulan...!"
Saya tersentak sambil tersenyum, "Haduh Teh, saking pinginya punya rambut lurus ya?"
Si Keriting cuma tersenyum malu. Tapi, dalam hati saya tetap penasaran. Pasti ada sesuatu yang membuatnya sampai harus ke salon, merawat dan meluruskan rambutnya. Saya tahu persis, jiwa si Keriting itu "tough". Gak sampai segitunya merubah penampilan kalau tidak ada sesuatu yang berat banget.
Cerita punya cerita, setelah si Keriting masuk ke dalam kamarnya. Istri saya bercerita. Si Keriting, beberapa waktu yang lalu saat mudik ke tempat asal. Ada salah seorang saudaranya, nyeletuk. Kalau rambutnya yang keriting banyak "lisa" (anak kutu) dan kutunya. Jorok. Tidak seperti anak saudara yang lain, yang rambutnya terawat dan ke salon secara teratur. Rambut mereka, tersisir rapih, mengkilap!
Perkataan yang menurut orang dewasa wajar. Tapi dalam penerimaan, kejiwaan seorang anak jadi lain. Hal itu kepikiran selama berbulan-bulan. Si anak jadi pendiam. Mudah tersinggung dan hilang percaya diri. Tapi, masalah yang dipikirkannya tidak berani dibicarakan dengan orang tuanya. Bukannya kami kurang komunikasi. Tetapi, katanya takut terjadi pertengkaran antara kami dengan keluarga. Hal itu pula, yang mengakibatkan si Keriting tidak pernah mau ikut bergabung saat kumpul dengan keluarga. Alasannya, sibuk mau paskibra. Ternyata dia kemarin bilang, alasan sebenarnya adalah malu dan takut dibilangin lagi rambutnya kutuan dan jorok!
Batin saya menangis, saat mengetahui alasan kenapa si Keriting sampai harus menabung selama tiga bulan dengan menyisihkan uang jajan. Untuk meluruskan rambut dan merawat rambutnya. Karena alasan utamanya, merasa sakit hati dibilangin jorok oleh saudaranya tersebut. Untuk kesekian kalinya, saya hanya bisa diam. Menahan diri. Mengadukan segala sesuatunya kepada Allah SWT. Biarlah, Allah yang Maha Bijaksana yang akan mengaturnya.
Sebagai orang dewasa seharusnya mawas diri bila berbicara dengan anak-anak. Bahasa yang arif dan bijak saat berbicara dengan anak-anak sangat diperlukan. Tidak memandang kebaikan dari sudut diri sendiri, tapi dari sudut kejiwaan seorang anak. Saat berbicara dengan anak bungsu saya yang baru 7 tahun, saya selalu berusaha untuk mensejajarkan tubuh dengan dia agar bisa bertatapan langsung dengan matanya. Sehingga, kita bisa melihat sorot mata si anak, apakah anak itu perasaan dan jiwanya tersinggung oleh perkataan kita atau tidak.
Tadi pagi mengantar si Keriting ke sekolahnya, saya hanya bisa berdoa dan mengingatkannya untuk selalu Bismillah dalam segala hal. Sementara, batin dan hati saya tetap menangis, mengingat tekanan beban dan perasaa dia selama berbulan-bulan sampai harus merubah penampilan dirinya sendiri :(
Tuesday, September 24, 2013
Kenapa Harus Takut dengan Kematian?
Terasa tak terucap,
dekap hangat mencuat
sunyi menyepi
menepi di keheningan hati
kadang biru, berselimut putih
berkawan awan, menyapa hitam
kelabu menderu
dingin.
Salam menyapa
dalam terasa
rindu menderu
menggebu dalam pangkuanMu
Lailahaillahailallah, wa ashadu ana Muhammadarosullah...
25/9/2013
Wednesday, August 7, 2013
Gegeplak
Gegeplak adalah makanan khas Jawa Barat, khususnya di kampung saya. Mungkin ada juga dari teman-teman yang tidak mengenal gegeplak. Apatah anak-anak zaman sekarang. Berbeda dengan geplak yang terdapat di Bantul yang terbuat dari parutan kelapa, santan. Gegeplak buatan Emak kami sangat khas. Harum dan lezat sekali. Terbuat dari tepung beras ketan, santan, gula aren dan parutan kelapa.
Masih terbayang dalam ingatan. Pada sekitar jam 10 malam takbiran. Emak selalu membuat kue gegeplak untuk anak-anaknya. Sering kali saya menyaksikan bagaiman gegeplak tersebut dibuat. Tepung beras ketan yang sudah diayak, disiram dengan air gula aren hangat-hangat. Sebelumnya, tepung beras untuk bahan gegeplak tersebut digarang sampai berwarna agak kekuningan. Sambil dicampur air gula aren hangat dan parutan kelpa. Adonan tersebut kemudian diaduk rata menggunakan tangan. Digulung, didorong, digulung, didorong di dalam baskom besar. Sambil terus ditambahkan rebusan air gula aren hangat, sedikit demi sedikit.
Adonan yang telah kalis dan bercampur rata, sedikit demi sedikit juga ditambahkan tepung beras. Sampai akhirnya menjadi padat. Berwarna merah kecoklatan. Selanjutnya dicetak dengan menggunakan cetakan dari kayu berbentuk jajarangenjang atau cukup ditekan, diratakan dengan sebuah botol yang digelindingkan di atas adonan yang terletak di dalam tampah. Setelah, rata dan memenuhi permukaan tampah dengan tebal lebih kurang 0,5 cm kemudian diiris-iris menggunakan pisau. Dibentuk sama persis seperti cetakan jajaranggenjang.
Setelah selesai, dan siap dimakan. Emak melanjutkan aktifitasnya dengan menggoreng rangginang. Saat ditanya. Jawaban Emak, setiap tahun pada malam yang sama, pasti memberikan jawaban yang sama pula. "Nanti kirimkan ke mesjid ya! Untuk yang takbir di mesjid!", biasanya tidak hanya gegeplak dan rangginang. Emak, juga menambahkan satu teko kaleng kopi hitam panas-panas!
Masih terbayang dalam ingatan. Pada sekitar jam 10 malam takbiran. Emak selalu membuat kue gegeplak untuk anak-anaknya. Sering kali saya menyaksikan bagaiman gegeplak tersebut dibuat. Tepung beras ketan yang sudah diayak, disiram dengan air gula aren hangat-hangat. Sebelumnya, tepung beras untuk bahan gegeplak tersebut digarang sampai berwarna agak kekuningan. Sambil dicampur air gula aren hangat dan parutan kelpa. Adonan tersebut kemudian diaduk rata menggunakan tangan. Digulung, didorong, digulung, didorong di dalam baskom besar. Sambil terus ditambahkan rebusan air gula aren hangat, sedikit demi sedikit.
Adonan yang telah kalis dan bercampur rata, sedikit demi sedikit juga ditambahkan tepung beras. Sampai akhirnya menjadi padat. Berwarna merah kecoklatan. Selanjutnya dicetak dengan menggunakan cetakan dari kayu berbentuk jajarangenjang atau cukup ditekan, diratakan dengan sebuah botol yang digelindingkan di atas adonan yang terletak di dalam tampah. Setelah, rata dan memenuhi permukaan tampah dengan tebal lebih kurang 0,5 cm kemudian diiris-iris menggunakan pisau. Dibentuk sama persis seperti cetakan jajaranggenjang.
Setelah selesai, dan siap dimakan. Emak melanjutkan aktifitasnya dengan menggoreng rangginang. Saat ditanya. Jawaban Emak, setiap tahun pada malam yang sama, pasti memberikan jawaban yang sama pula. "Nanti kirimkan ke mesjid ya! Untuk yang takbir di mesjid!", biasanya tidak hanya gegeplak dan rangginang. Emak, juga menambahkan satu teko kaleng kopi hitam panas-panas!
Tuesday, August 6, 2013
Peupeuncitan
Hari terakhir puasa, adalah saat-saat yang kritis untuk puasa seorang anak yang baru belajar puasa. Betapa tidak. Pada hari itu, hampir tiap orang tua mengusahakan untuk memotong unggas. Baik membeli atau atau didapat dari peternakan sendiri.
Aneka makanan olahan pun dihidangkan dengan aneka rasa, aneka rupa. Mulai dari kentang goreng yang dicampur dengan petai, opor ayam yang dimasak santan dengan pepaya muda, daging semur, daging bistik (beepstick), kubis yang diiris kecil2 plus bihun yang dibumbu kecap dan masih banyak lagi.
Tercium harum masakan itu dari setiap rumah.
Setelah semuanya matang dan siap. Anak-anak beriringan saling antar makanan ke rumah tetangga. Menggunakan baki yang ditutup sehelai koran atau rantang susun. Tak jarang saling berpapasan. Saling tertawa menanyakan arah tujuan baki atau rantang yang berisi olahan makanan. Masih terasa kental rasa kekeluargaan dan gotong royong. Makanan tersebut, dikirimkan sebagai tanda silaturahmi. Mohon maaf lahir batin serta rasa syukur kepada Illahi karena telah berhasil melewati puasa ramadhan.
Tak jarang, karena terlalu banyak makanan yang dikirim dari puluhan tetatangga. Karena tidak mau ribet. Makanan yang diterima tersebut hanya dipindahpiringkan. Dikirimkan kembali kepada tetangga yang lain. Lucunya, sepertinya perilaku memberikan dan makanan yang diterima tersebut. Juga dilakukan oleh tetangga kita. Akibatnya, bukan sekali dua kali justru makanan yang dikirimkan oleh kita kepada si Anu, malah kembali ke rumah! :)
Saat hari raya Idul Fitri tiba, pagi-pagi sekali Emak saya telah menyiapkan makanan hasil olahan tersebut dimasukan ke dalam wadah yang disebut "besek" yaitu wadah yang terbuat dari bambu. Biasanya, selama malam takbiran, beliau tidak pernah tidur. Sibuk memasak, mengolah kue "gegeplak" dan menggoreng rangginang. Yang rutin dikirimkan oleh beliau ke mesjid, sebagai makanan camilan untuk mereka yang mengumandangkan takbir di dalam mesjid. Emak, biasanya mengirimkan besek-besek dengan menggunakan "nyiru" atau tampah tersebut sebanyak 10 buah. Begitupun para tetangga, melakukan hal yang sama.
