Tukang Cuci Mobil Menghajikan Orangtuanya
Saat mengayuh pedal ke Puncak Darajat beberapa waktu lalu, seperti biasanya kami mengobrol dan berbagi pengalaman. Cerita suka duka hidup yang pernah dialami dan sangat membekas dalam ingatan masing-masing. Satu dari teman kami menceritakan pengalaman pribadinya.
"Sampai sekarang, dalam ingatan saya tersimpan kenangan kepahitan masa lalu. Alhamdulillah, masa-masa yang penuh perjuangan hidup itu telah berlalu," ujar Mang Budi, mulai bercerita. Kalimat yang mengalir di sela deru nafas yang teratur. Tidak ngos-ngosan, tidak terlihat lelah karena latihan demi latihan dinikmati dengan gear seringan mungkin. Menggunakan power seminimal mungkin, mengandalkan putaran kaki seringan mungkin. Lambat memang, tapi praktis jadi berhemat tenaga.
"Semasa sekolah dulu, masa remaja saya tidak sebahagia dan seceria seperti remaja lain. Bapak saya, seorang sopir omprengan. Penghasilan beliau tidak menentu. Kadang jadi sopir truk, sopir angkot atau sopir truk sayur. Bahkan, seringkali karena tidak kebagian shift Bapak harus menganggur satu bahkan sampai dua bulan." Mang Budi melanjutkan ceritanya, dia menjejeri saya.
"Emak saya, pekerjaannya tukang bersih-bersih di sebuah puskesmas. Tugas Emak adalah menyapu, membersihkan dan mengepel lantai puskesmas. Penghasilan Emak saya, tidak jauh berbeda dengan penghasilan Bapak. Tidak mencukupi untuk biaya keperluan makan apalah untuk membiayai sekolah saya. Akibatnya, bukan sebulan, dua bulan bahkan tiga bulan. Seringkali saya harus menunggak biaya sekolah, karena Bapak dan Emak tidak mempunyai cukup uang untuk membayar SPP sekolah." Mang Budi, nada suaranya bergetar. Namun, dia tetap berusaha tersenyum di sela-sela untaian kalimat-kalimat bernada pahit yang pernah menjadi bagian keseharian kehidupan masa lalunya.
Mang Budi, sekarang sudah menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan pembangkit listrik asing dengan gaji lebih dari cukup.
"Waktu itu, untuk membantu meringankan beban orangtua. Saya menjadi buruh cuci mobil di sebuah pemandian mobil. Atau bahkan, untuk menghemat ongkos. Seringkali saya harus berjalan kaki pulang ke rumah dari sekolah yang berjarak hampir 15 km. Mulut kering karena haus, dan perut yang lapar karena belum makan seharian, menjadi tantangan tersendiri saat harus pulang berjalan kaki. Tiba di rumah, saat adzan magrib berkumandang." Mang Budi, katanya yang dulu tubuhnya kurus kering karena kurang gizi. Berkulit hitam karena terbakar matahari. Sekarang, sudah bertubuh subur, berkulit putih lengkap dengan janggut yang dibiarkan tumbuh subur menutupi dagunya.
"Setiap hari, saat saya berangkat atau pulang sekolah. Saat melewati Puskesmas tempat Emak bekerja Hati dan batin saya seperti diiris-iris sembilu. Perih. Saat melihat Emak sedang menyapu atau mengepel lantai Puskesmas. Seringkali saya harus menahan mata yang berembun saat melihatnya. Telapak tangan seringkali mengusap butiran air mata yang mendadak keluar saat melihat perjuangan Emak demi menafkahi dapur dan membiayai sekolah saya. Terbersit rasa malu, rasa bersalah dan ingin berhenti sekolah. Karena telah merepotkan Emak. Tapi, hati kecil berkata lain. Saya harus sekolah, dan harus berhasil mengubah nasib dan keadaan." Saya, tidak bisa melihat mata Mang Budi mengembun, terbawa emosi. Karena terhalang kacamata hitamnya. Tapi dari nadanya yang papan dan penuh perasaan dapat dirasakan.
"Alhamdulillah, walaupun susah payah karena tidak ada biaya, saya bahkan hampir drop out. Namun dengan segala kepahitan, menahan rasa malu oleh sekolah, oleh guru dan oleh teman-teman karena terlalu sering menunggak iuran sekolah. Perjuangan karena harus menahan dahaga dan lapar karena tidak punya uang untuk jajan. Akhirnya, saya bisa menyelesaikan sekolah saya di sebuah STM. Berkah dari rasa sayang, rasa hormat dan perjuangan keras Bapak dan Emak saya, juga hasil kerja keras nyambi sebagai buruh cuci mobil untuk membantu membayar iuran sekolah. Alhamdulillah, akhirnya setelah lulus saya bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan Amerika waktu itu (sekarang milik China)."
"Dengan gaji yang waktu itu tidak seberapa. Setelah beberapa tahun kemudian saya menikah dan membuka warung kecil-kecilan. Alhamdulillah, warungnya maju pesat. Setiap ada kelebihan, saya menabung. Sedikit demi sedikit, akhirnya uang terkumpul cukup untuk membalas budi baik Bapak dan Emak saya. Jujur saya akui, saya tidak pernah membeli sesuatu yang tidak penting-penting banget. Kalaupun harus membeli barang yang diperlukan, saya membeli sesuai dengan uang yang ada. Saya, tidak ingin terjerat riba dengan bank. Akhirnya saat yang dinantikan tiba. Uang tabungan saya cukup untuk menghajikan Bapak dan Emak. Saat saya utarakan maksud saya kepada mereka berdua. Bapak dan Emak saya tidak berkata apapun. Hanya pelukan erat dan tangis mereka, sebagai ungkapan terima kasih. Saya balas peluk erat mereka, terbayang saat