Saat usai, sholat Idul Fitri di mesjid. Jemaah tidak langsung pulang, tapi duduk sendiri untuk "hamin". Berdoa, berkumpul mengelilingi susunan besek-besek yang jumlahnya puluhan buah. Tidak aneh berjumlah puluhan, karena setiap rumah minima mengirimkan 5-10 besek. Setelah selesai berdoa langsung bersalaman. Pulang ke rumah masing-masing. Saat keluar dari mesjid, setiap tampah yang tertumpuk kemudian, dimuati besek sejumlah orang yang dibagi rata. Masing-masing telah dititipkan pada anak atau keluarga atau perwakilannya.
Pada waktu tiba di rumah. Lagi-lagi terjadi hal lucu, ternyata besek-besek yang diterima oleh kita adalah besek-besek yang dikirimkan oleh Emak tadi pagi :) alias mereka kembali!
Karena, saking banyaknya olahan masakan tersebut. Seringkali, emak harus memanaskan di dalam satu wajan. Aneka macam hidangan tersebut disatukan, dipanaskan berulang-ulang dalam satu wajan. Maka jadilah makanan baru khas lebaran, yaitu Tumis Haseum!
Friday, July 26, 2013
Saya Bukan Pengemis
2010
Saat keluar dari pintu BIP, tampak seorang anak berusia 8 tahunan. Berdiri di atas trotoar. Tubuhnya kecil, kulitnya hitam. Bajunya yang putih tampah sudah kusam, dua buah kancingnya sudah tak tampak. Sehingga, bagian dada dan tonjolan tulang rusuk anak itu tampak terlihat. Bersendal jepit, yang juga sudah lusuh. Di depannya tampak pikulan bambu yang sudah menghitam dan mengkilat tanda sering dipakai. Di ujung pikulan itu tampak dua buah bakul.
Mata terus terpusat pada tingkah laku si anak. Sambil perlahan mendekatinya. Penuh keraguan dan penuh hati-hati anak itu, beberapa kali mencoba menawarkan dagangannya. Ternyata, setelah didekati. Anak itu menjual "cireng" mentah.
"Bu, cireng Bu...!", tawarnya pelan. Penuh harap. Tatapannya pasti menatap orang-orang yang lewat di depannya sambil menawarkan dagangannya. Tak seorang pun sepertinya, tertarik. Mereka yang ditawari bersikap tak acuh. Berjalan terus, lurus. Jangankan membeli, menoleh pun tidak. Kebanyakan, mereka hanya memberikan isyarat dengan tangannya. Bahwa, mereka tidak tertarik membelinya.
Tanpa putus asa, anak itu terus, mencoba menawarkan dagangannya. Tapi, tetap saja. Belum ada satu pun yang membeli dagangannya.
"Jang, jualan cireng ya?" tanya saya. Pura-pura tidak tahu.
"Muhun, mau beli Pak?" jawab anak itu dan balik bertanya. Menawarkan cirengnya
"Berapa satunya?", tanya saya lagi.
"Satunya tiga ribu lima ratus Pak" jawab anak itu. Matanya berbinar.
"Beli 2 buah ya!" kata saya sambil menyodorkan satu lembar uang dua puluh ribu rupiah.
Tangan anak itu, dengan cekatan mengambil kantong plastik dari dalam bakul. Kemudian memasukan dua buah cirengnya ke dalam kantong plastik itu. Disodorkannya bungkusan plastik itu ke tangan saya.
Sambil menerima lembaran uang dua puluh ribu, dia berkata : "Pak, nanti kalau mau digoreng cirengnya dipotong-potong dulu ya. Terus di tekan-tekan...agar minyaknya gak muncrat!"
"Sebentar ya Pak! Gak ada kembalian. Saya tukarkan dulu!" katanya.
"Udah gak usah...buat jajan kamu aja!" cegah saya kepada anak itu. Niat awal memang hanya ingin memberi tidak untuk membeli.
"Jangan Pak! Sebentar saya tukarkan dulu!" anak itu tanpa bisa dicegah. Kakinya yang kecil, melangkah cepat. Setengah berlari, menuju ke pedagang asesories. Menukarkan uang.
"Ini Pak, kembaliannya!", anak itu menyodorkan uang itu.
"Hush, kan tadi udah dibilang. Untuk jajan kamu aja ya!", paksa saya lagi.
"Maaf Pak, terima kasih...tapi saya bukan pengemis. Terima kasih ya Pak!" jawab anak itu tegas.
Buru-buru, pikulan bambunya diletakan di atas bahunya. Anak itu setengah berlari menuju jalan Aceh.
Saya, hanya bisa termangu. Si Cikal, mencoba mengejar anak itu. Tapi, tidak terkejar...
Tuesday, July 23, 2013
Minum Kopi Ajaib
Angin yang menderu-deru di Situ Lembang, seperti bersahutan membuat lentingan pohon-pohon pinus seperti bergantian menggoyangkan ranting dan dahannya. Kombinasi kondisi udara dingin, cuaca, dan tiupan angin, praktis rata-rata suhu di situ Lembang waktu itu hampir 11 derajat Celcius! Bersebelas mengikuti Pendidikan Latihan Dasar Pecinta Alam Jayawijaya SMAN 2 Cimahi. Di bawah asuhan akang-akan dari senior JW dan Jana Bhuana.
Saat magrib tiba, kami baru tiba dari praktik gunung hutan. Tubuh basah kuyup. Baju, celana, pakaian dalam dan kaos kaki semua basah. Tak satupun yang kering. Tubuh yang sudah menggigil kedinginan, karena didera hujan hampir tiap hari di akhir bulan Desember. Semakin menggigil karena terperangkap dalam dinginnya malam di lembah Situ Lembang. Dinginnya sampai ke sumsum tulang. Membuat linu seluruh persendian yang mengikat tulang-tulang di tubuh kami.
Tak ada pakaian kering satupun. Pakaian cadangan yang disimpan di dalam ransel tak ada yang selamat. Basah semua. Praktis berarti harus tidur dengan pakaian basah. Mencoba sedikit menghangatkan badan, dengan tidur berdempetan di atas dipan dari kayu kasar. Dipan yang dibuat memanjang dalam barak komando, sehingga bisa memuat tidur sampai 11 orang (satu grup komando). Satu demi satu, merebahkan diri di atas kerasnya dipan kayu papan kasar. Seolah ada janjian, kami bergantian saling mengawal untuk buang air kecil di luar. Gigi geligi beradu dengan cepat, menjadi bunyi gemeletuk menahan dingin. Karena teramat dingin yang tidak tertahankan, tidak aneh membuat tubuh kudu bolak balik untuk membuang hajat kecil. Ke luar barak, tidak berani sendirian waktu itu. Karena suasananya sangat angker. Konon, persis di depan barak yang ditempati. Ada kuburan misterius yang banyak memberikan cerita pada mereka yang tidur di dalam barak itu :)
Berbeda dengan peserta laki-laki yang langsung rebahan bahkan tertidur. Para peserta perempuan yang hanya berjumlah tiga orang tampak masih sibuk sendiri-sendiri. Nyaris tanpa suara, mereka melakukan dan membereskan hal-hal yang mungkin dirasa perlu. Si Bohim (nama rimba dari kang Robbi, sekarang di PTDI) yang terkenal jahil dan suka iseng. Tiba-tiba berteriak: "Waw...pahiiit!"
Terdengar suara cekikikan tertahan dan diikuti ledak tawa seisi barak.
Usut punya usut, selesai si Bohim buang air kecil. Dia melihat, secangkir "kopi" panas. Yang mengepulkan uap panas. Tubuh yang menggigil kedinginan. Mendorongnya untuk menjahili dengan meminum "kopi" itu tanpa ijin si pemilik. Ternyata yang diminumnya, adalah jamu telat datang bulan milik si Revlon!
Wednesday, July 17, 2013
Taraweh, Tara Sawareh
Puasa Ramadan adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak di kampung. Pada waktu saya kecil, memasuki bulan puasa ditandai dengan mandi keramas. Mandi keramasnya, bukan di sumur atau kamar mandi yang terletak di luar rumah. Tapi di mata air yang dibentuk pancuran, di tepi sungai Citarum yang dikenal dengan Lebak. Pancuran tersebut terletak di Desa Sinar Jaya yang berjarak lebih kurang 3 km dari rumah.
Sebenarnya bukan hanya mandi keramas, tapi juga acara papasakan "ngaliwet". Istilah sekarang, makan-makan habis-habisan. Sambil menunggu be berenang di Citarum. Orang tua, sebenarnya melarang keras berenang di Sungai Citarum yang waktu itu airnya masih jernih. Mungkin karena khawatir akan tenggelam. Tapi dasar bengal tetap saja ikut dengan anak-anak yang lebih besar ke Lebak untuk "papasakan" terakhir sebelum puasa, berenang dan keramas di pancuran.
Telanjang bulat, kami berenang di sungai Citarum tanpa rasa malu. Bersenda gurau, melompat dari batu besar hitam. Sesekali berbarengan menyelam berlomba mencari batu. Yang paling jago berenang dan menyelam adalah anak seorang Kapten RPKAD yang sekarang dikenal sebagai si Guru alias Dadang. Tidak salah, sekarang dia menjadi guru olah raga. Karena jago berenang, dan larinya sangat cepat sekali. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi kurus, kaki panjang sehingga langkahnya jadi lebar. Dia bisa melakukan penyebrangan dari sisi Batujujajar ke sisi Cihampelas, Cililin pulang pergi! Padahal, sungai Citarum waktu itu selain jernih, arusnya sangat deras dengan lebih kurang 100 meter. Bahkan,pada saat air sungai Citarum dalam keadaan keruh, karena hujan deras di hulu. Saat tak seorangpun berani berenang. Si Dadang ini, berani terjun dan tetap menyebrang! Kita hanya bisa menjadi penonton terkagum-kagum!
Saat memasuki puasa, sesekali untuk "ngabeubeurang" menunggu siang, atau "ngabuburit" menunggu magrib. Kita tetap bermain sambil berenang di Citarum. Pada waktu berangkat dan masih pagi, tubuh kita tidak akan terasa capai. Selain masih bugar, perjalanan dari rumah ke Lebak (Citarum) menurun tajam. Tapi, pada waktu kita akan pulang, lelahnya tidak tergambarkan. Saat tubuh, letih karena habis berenang. Kita juga harus "mendaki" nanjak curam menuju pulang. Tapi, tetap saja tidak kapok. Hari-hari lainnya, tetap saja "ngabeubeurang" dan "ngabuburit" ke tempat itu lagi. Kadang, agar pulang agak sorean. Perjalanan diputar lebih kurang 6 km ke arah barat. Menuju jembatan warung pulus, yang sekarang sudah tenggelam oleh Waduk Saguling!
Tangan Dimakan si Kilat!
Malam, setelah buka puasa. Anak-anak biasanya, langsung saling menjemput teman. Berteriak-teriak dari luar rumah. "Ihiiiii.....nnnn!", "Ahuuuuuuu....uuu!", "Mamaaaaa...ttt!", "Dadaaaa...aaang!", dengan posisi kedua telapak tangan ditempelkan di mulutu menyerupai corong pengeras suara. Sehingga suara terdengar lebih keras. Sarung melilit di pinggang, atau di leher. Biasanya, saya yang paling banyak membawa petasan. Petasan, zaman dahulu gak seperti zaman sekarang. Petasannya gede-gede. Bisa segede dinamit. Bahkan, ayah saya seringkali memodifikasinya. Petasan yang sudah segede lengan si Ade Ray itu, dililit lagi dengan kertas mesin penghitung! Sehingga, bentuknya jadi super besar. Untuk menghindarkan kecelakaan, serbuk mesiu di dalam sumbunya, dibuang. Sehingga nyala dari sumbu jadi lambat.
Saat petasan hasil modifikasi yang diameternya telah berubah menjadi sebesar belewah. Ledakannya tidak terbayangkan! Kaca di sekitarnya akan bergetar bahkan pecah!
Si Kilat adalah petasan yang ukurannya sedang. Biasanya dilemparkan dengan tangan. Disebut si Kilat karena reaksi pembakaran dari sumbu yang sangat cepat. Sehingga, bila kita terlambat sedikit saja melemparkan petasan pasca disundut sumbunya. Bisa dipastikan petasan itu akan meledak di tangan kita. Bukan sekali dua kali, tangan saya menjadi korban. Tidak kapok, tidak menangis....ayah saya cukup menyiram tangan yang terkena ledakan petasan itu dengan spirtus yang biasa dipakai untuk menyalakan lampu petromaks. Sehingga, terasa dingin. Cukup menghilangkan rasa terbakar dan sakit dari petasan itu. Ayah tidak pernah marah, malah tersenyum. Sambil kembali memberikan petasan yang baru dan lebih banyak. Maklum, beliau seorang tentara :p
Taraweh, Tara Sawareh
Bila, sholat terawih tiba. Anak-anak dengan penuh semangat menuju masjid mang Udin. Pada waktu puasa, jarang sekali sholat terawih di mesjid Pak Ikin. Alasannya, selain takut oleh kegalakan Pak Ikin juga sholat terawihnya gak tanggung-tanggung 33 rokaat! Jangankan 33 rakaat, yang 23 rakaat saja kadang jadi hanya 11 rakaat!
Bisa dibilang taraweh yang dilakukan oleh kami waktu itu tidak lebih dari kesukaan sholat beramai-ramai. Diselingi saling dorong kiri-kanan. Saat baru mulai sujud. Tidak memandang ada orang tua atau bukan. Kami saling mendorong baik dari sisi ke sisi lainnya atau dari belakang ke depan! Sehingga sujud, harus dilakukan mendadak sambil posisi saling bertindihan sambil tertawa-tawa. Orang-orang tua waktu itu tidak ada yang marah. Bahkan, hanyut di dalam "permainan" yang membuat kita terpingkal-pingkal. Tapi, hal itu hanya terjadi pada saat kita jenuh. Saat sholat khusu, yang sholat serius. Tapi, bila seorang anak jenuh. Siap-siaplah menerima bencana!
Saat memasuk rakaat yang kritis, saat mulai bosan dan mengantuk. Salah seorang dari kami, biasanya, pura-pura mengambil air wudhu. Karena batal, kent*t. Tapi sebenarnya, sekaligus mengambil pemukul beduk. Saat orang-orang sedang bersujud, pemukul beduk itu kemudian diganjalkan di lutut bawah orang lain. Akibatnya, orang itu pada waktu akan duduk dua sujud terganjal, dan terjungkal dengan sendirinya! Orang yang sholat di pinggir atau di depannya, akan tertawa terkikik!
Seringkali pada waktu sholat terawih, orang tua membuka celana kolornya yang mungkin kotor atau tidak suci. Celana kolor itu digantungkan di kapstok di belakang mushola. Saat orang lain, bersujud salah seorang anak mengambil kolor dekil yang sudah penuh dengan jamur tersebut. Lalu ditutupkan ke kepala temannya yang sedang sujud! Tanpa melihatpun, kita sudah tahu kolor siapa yang ditempelkan atau siapa yang menempelkan kolor di atas kepala! Yang marah, bukannya korbannya, tapi si empunya kolor!
Bila jamaah mesjid sedang khusu tahiyyat. Suasana sangat sunyi sepi. Yang terdengar hanya bunyi desis orang-orang yang berdoa membaca tahiyyat. Tiba-tiba, "DUAAARRRR...!!!", sebuah ledak petasan cukup besar berbunyi di kolong mushola itu! Semuanya, terperanjat. Membaca salam, langsung beramai-ramai memburu ke jendela atau ke pintu mencari si pelaku "pemboman" teroris amatiran itu!
Solat taraweh, dalam artian anak-anak waktu itu benar-benar adalah tara sawareh (hanya dilakukan sebagian) selebihnya bermain dan menjahili orang!
Tajug, Cempor, Obor dan Sarung dari Tikar Pandan
Jelas, mesjid Mang Udin, berarti pengurus mesjid atau merebotnya adalah Mang Udin. Seorang pegawai sipil di "jero" yaitu pegawai non tentara di RPKAD yang bertugas memperbaiki sepatu para tentara. Beliau mempunyai seorang anak laki-laki teman akrab saya bernama "Ihin" alias Solihin. Yang meninggal waktu saya seumuran 7 atau 8 tahunan. Waktu itu, saya tidak mengerti kenapa Ihin bisa meninggal, tapi mengingat ciri-ciri sakitnya waktu itu. Mungkin adalah tipes yang berkepanjangan.
Mesjid Pa Ikin terletak di sebelah utara rumah. Pemiliknya adalah seorang guru tsanawiyyah di desa Galanggang. Seorang guru ngaji yang terkenal, disiplin sekali dan super galak. Setiap kali akan memulai mengaji, beliau akan memijat paha kita dengan amat sangat keras. Sehingga, sakitnya terasa sampai ujung hati. Bisa membuat muka kita pucat pasi. Atau kadangkala, dia "menghajar" tempurung lutut kita sambil ngomong: "Hanca jang!" (Ayo lanjutkan!"). Tak seorangpun dari kita berani protes. Beliau terkenal, galak. Sangat pemarah. Pernah terjadi si Dodi, teman mengaji anaknya Mang Eno. Bergurau di dalam mushola. Langsung dihajar dengan menggunakan peci. Sampai terpelanting!
Mesjid Pa Inen, adalah mesjid yang berada di sebelah timur rumah saya. Pemiliknya, kalau tidak salah pekerjaanya, sama dengan Mang Udin yaitu pegawai sipil di RPKAD waktu itu. Orangnya berperawakn tinggi kurus. Dibanding mesjid Mang Udin atau Pak Ikin, mesjid Pa Inen kurang saya kenal waktu itu. Karena lebih sering mengaji di Mang Udin atau Pak Ikin.
Menggunakan Obor dan Lampu Cempor
Sebenarnya, kalau zaman sekarang semua mesjid-mesjid di kampung saya tersebut tidak lebih dari sebuah mushola kecil atau dikenal sebagai "tajug". Semua bangunannya, kurang lebih berukuran paling banter 3-4 meter. Berdinding bilik yang dicat kapur putih dengan pondasi batu yang ditinggikan. Lantainya, dari bambu "palupuh" yang dibelah kecil-kecil sehingga kalau berjalan akan terdengar deritan khas. Lantai tersebut dialasi tikar dari daun pandan. Saking ringkihnya bangunan tersebut. Seringkali pada waktu sholat terawih. Kita yang termasuk anak-anak "bengal", melakukan "gempa" kecil terhadap mushola itu. Yaitu, menggoyang-goyangkannya secara bersamaan, sambil menahan tawa! Sebaliknya, orang-orang yang sedang sholat langsung akan beristigfar takut terjadi gempa beneran!
Ke semua "mesid" di kampung tersebut tidak pernah dijadikan tempat untuk sholat Jum'at. Untuk sholat Jum'at masyarakat dari seluruh kecamatan Batujajar melakukannya di mesjid Kaum yang terletak di Pasar Batujajar sebelah selatan. Makanya, bukan hal yang aneh waktu itu, orang-orang yang berbeda desa sekalipun kalau masih dalam satu kecamatan akan saling mengenal satu sama lainnya. Karena disatukan oleh mesjid kaum. Pada waktu berangkat jumatan, atau pulangnya akan bersilaturahmi dengan sendirinya.
Ke semua "mesid" di kampung tersebut tidak pernah dijadikan tempat untuk sholat Jum'at. Untuk sholat Jum'at masyarakat dari seluruh kecamatan Batujajar melakukannya di mesjid Kaum yang terletak di Pasar Batujajar sebelah selatan. Makanya, bukan hal yang aneh waktu itu, orang-orang yang berbeda desa sekalipun kalau masih dalam satu kecamatan akan saling mengenal satu sama lainnya. Karena disatukan oleh mesjid kaum. Pada waktu berangkat jumatan, atau pulangnya akan bersilaturahmi dengan sendirinya.
Karena belum ada listrik masuk desa, suasana kampung yang masih dikelilingi kebun yang lebat pohon-pohonnya, terasa jadi sangat gelap dan menakutkan. Pada waktu magrib, untuk berangkat mengaji kami berangkat berombongan. Saling menunggu atau menjemput antara teman yang terjauh ke mesjid ke teman yang paling dekat ke mesjid. Mungkin dikarenakan dengan perasaan takut yang sama. Melewati kebun kopi di belakan rumah saya. Menggunakan obor yang dibuat dari sebatang buluh bambu yang diisi minyak tanah kemudian ditutup dengan kain. Masing-masing orang biasanya mempunyai obornya masing-masing. Bila, minyak tanah dalam obor dari salah seorang teman habis, teman yang lainnya menyumbangkan sedikit minyaknya dengan meneteskan minyak dalam obor miliknya ke atas kain pada obor temannya.
Di dalam mesjid pun, tidak jauh berbeda. Untuk penerangan cukup menggunakan sebuah lampu cempor besar. Yang bahan bakarnya minyak tanah juga. Seringkali pada waktu mengaji, tiba-tiba tanpa disadari minyaknya habis. Sehingga lampu cempornya mati. Maka liburlah, anak-anak yang belum kebagian giliran mengaji, Karena suasana jadi gelap gulita. Tidak mungkin mengaji dilanjutkan. Disamping senang karena tidak jadi mengaji, tapi juga nyesel karena sudah datang tapi tidak jadi mengaji :p
Tidak jarang, ketika guru mengaji utama tidak ada. Mengaji seringkali diserahkan pada anak yang lebih besar. Tapi itu tidak sekhusu mengaji pada guru utamanya, yaitu mang Udin atau Pa Ikin. Entah karena malas atau iseng atau kenakalan anak-anak waktu itu. Saat sedang mengaji, tiba-tiba salah seorang dari kita meniup lampu cempor untuk penerangan di mushola itu.
Tidak jarang, ketika guru mengaji utama tidak ada. Mengaji seringkali diserahkan pada anak yang lebih besar. Tapi itu tidak sekhusu mengaji pada guru utamanya, yaitu mang Udin atau Pa Ikin. Entah karena malas atau iseng atau kenakalan anak-anak waktu itu. Saat sedang mengaji, tiba-tiba salah seorang dari kita meniup lampu cempor untuk penerangan di mushola itu.
Berlaga seperti akan mengambil api, untuk obor yang akan dipakai pulang. Karena sudah selesai mengaji, seorang anak mendekat lampu cempor itu dan...."Phuuuhhhh....!" Maka, matilah lampu cempor itu. Sambil berteriak serempak, "Eueueueueuhhh....!" maka bubarlah semua. Berbarengan sambil berlari menuju pintu yang sempit. Anak-anak yang kecil seperti saya, tidak jarang menjadi "kebiadaban" anak-anak yang sudah besar. Seringkali terjatuh dan terinjak kaki atau tangan!
Kain Sarung Dianyam Tikar!
Pada waktu salah seorang dari kita sedang kebagian giliran mengaji. Yang lain, yang belum kebagian giliran. Sebenarnya ditugaskan untuk "ngaderes" atau mengulang ayat yang kemarin telah dibaca. Tapi, karena guru mengaji hanya seorang. Maka, hampir sebagian besar malah bermain-main atau mengisengi teman yang lain yang tengah serius mengaji. Guru ngaji, hampir tidak bisa mengontrol kesemua muridnya. Selain karena hanya seorang diri, juga penerangan yang minim mengakibat anak-anak dapat melakukan kebengalan yang diluar batas. Tapi, ada juga yang anteng tidur pulas!
Sudah menjadi hal yang biasa, tikar dari pandan yang dipakai alas untuk mengaji. Tidak utuh lagi. Selain, rusak karena kelembaban. Juga mayoritas dipake mainan oleh anak-anak. Entah, dicabutin satu persatu secara bersamaan, kemudian dipakai untuk "adu tarik tambang", helaian tikar milik masing-masing disimpulkan satu sama lain, yang putus dia yang kalah. Atau dipakai "ngadu kupu-kupu", helaiann pandan dibentuk seperti kupu-kupu kemudian diputar-putar diadukan dengan "kupu-kupu" milik teman dengan cara dikepit dua telapak tangan kemudia diputarkan dengan cepat. Yang "kupu-kupu"-nya rusak atau putus, dia yang kalah. Lalu, yang kalah mencabut lagi helain pandan dari tikar lagi!
Yang paling keterlaluan, adalah bila salah seorang dari kita. Mencabuti helai demi helai dari pandan tersebut. Helaian pandan itu diuntai membentuk tali yang panjang, kemudian diikatkan pada kain sarung anak yang sedang mengaji. Tentu saja, anak yang dijadikan korban tidak mengetahui kalau kain sarung yang dipakainya, tengah "dianyam" dan disatukan dengan untaian tali pandan yang juga disatukan dengan tikar asal helain pandan yang dijadikan tali tersebut.
Maka, terjadilah ledakan tawa dari seluruh yang mengaji plus omelan dari guru mengaji yang tidak bisa berkata apapun. Guru mengaji hanya bisa, melongo dengan tatapan yang sulit diceritakan. Saat, anak itu selesai mengaji pada waktu berdiri dan berjalan keluar. "Sarungnya" menjadi panjaaaaang....! karena disimpul dengan "tali" dari helain pandan tikar tempat duduknya. Sehingga tikar yang dipakai duduk pun langsung robek-robek!
Maka, terjadilah ledakan tawa dari seluruh yang mengaji plus omelan dari guru mengaji yang tidak bisa berkata apapun. Guru mengaji hanya bisa, melongo dengan tatapan yang sulit diceritakan. Saat, anak itu selesai mengaji pada waktu berdiri dan berjalan keluar. "Sarungnya" menjadi panjaaaaang....! karena disimpul dengan "tali" dari helain pandan tikar tempat duduknya. Sehingga tikar yang dipakai duduk pun langsung robek-robek!
Thursday, January 31, 2013
Bapak Wafat tapi Tetap Hidup
1991
Sudah cita-cita dari sejak lama Apa (Bapak) dan Emak berangkat ke tanah suci Mekah. Menunaikan rukun Islam yang kelima. Biaya ongkos naik haji, diperoleh bukan dengan cara mudah. Tapi melalui pengorbanan yang tidak sedikit. Sawah tempat "ngantor" Apa, dan ladang tempat mendapatkan makan sehari-hari dan biaya sekolah kami kudu berpindah tangan. Karena, dijadikan areal industri.
Uang hasil penjualan sawah, cukup untuk ongkos naik haji Apa dan Emak berdua. Mereka berdua langsung daftar berangkat haji melalui pesantren Albidayah di Cangkorah yang waktu itu dipimpin oleh Pa Kiai Yayat. Berdua setiap Sabtu Apa dan Emak, latihan manasik haji di pesantren tersebut. Senyum cerah, selalu terpancar dari bibir Apa dan Emak. Mungkin, sudah membayangkan akan nikmatnya beribadah di tanah suci.
Hampir setiap saat, selepas sholat atau setiap waktu luang. Apa dan Emak, membaca buku tuntunan manasik haji dari Departemen Agama. Sebuah buku kecil, namun cukup tebal berisi doa dan ritual selama ibadah haji. Sambil duduk di teras rumah atau duduk di kursi meja makan, mereka berdua menghapalkan doa-doa manasik bersama-sama. Kadang-kadang, Emak dituntun oleh Apa untuk menghapalkan satu doa yang cukup sulit dihapalkan. Penuh pengertian dan kesetiaan serta kesabaran yang amat sangat, Apa mengajari Emak membaca doa-doa manasik tersebut. Bila, salah atau sulit mengucapkan. Emak dan Apa tertawa berdua...
Saya dan Asep, adik saya yang masih tinggal di rumah. Sementara kelima Kakak sudah jauh merantau. Kakak kesatu, keempat dan kelima di Jakarta, sedangkan kakak kedua dan ketiga masih di Batujajar. Masih teringat, Apa setiap malam bertahajud dan berdzikir. Bila, adzan shubuh, terdengar suara kunci dan handle pintu yang terbuka. Menandakan Apa pergi ke mesjid. Saat terbangun, Apa sudah duduk di atas kursi meja makan. Tampak, kopi buatan Emak mengepul asapnya. Harum, maklum kopi asli buatan Emak sendiri. Dipetik dari belakang rumah, dijemur, digarang dan ditumbuk halus, dan disaring sendiri oleh Emak. Sambil menikmati sepiring ubi rebus. Apa memegang buku manasik haji, dengan kacamata yang selalu bertengger di atas hidungnya bila membaca.
Ada satu kebiasaan kurang baik yang hilang saat Apa akan berangkat haji. Alhamdulillah, Apa berhenti total dari kebiasaan merokoknya. Badannya terlihat sangat segar, wajahnya putih bersinar. Kumisnya dicukur habis, dengan tahi lalat di sudut bibir kanan. Ciri khas Apa, tahi lalat itu. Kebalikan dari saya, tahi lalat terletak di sudut kiri bibir. Setiap pagi, selesai mutolaah membaca buku manasik. Apa berkeliling, jalan pagi-pagi. "Latihan, Sa'i dan Melempar jumroh. Sekalian memohon maaf, doa restu dari seluruh kampung!", ujarnya.
Ya, Apa sebelum berangkat haji. Berdua dengan Emak, sambil berolah raga pagi memakai training. Berkeliling ke tetangga dan orang2 di kampung untuk meminta maaf dan memohon doa restu mereka. Kebalikan dengan kebiasaan orang-orang sekarang, dengan istilah "Walimatul Safar". Orang-orang kampung dan tetangga dekat yang kudu datang bertandang ke tempat orang yang akan berangkat haji. Terkadang sambil membekali amplop berisi sejumlah uang untuk orang yang akan berangkat haji tersebut. Aneh! Padahal sebaiknya, orang yang akan berangkat haji yang berkeliling kampung sambil bersilaturahmi dan berolah raga meminta maaf ke para tetangganya. Sambil, melihat adakah tetangganya yang masih kelaparan atau tidak.
Man propose, God disposses. Manusia berencana, Tuhan menentukan.
Makin mendekati hari H keberangkatan. Seperti biasa, semua calon jemaah haji. Kudu diperiksa kesehatannya. Hasil pemeriksaan, ternyata Emak menderita kencing manis. Kondisi Ibunda langsung drop. Bahkan beberapa kali dirawat di RS Asadyra. Apa, terlihat sangat "down" dengan kondisi Emak. Walaupun, disembunyikan pada saat menjenguk Emak di rumah sakit. Mata apa terlihat berair, beberapa kali beliau berusaha mengusap air matanya. Melihat kondisi Emak yang terbaring di atas ranjang.
Kesetiaan Tanpa Batas
"Pokoknya, Apa harus berangkat. Walaupun tanpa Emak!", kata Emak, sambil menangis.
"Masa, Apa tega berangkat sendiri. Sementara Emak di rumah sakit. Tenang aja Mak, Emak pasti sehat. Kita pasti berangkat bareng ke Mekah!", jawab Apa.
Emak beberapa kali, kondisinya mengali naik turun. Sampai pada hari H, dipastikan Apa dan Emak bisa berangkat bareng. Tapi, entah karena stress karena akan berangkat. Atau memang Tuhan berkehendak lain.
Pada saat adzan pemberangkatan yang dikumandangkan oleh seorang santri yang dibawa Buya (mertua dari Pesantren Keresek Cibatu Garut). Apa berdiri di pintu. Berpeci hitam, berbatik hitam putih. Selendang putih pemberian dari Buya tersangkut di lehernya. Seluruh warga kampung Babakansari, tumplek dan berbaris rapi di sepanjang jalan keberangkatan. Saat adzan berkumandang. Semuanya tak kuasa menahan tangis....
Betapa tidak, Apa yang tetap harus berangkat sendiri ke Mekah. Sementara Emak malah kembali harus masuk rumah sakit. Pada hari yang sama! Semuanya, merasakan kepedihan dan kesedihan kami sekeluarga. Yang ditinggal oleh mereka berdua, dengan kondisi dan tempat yang dituju berbeda pula. Saat Apa, berkeliling bersalaman sambil diiringi sholawat. Seluruh warga menangis, dan memeluk apa. Beliau memang orang baik, selalu ringan tangan menolong orang kampung dalam segala hal. Beliau sangat dekat dengan semua usia; kakek-nenek, tua-muda, bahkan anak-anak kampung semuanya dekat dengan Apa. Tak segan, anak-anak saling menggoda, dengan panggilan akrab Pak Eman!
Tiba di pesantren Albidayah, tempat pemberangkatan Apa menuju Pondok Gede, penginapan sementara calon jemaah haji. Carry putih Bang Randi (kakak ipar), dengan amat sangat terpaksa harus langsung menuju rumah sakit. Membawa Emak yang kondisinya sangat drop. Kami terpecah dua bagian, satu bagian mengantar Apa masuk ke dalam Bis. Apa tampak sangat terpukul, matanya tak henti berurai air mata! Berusaha melambaikan tangan, dengan senyum dipaksakan.
Pergi Tak Kembali
Dua minggu setelah keberangkatan Apa ke tanah suci. Kami bergantian, menunggui Emak di rumah sakit. Handphone belum ada waktu itu. Kalaupun ada masih berbentuk seperti radio PCB milik militer. Jadi kami belum pernah mendapatkan kabar dari Apa. Apa dan bagaimana keadaan beliau di Mekah. Emak, dalam sakitnya seringkali menanyakan Apa. Beliau seringkali menyesali diri. "Kenapa Emak mah, malah masuk rumah sakit? Bukannya ke Mekah?". Kami hanya bisa menangis...berusaha menghibur dengan segala cara dan meminta Emak untuk bersabar.
Karena harus bekerja, semua kakak saya harus kembali ke jakarta. Jadi Emak, akhirnya dibawa ke rumah kakak yang paling besar, Asih di Cijantung, Jakarta Timur. Dengan alasan biar mudah untuk dirawat dan dijaga kondisinya. Saya, istri dan adik saya bertugas menjaga rumah.
Siang terasa sangat panas, terik sekali waktu itu. Rasa gerah. Rumah seperti terasa sepi. Sementara, istri saya sedang menyuapi Danial. Anak pertama saya yang waktu itu baru berusia sekitar 8 bulan. Adik saya masih sekolah. Rumah, mendadak terasa sunyi. Sepi. Ada yang kosong dari jiga. Ada yang hilang. Entah kenapa. Tampak, 2 hari terakhir Kang Encep (kakak ipar) dan Kang Asep Arifin tetangga di depan rumah saya. Bolak-balik dan duduk di kursi depan rumah. Terdiam. Membisu seperti kebingungan. Karena sibuk, menunggui Emak, saya pun kurang memperhatikan hal itu.
Hari beranjak sore, keanehan dan rasa tidak enak mulai muncul saat Kang Asep Aripin (Daseng), Pak Elon dan Kang Encep bertandang ke rumah. Jantung tiba-tiba berdegup kencang. Sepertinya rasa tidak nyaman yang dirasakan sedari tadi pagi menjadi kenyataan. "Den, Enung, Asep...kudu sabar...!" Kang Asep memulai pembicaraan. Tapi, tidak berlanjut...matanya basah. Begitupun mata Kang Encep, mengucur dengan derasnya. Pak Elon yang waktu itu Ketua RT, akhirnya melanjutkan. "Jodo, pati, bagja, cilaka sudah digariskan oleh Allah SWT...sebenarnya ada kabar dari pesantren Cangkorah, ada jemaah haji yang wafat!"
"Dugh...!" jantung serasa terhenti. Tidak dilanjutkan pun saya sudah bisa menduga. Apa! Serasa disambar petir di siang bolong! Apa wafat! Benarkah? Ah, Masa??? Tidak Mungkin! Aneka perasaan berkecamuk dalam diri. Sementara Emak belum sembuh dari sakit, baru ditinggal ke Mekah. Ditambah sekarang ditinggal wafat! Allahu Akbar!
Berusaha menguatkan diri, tapi tetap tidak percaya. Saya tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh mereka bertiga. Namun, air mata dan kekosongan jiwa yang dirasakan tidak bisa membohongi diri sendiri. Saya tetap berusaha tabah. Istri, saya langsung menangis. Dia langsung menelepon Buya di Cibatu. Mengabarkan kabar buruk tersebut.
Magrib menjelang, suasana makin sepi. Buya dan Umi dari Cibatu sudah tiba. Saya dengan ditemani Pak Jaka dan Kang Encep langsung menuju Cijantung. Tiba di Cijantung sekitar jam 9 malam. Di sana Iyan dan Aush, kakak saya sudah menunggu di rumah Asih, kakak tertua. Saya langsung menuju asrama haji Pondok Gede untuk memastikan wafatnya Apa. Tiba di atas, langsung melihat para jemaah yang wafat hari itu. "Degh....!" mata langsung tertumbuk pada nama EMAN SULAEMAN! Nama Apa, saya terdiam. Tak bisa berkata apapun. Tapi, dalam hati tetap tidak percaya, dan yakin. Seyakin-yakinnya Apa masih hidup!
Beliau mungkin memang wafat, tapi karena saya tidak pernah melihat sosok tubuh jenazah dan tidak menguburkannya. Makanya, sampai sekarang saya tetap menganggap Apa masih hidup. Namun, di alam yang lain. Mungkin, saat saya menceritakan ini. Apa dan Emak melihat dari alam sana dengan penuh kebahagiaan. Amien...!
Sudah cita-cita dari sejak lama Apa (Bapak) dan Emak berangkat ke tanah suci Mekah. Menunaikan rukun Islam yang kelima. Biaya ongkos naik haji, diperoleh bukan dengan cara mudah. Tapi melalui pengorbanan yang tidak sedikit. Sawah tempat "ngantor" Apa, dan ladang tempat mendapatkan makan sehari-hari dan biaya sekolah kami kudu berpindah tangan. Karena, dijadikan areal industri.
Uang hasil penjualan sawah, cukup untuk ongkos naik haji Apa dan Emak berdua. Mereka berdua langsung daftar berangkat haji melalui pesantren Albidayah di Cangkorah yang waktu itu dipimpin oleh Pa Kiai Yayat. Berdua setiap Sabtu Apa dan Emak, latihan manasik haji di pesantren tersebut. Senyum cerah, selalu terpancar dari bibir Apa dan Emak. Mungkin, sudah membayangkan akan nikmatnya beribadah di tanah suci.
Hampir setiap saat, selepas sholat atau setiap waktu luang. Apa dan Emak, membaca buku tuntunan manasik haji dari Departemen Agama. Sebuah buku kecil, namun cukup tebal berisi doa dan ritual selama ibadah haji. Sambil duduk di teras rumah atau duduk di kursi meja makan, mereka berdua menghapalkan doa-doa manasik bersama-sama. Kadang-kadang, Emak dituntun oleh Apa untuk menghapalkan satu doa yang cukup sulit dihapalkan. Penuh pengertian dan kesetiaan serta kesabaran yang amat sangat, Apa mengajari Emak membaca doa-doa manasik tersebut. Bila, salah atau sulit mengucapkan. Emak dan Apa tertawa berdua...
Saya dan Asep, adik saya yang masih tinggal di rumah. Sementara kelima Kakak sudah jauh merantau. Kakak kesatu, keempat dan kelima di Jakarta, sedangkan kakak kedua dan ketiga masih di Batujajar. Masih teringat, Apa setiap malam bertahajud dan berdzikir. Bila, adzan shubuh, terdengar suara kunci dan handle pintu yang terbuka. Menandakan Apa pergi ke mesjid. Saat terbangun, Apa sudah duduk di atas kursi meja makan. Tampak, kopi buatan Emak mengepul asapnya. Harum, maklum kopi asli buatan Emak sendiri. Dipetik dari belakang rumah, dijemur, digarang dan ditumbuk halus, dan disaring sendiri oleh Emak. Sambil menikmati sepiring ubi rebus. Apa memegang buku manasik haji, dengan kacamata yang selalu bertengger di atas hidungnya bila membaca.
Ada satu kebiasaan kurang baik yang hilang saat Apa akan berangkat haji. Alhamdulillah, Apa berhenti total dari kebiasaan merokoknya. Badannya terlihat sangat segar, wajahnya putih bersinar. Kumisnya dicukur habis, dengan tahi lalat di sudut bibir kanan. Ciri khas Apa, tahi lalat itu. Kebalikan dari saya, tahi lalat terletak di sudut kiri bibir. Setiap pagi, selesai mutolaah membaca buku manasik. Apa berkeliling, jalan pagi-pagi. "Latihan, Sa'i dan Melempar jumroh. Sekalian memohon maaf, doa restu dari seluruh kampung!", ujarnya.
Ya, Apa sebelum berangkat haji. Berdua dengan Emak, sambil berolah raga pagi memakai training. Berkeliling ke tetangga dan orang2 di kampung untuk meminta maaf dan memohon doa restu mereka. Kebalikan dengan kebiasaan orang-orang sekarang, dengan istilah "Walimatul Safar". Orang-orang kampung dan tetangga dekat yang kudu datang bertandang ke tempat orang yang akan berangkat haji. Terkadang sambil membekali amplop berisi sejumlah uang untuk orang yang akan berangkat haji tersebut. Aneh! Padahal sebaiknya, orang yang akan berangkat haji yang berkeliling kampung sambil bersilaturahmi dan berolah raga meminta maaf ke para tetangganya. Sambil, melihat adakah tetangganya yang masih kelaparan atau tidak.
Man propose, God disposses. Manusia berencana, Tuhan menentukan.
Makin mendekati hari H keberangkatan. Seperti biasa, semua calon jemaah haji. Kudu diperiksa kesehatannya. Hasil pemeriksaan, ternyata Emak menderita kencing manis. Kondisi Ibunda langsung drop. Bahkan beberapa kali dirawat di RS Asadyra. Apa, terlihat sangat "down" dengan kondisi Emak. Walaupun, disembunyikan pada saat menjenguk Emak di rumah sakit. Mata apa terlihat berair, beberapa kali beliau berusaha mengusap air matanya. Melihat kondisi Emak yang terbaring di atas ranjang.
Kesetiaan Tanpa Batas
"Pokoknya, Apa harus berangkat. Walaupun tanpa Emak!", kata Emak, sambil menangis.
"Masa, Apa tega berangkat sendiri. Sementara Emak di rumah sakit. Tenang aja Mak, Emak pasti sehat. Kita pasti berangkat bareng ke Mekah!", jawab Apa.
Emak beberapa kali, kondisinya mengali naik turun. Sampai pada hari H, dipastikan Apa dan Emak bisa berangkat bareng. Tapi, entah karena stress karena akan berangkat. Atau memang Tuhan berkehendak lain.
Pada saat adzan pemberangkatan yang dikumandangkan oleh seorang santri yang dibawa Buya (mertua dari Pesantren Keresek Cibatu Garut). Apa berdiri di pintu. Berpeci hitam, berbatik hitam putih. Selendang putih pemberian dari Buya tersangkut di lehernya. Seluruh warga kampung Babakansari, tumplek dan berbaris rapi di sepanjang jalan keberangkatan. Saat adzan berkumandang. Semuanya tak kuasa menahan tangis....
Betapa tidak, Apa yang tetap harus berangkat sendiri ke Mekah. Sementara Emak malah kembali harus masuk rumah sakit. Pada hari yang sama! Semuanya, merasakan kepedihan dan kesedihan kami sekeluarga. Yang ditinggal oleh mereka berdua, dengan kondisi dan tempat yang dituju berbeda pula. Saat Apa, berkeliling bersalaman sambil diiringi sholawat. Seluruh warga menangis, dan memeluk apa. Beliau memang orang baik, selalu ringan tangan menolong orang kampung dalam segala hal. Beliau sangat dekat dengan semua usia; kakek-nenek, tua-muda, bahkan anak-anak kampung semuanya dekat dengan Apa. Tak segan, anak-anak saling menggoda, dengan panggilan akrab Pak Eman!
Tiba di pesantren Albidayah, tempat pemberangkatan Apa menuju Pondok Gede, penginapan sementara calon jemaah haji. Carry putih Bang Randi (kakak ipar), dengan amat sangat terpaksa harus langsung menuju rumah sakit. Membawa Emak yang kondisinya sangat drop. Kami terpecah dua bagian, satu bagian mengantar Apa masuk ke dalam Bis. Apa tampak sangat terpukul, matanya tak henti berurai air mata! Berusaha melambaikan tangan, dengan senyum dipaksakan.
Pergi Tak Kembali
Dua minggu setelah keberangkatan Apa ke tanah suci. Kami bergantian, menunggui Emak di rumah sakit. Handphone belum ada waktu itu. Kalaupun ada masih berbentuk seperti radio PCB milik militer. Jadi kami belum pernah mendapatkan kabar dari Apa. Apa dan bagaimana keadaan beliau di Mekah. Emak, dalam sakitnya seringkali menanyakan Apa. Beliau seringkali menyesali diri. "Kenapa Emak mah, malah masuk rumah sakit? Bukannya ke Mekah?". Kami hanya bisa menangis...berusaha menghibur dengan segala cara dan meminta Emak untuk bersabar.
Karena harus bekerja, semua kakak saya harus kembali ke jakarta. Jadi Emak, akhirnya dibawa ke rumah kakak yang paling besar, Asih di Cijantung, Jakarta Timur. Dengan alasan biar mudah untuk dirawat dan dijaga kondisinya. Saya, istri dan adik saya bertugas menjaga rumah.
Siang terasa sangat panas, terik sekali waktu itu. Rasa gerah. Rumah seperti terasa sepi. Sementara, istri saya sedang menyuapi Danial. Anak pertama saya yang waktu itu baru berusia sekitar 8 bulan. Adik saya masih sekolah. Rumah, mendadak terasa sunyi. Sepi. Ada yang kosong dari jiga. Ada yang hilang. Entah kenapa. Tampak, 2 hari terakhir Kang Encep (kakak ipar) dan Kang Asep Arifin tetangga di depan rumah saya. Bolak-balik dan duduk di kursi depan rumah. Terdiam. Membisu seperti kebingungan. Karena sibuk, menunggui Emak, saya pun kurang memperhatikan hal itu.
Hari beranjak sore, keanehan dan rasa tidak enak mulai muncul saat Kang Asep Aripin (Daseng), Pak Elon dan Kang Encep bertandang ke rumah. Jantung tiba-tiba berdegup kencang. Sepertinya rasa tidak nyaman yang dirasakan sedari tadi pagi menjadi kenyataan. "Den, Enung, Asep...kudu sabar...!" Kang Asep memulai pembicaraan. Tapi, tidak berlanjut...matanya basah. Begitupun mata Kang Encep, mengucur dengan derasnya. Pak Elon yang waktu itu Ketua RT, akhirnya melanjutkan. "Jodo, pati, bagja, cilaka sudah digariskan oleh Allah SWT...sebenarnya ada kabar dari pesantren Cangkorah, ada jemaah haji yang wafat!"
"Dugh...!" jantung serasa terhenti. Tidak dilanjutkan pun saya sudah bisa menduga. Apa! Serasa disambar petir di siang bolong! Apa wafat! Benarkah? Ah, Masa??? Tidak Mungkin! Aneka perasaan berkecamuk dalam diri. Sementara Emak belum sembuh dari sakit, baru ditinggal ke Mekah. Ditambah sekarang ditinggal wafat! Allahu Akbar!
Berusaha menguatkan diri, tapi tetap tidak percaya. Saya tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh mereka bertiga. Namun, air mata dan kekosongan jiwa yang dirasakan tidak bisa membohongi diri sendiri. Saya tetap berusaha tabah. Istri, saya langsung menangis. Dia langsung menelepon Buya di Cibatu. Mengabarkan kabar buruk tersebut.
Magrib menjelang, suasana makin sepi. Buya dan Umi dari Cibatu sudah tiba. Saya dengan ditemani Pak Jaka dan Kang Encep langsung menuju Cijantung. Tiba di Cijantung sekitar jam 9 malam. Di sana Iyan dan Aush, kakak saya sudah menunggu di rumah Asih, kakak tertua. Saya langsung menuju asrama haji Pondok Gede untuk memastikan wafatnya Apa. Tiba di atas, langsung melihat para jemaah yang wafat hari itu. "Degh....!" mata langsung tertumbuk pada nama EMAN SULAEMAN! Nama Apa, saya terdiam. Tak bisa berkata apapun. Tapi, dalam hati tetap tidak percaya, dan yakin. Seyakin-yakinnya Apa masih hidup!
Beliau mungkin memang wafat, tapi karena saya tidak pernah melihat sosok tubuh jenazah dan tidak menguburkannya. Makanya, sampai sekarang saya tetap menganggap Apa masih hidup. Namun, di alam yang lain. Mungkin, saat saya menceritakan ini. Apa dan Emak melihat dari alam sana dengan penuh kebahagiaan. Amien...!
Sawah, Gasrok, Urek, Tutut, Urab Kacang Panjang...
1980
Saat melihat para petani yang sedang makan di sawah sekarang, seperti ada yang hilang. Mereka tidak lagi makan memakai daun atau piring seng. Bekal minuman mereka, bukan lagi memakai teko alumunium dan cangkir kaleng. Alas nasi mereka telah tergantikan dengan kertas nasi, yang praktis langsung di buang. Dan menjadi sampah anorganik yang tidak bisa dihancurkan oleh mikroorganisme. Botol plastik berisi air putih telah menggantikan teko alumunium dan seduhan teh panas. Capung-capung yang beraneka warna dan bentuk pun sepertinya telah punah. Burung bangau yang sesekali melintas di sawah masa lalu, pun telah tiada.
#teriring salam dan sujud pada Apa dan Emak...I miss you! TT
Pagi hari yang cerah, dinginnya udara yang menyelusup ke pori-pori kulit. Sedikit terhangatkan oleh sorot sinar mentari yang tersenyum genit. Di tengah hamparan sawah nan luas, dengan padi yang menghijau ranau. Atap langit biru dengan sapuan awan tipis serta tiupan angin halus menambah kesejukan pagi itu. Beberapa orang petani tampak duduk berkelompok, dengan pakaian sederhana seadanya. Teramat lusuh, dekil dan kotor oleh lumpur sawah. Mereka sungguh asyik masyuk, melahap santapannya di atas kertas nasi dengan botol aqua plastik di sampingya. Suap demi sesuai nasi yang dimasukkan ke dalam mulut, benar-benar dinikmati dengan penuh syukur.
Melihat kenikmatan makan di tengah sawah, dengan duduk di atas pematangnya. Mengingatkan pengalaman masa kecil dulu bersama Bapak dan Emak.
Pada saat masa menyiangi padi (Sunda: Ngagasrok, Ngarambet). Seringkali diajak oleh Bapak pergi ke sawah dan sedikit membantunya. Beriringan mengikuti langkah Bapak. Sama-sama di atas bahu digantungkan gasrok, yaitu sebuah alat yang keseluruhannya terbuat dari kayu; panjang gagangnya sekitar 1,5-2 meter, yang diujungnya dipasang kayu berukuran 20x30x5 cm yang dibuat sedemikian rupa sehingga paku-paku yang dibengkokan bisa ditancapkan di bagian bawahnya untuk "menggaruk" sekaligus "menarik" gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi.
Tidak seperti anak-anak sekarang yang menganggap lumpur sawah itu kotor. Saya, justru paling suka bermain lumpur di sawah dengan gasrok. Bila, terlalu bosan dan letih. Sambil beristirahat, mencari belut dengan sebuah alat yang disebut "urek". Urek, alat untuk memancing belut, terbuat dari senar yang dianyam, dengan ujungnya terbuat dari peniti yang dibengkokan atau kail yang diberi umpan cacing.
Kadang sambil menunggu ayah selesai menggasrok sawah. Berburu menangkap capung yang waktu itu sangat banyak jenis dan warnanya adalah aktifitas lain yang dilakukan. Sekarang baru, ngeh. Ternyata di sawah sekarang sudah sangat jarang ditemukan capung. Mencari tutut, atau keong sawah adalah permainan lain yang mengasyikkan. Tutut tersebut, saat tiba di rumah menjadi santapan bersama dengan bumbu kunyit, warna kuning yang gurih. "Mainan" lain yang cukup mengasyikkan adalah mengoleksi serangga sebangsa kepik, juga jenis dan warnanya beraneka ragam. Pun sama, kepik yang dimaksud sepertinya sudah tidak ditemukan di sawah-sawah.
Sengatan panas matahari yang terik, tidak menjadikan takut kulit menjadi hitam. Matahari justru dijadikan sahabat sebagai alat untuk menentukan kapan waktu istirahat, waktu pulang dan waktu sholat. Emak, yang datang sekitar jam 8-9 pagi datang belakangan ke "kantor" Bapak. Kepalanya ditutup dengan "samping kebat" atau kain panjang yang warna merah dengan motif burung merak. Di bahu Emak, tersangkut juga sebuah kain panjang. Di tengah-tengsh kain di atas punggung, tersangkut bakul nasi dari anyaman bambu, (Sunda: Boboko) yang ditutupi daun pisang yang sudah dipanaskan sehingga mudah dibentuk dan lentur. Tidak keras seperti saat basah.
Tangan kiri Emak membawa teko air dari alumunium yang ujungnya juga ditutup daun pisang yang dikerucutkan dilubang air, sehingga air di dalam teko akan tetap panas. Biasanya air teh tubruk, bukan teh celup seperti sekarang. Di leher teko, tersangkut telinga 2 cangkir kaleng untuk minumnya. Di tangan kanan Emak, susunan rantang yang berisi lauk pauk. Biasanya terdiri dari goreng jengkol, sambal goreng terasi, ikan pindang deles yang digoreng dengan telur, serta makanan wajib yang super nikmat "urab kacang panjang". Masakan Emak, walaupun sederhana tapi sangat lezat dan sedap.
Kalau Emak, sudah tampak dari kejauhan. Bergegas saya berlari-lari kecil, di atas pematang sawah. Dengan ujung ibu jari kaki yang ditancapkan ke atas tanah agar tidak licin. Baju kemeja dekil yang kekecilan, berkibar-kibar di bagian perut karena kancingnya sebagian sudap tiada. Dalam hati, langsung bersorak, asyik makan! Bapak, yang sedang menggasrok pun. Segera menghentikan "mainan" gasroknya sejenak. Langsung menuju ke pematang sawah, dimana Emak sudah mempersiapkan makan.
Waktu makan normal di sawah adalah jam 8-9 pagi. Masih pagi memang sepertinya tapi menurut perkiraan waktu dan kebiasaan petani. Itu adalah titik optimal bekerja, karena beratnya kerja di sawah. Lapar bisa dikatakan sudah di puncak ubun-ubun. Nanti, sekitar jam 10-11 pagi. Emak akan menyuruh Kakak perempuan, mengantarkan kopi dan makanan ringan.
Setelah mencuci tangan di selokan yang mengalir di pinggiran pematang. Bapak dan saya langsung menyikat habis makanan yang disuguhkan Emak. Cukup dialasi daun pisang atau piring seng, duduk di atas pematang sawah. Di bawah terik matahari dan tiupan angin segar. Tapi nikmatnya makan di sawah seperti itu, selalu terbayangkan sampai saat ini.
Masih terasa, harum dan gurihnya urab kacang panjang buatan Emak di lidah. Bahkan, seringkali saya meminta istri untuk membuat masakan urab kacang panjang seperti itu. Tapi, tetap tidak menemukan rasa yang tepat. Sambel goreng terasi buatan Emak juga sangat sedap. Pedas dan manisnya pas, sehinga goreng jengkol yang telah dipotong kecil2 dengan lancarnya masuk ke dalam mulut. Dengan susulan suapan nasi panas-panas dari jemari. Ikan pindang deles goreng yang dibalut telur menjadi sajian tersendiri yang menambah kenikmatan makan.
Dengan setia dan telaten, Emak menambahkan nasi bila Bapak atau saya masih lapar. Emak, menuangkan teh panas dari teko ke dalam cangkir kaleng yang catnya sudah codet di sana sini. Harum, tercium dari uap panas teh tersebut. Saat meminumnya, Subhanallah...ibaratnya minuman dari surgalah yang diberikan oleh Emak. Padahal cuma teh tubruk panas cap Poci. Sesekali, Emak dan Bapak membahas obrolan ringan perkara sawah, padi, hama, irigasi dan sejenisnya yang waktu itu tidak saya mengerti.
Dengan setia dan telaten, Emak menambahkan nasi bila Bapak atau saya masih lapar. Emak, menuangkan teh panas dari teko ke dalam cangkir kaleng yang catnya sudah codet di sana sini. Harum, tercium dari uap panas teh tersebut. Saat meminumnya, Subhanallah...ibaratnya minuman dari surgalah yang diberikan oleh Emak. Padahal cuma teh tubruk panas cap Poci. Sesekali, Emak dan Bapak membahas obrolan ringan perkara sawah, padi, hama, irigasi dan sejenisnya yang waktu itu tidak saya mengerti.
Saat melihat para petani yang sedang makan di sawah sekarang, seperti ada yang hilang. Mereka tidak lagi makan memakai daun atau piring seng. Bekal minuman mereka, bukan lagi memakai teko alumunium dan cangkir kaleng. Alas nasi mereka telah tergantikan dengan kertas nasi, yang praktis langsung di buang. Dan menjadi sampah anorganik yang tidak bisa dihancurkan oleh mikroorganisme. Botol plastik berisi air putih telah menggantikan teko alumunium dan seduhan teh panas. Capung-capung yang beraneka warna dan bentuk pun sepertinya telah punah. Burung bangau yang sesekali melintas di sawah masa lalu, pun telah tiada.
#teriring salam dan sujud pada Apa dan Emak...I miss you! TT
Wednesday, January 2, 2013
Tukang Cuci Mobil Menghajikan Orangtuanya
Tukang Cuci Mobil Menghajikan Orangtuanya
Saat mengayuh pedal ke Puncak Darajat beberapa waktu lalu, seperti biasanya kami mengobrol dan berbagi pengalaman. Cerita suka duka hidup yang pernah dialami dan sangat membekas dalam ingatan masing-masing. Satu dari teman kami menceritakan pengalaman pribadinya.
"Sampai sekarang, dalam ingatan saya tersimpan kenangan kepahitan masa lalu. Alhamdulillah, masa-masa yang penuh perjuangan hidup itu telah berlalu," ujar Mang Budi, mulai bercerita. Kalimat yang mengalir di sela deru nafas yang teratur. Tidak ngos-ngosan, tidak terlihat lelah karena latihan demi latihan dinikmati dengan gear seringan mungkin. Menggunakan power seminimal mungkin, mengandalkan putaran kaki seringan mungkin. Lambat memang, tapi praktis jadi berhemat tenaga.
"Semasa sekolah dulu, masa remaja saya tidak sebahagia dan seceria seperti remaja lain. Bapak saya, seorang sopir omprengan. Penghasilan beliau tidak menentu. Kadang jadi sopir truk, sopir angkot atau sopir truk sayur. Bahkan, seringkali karena tidak kebagian shift Bapak harus menganggur satu bahkan sampai dua bulan." Mang Budi melanjutkan ceritanya, dia menjejeri saya.
"Emak saya, pekerjaannya tukang bersih-bersih di sebuah puskesmas. Tugas Emak adalah menyapu, membersihkan dan mengepel lantai puskesmas. Penghasilan Emak saya, tidak jauh berbeda dengan penghasilan Bapak. Tidak mencukupi untuk biaya keperluan makan apalah untuk membiayai sekolah saya. Akibatnya, bukan sebulan, dua bulan bahkan tiga bulan. Seringkali saya harus menunggak biaya sekolah, karena Bapak dan Emak tidak mempunyai cukup uang untuk membayar SPP sekolah." Mang Budi, nada suaranya bergetar. Namun, dia tetap berusaha tersenyum di sela-sela untaian kalimat-kalimat bernada pahit yang pernah menjadi bagian keseharian kehidupan masa lalunya.
Mang Budi, sekarang sudah menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan pembangkit listrik asing dengan gaji lebih dari cukup.
"Waktu itu, untuk membantu meringankan beban orangtua. Saya menjadi buruh cuci mobil di sebuah pemandian mobil. Atau bahkan, untuk menghemat ongkos. Seringkali saya harus berjalan kaki pulang ke rumah dari sekolah yang berjarak hampir 15 km. Mulut kering karena haus, dan perut yang lapar karena belum makan seharian, menjadi tantangan tersendiri saat harus pulang berjalan kaki. Tiba di rumah, saat adzan magrib berkumandang." Mang Budi, katanya yang dulu tubuhnya kurus kering karena kurang gizi. Berkulit hitam karena terbakar matahari. Sekarang, sudah bertubuh subur, berkulit putih lengkap dengan janggut yang dibiarkan tumbuh subur menutupi dagunya.
"Setiap hari, saat saya berangkat atau pulang sekolah. Saat melewati Puskesmas tempat Emak bekerja Hati dan batin saya seperti diiris-iris sembilu. Perih. Saat melihat Emak sedang menyapu atau mengepel lantai Puskesmas. Seringkali saya harus menahan mata yang berembun saat melihatnya. Telapak tangan seringkali mengusap butiran air mata yang mendadak keluar saat melihat perjuangan Emak demi menafkahi dapur dan membiayai sekolah saya. Terbersit rasa malu, rasa bersalah dan ingin berhenti sekolah. Karena telah merepotkan Emak. Tapi, hati kecil berkata lain. Saya harus sekolah, dan harus berhasil mengubah nasib dan keadaan." Saya, tidak bisa melihat mata Mang Budi mengembun, terbawa emosi. Karena terhalang kacamata hitamnya. Tapi dari nadanya yang papan dan penuh perasaan dapat dirasakan.
"Alhamdulillah, walaupun susah payah karena tidak ada biaya, saya bahkan hampir drop out. Namun dengan segala kepahitan, menahan rasa malu oleh sekolah, oleh guru dan oleh teman-teman karena terlalu sering menunggak iuran sekolah. Perjuangan karena harus menahan dahaga dan lapar karena tidak punya uang untuk jajan. Akhirnya, saya bisa menyelesaikan sekolah saya di sebuah STM. Berkah dari rasa sayang, rasa hormat dan perjuangan keras Bapak dan Emak saya, juga hasil kerja keras nyambi sebagai buruh cuci mobil untuk membantu membayar iuran sekolah. Alhamdulillah, akhirnya setelah lulus saya bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan Amerika waktu itu (sekarang milik China)."
"Dengan gaji yang waktu itu tidak seberapa. Setelah beberapa tahun kemudian saya menikah dan membuka warung kecil-kecilan. Alhamdulillah, warungnya maju pesat. Setiap ada kelebihan, saya menabung. Sedikit demi sedikit, akhirnya uang terkumpul cukup untuk membalas budi baik Bapak dan Emak saya. Jujur saya akui, saya tidak pernah membeli sesuatu yang tidak penting-penting banget. Kalaupun harus membeli barang yang diperlukan, saya membeli sesuai dengan uang yang ada. Saya, tidak ingin terjerat riba dengan bank. Akhirnya saat yang dinantikan tiba. Uang tabungan saya cukup untuk menghajikan Bapak dan Emak. Saat saya utarakan maksud saya kepada mereka berdua. Bapak dan Emak saya tidak berkata apapun. Hanya pelukan erat dan tangis mereka, sebagai ungkapan terima kasih. Saya balas peluk erat mereka, terbayang saat Emak sedang mengepel lantai Puskesmas setiap saya berangkat. Alhamdulillah, saat itu saya melihat Emak dan Bapak saya bisa tersenyum bahagia!" Mang Budi mengakhiri ceritanya, saat kami tiba di penghabisan tanjakan Toblong, Darajat...
Saat mengayuh pedal ke Puncak Darajat beberapa waktu lalu, seperti biasanya kami mengobrol dan berbagi pengalaman. Cerita suka duka hidup yang pernah dialami dan sangat membekas dalam ingatan masing-masing. Satu dari teman kami menceritakan pengalaman pribadinya.
"Sampai sekarang, dalam ingatan saya tersimpan kenangan kepahitan masa lalu. Alhamdulillah, masa-masa yang penuh perjuangan hidup itu telah berlalu," ujar Mang Budi, mulai bercerita. Kalimat yang mengalir di sela deru nafas yang teratur. Tidak ngos-ngosan, tidak terlihat lelah karena latihan demi latihan dinikmati dengan gear seringan mungkin. Menggunakan power seminimal mungkin, mengandalkan putaran kaki seringan mungkin. Lambat memang, tapi praktis jadi berhemat tenaga.
"Semasa sekolah dulu, masa remaja saya tidak sebahagia dan seceria seperti remaja lain. Bapak saya, seorang sopir omprengan. Penghasilan beliau tidak menentu. Kadang jadi sopir truk, sopir angkot atau sopir truk sayur. Bahkan, seringkali karena tidak kebagian shift Bapak harus menganggur satu bahkan sampai dua bulan." Mang Budi melanjutkan ceritanya, dia menjejeri saya.
"Emak saya, pekerjaannya tukang bersih-bersih di sebuah puskesmas. Tugas Emak adalah menyapu, membersihkan dan mengepel lantai puskesmas. Penghasilan Emak saya, tidak jauh berbeda dengan penghasilan Bapak. Tidak mencukupi untuk biaya keperluan makan apalah untuk membiayai sekolah saya. Akibatnya, bukan sebulan, dua bulan bahkan tiga bulan. Seringkali saya harus menunggak biaya sekolah, karena Bapak dan Emak tidak mempunyai cukup uang untuk membayar SPP sekolah." Mang Budi, nada suaranya bergetar. Namun, dia tetap berusaha tersenyum di sela-sela untaian kalimat-kalimat bernada pahit yang pernah menjadi bagian keseharian kehidupan masa lalunya.
Mang Budi, sekarang sudah menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan pembangkit listrik asing dengan gaji lebih dari cukup.
"Waktu itu, untuk membantu meringankan beban orangtua. Saya menjadi buruh cuci mobil di sebuah pemandian mobil. Atau bahkan, untuk menghemat ongkos. Seringkali saya harus berjalan kaki pulang ke rumah dari sekolah yang berjarak hampir 15 km. Mulut kering karena haus, dan perut yang lapar karena belum makan seharian, menjadi tantangan tersendiri saat harus pulang berjalan kaki. Tiba di rumah, saat adzan magrib berkumandang." Mang Budi, katanya yang dulu tubuhnya kurus kering karena kurang gizi. Berkulit hitam karena terbakar matahari. Sekarang, sudah bertubuh subur, berkulit putih lengkap dengan janggut yang dibiarkan tumbuh subur menutupi dagunya.
"Setiap hari, saat saya berangkat atau pulang sekolah. Saat melewati Puskesmas tempat Emak bekerja Hati dan batin saya seperti diiris-iris sembilu. Perih. Saat melihat Emak sedang menyapu atau mengepel lantai Puskesmas. Seringkali saya harus menahan mata yang berembun saat melihatnya. Telapak tangan seringkali mengusap butiran air mata yang mendadak keluar saat melihat perjuangan Emak demi menafkahi dapur dan membiayai sekolah saya. Terbersit rasa malu, rasa bersalah dan ingin berhenti sekolah. Karena telah merepotkan Emak. Tapi, hati kecil berkata lain. Saya harus sekolah, dan harus berhasil mengubah nasib dan keadaan." Saya, tidak bisa melihat mata Mang Budi mengembun, terbawa emosi. Karena terhalang kacamata hitamnya. Tapi dari nadanya yang papan dan penuh perasaan dapat dirasakan.
"Alhamdulillah, walaupun susah payah karena tidak ada biaya, saya bahkan hampir drop out. Namun dengan segala kepahitan, menahan rasa malu oleh sekolah, oleh guru dan oleh teman-teman karena terlalu sering menunggak iuran sekolah. Perjuangan karena harus menahan dahaga dan lapar karena tidak punya uang untuk jajan. Akhirnya, saya bisa menyelesaikan sekolah saya di sebuah STM. Berkah dari rasa sayang, rasa hormat dan perjuangan keras Bapak dan Emak saya, juga hasil kerja keras nyambi sebagai buruh cuci mobil untuk membantu membayar iuran sekolah. Alhamdulillah, akhirnya setelah lulus saya bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan Amerika waktu itu (sekarang milik China)."
"Dengan gaji yang waktu itu tidak seberapa. Setelah beberapa tahun kemudian saya menikah dan membuka warung kecil-kecilan. Alhamdulillah, warungnya maju pesat. Setiap ada kelebihan, saya menabung. Sedikit demi sedikit, akhirnya uang terkumpul cukup untuk membalas budi baik Bapak dan Emak saya. Jujur saya akui, saya tidak pernah membeli sesuatu yang tidak penting-penting banget. Kalaupun harus membeli barang yang diperlukan, saya membeli sesuai dengan uang yang ada. Saya, tidak ingin terjerat riba dengan bank. Akhirnya saat yang dinantikan tiba. Uang tabungan saya cukup untuk menghajikan Bapak dan Emak. Saat saya utarakan maksud saya kepada mereka berdua. Bapak dan Emak saya tidak berkata apapun. Hanya pelukan erat dan tangis mereka, sebagai ungkapan terima kasih. Saya balas peluk erat mereka, terbayang saat Emak sedang mengepel lantai Puskesmas setiap saya berangkat. Alhamdulillah, saat itu saya melihat Emak dan Bapak saya bisa tersenyum bahagia!" Mang Budi mengakhiri ceritanya, saat kami tiba di penghabisan tanjakan Toblong, Darajat...
Subscribe to:
Posts (Atom)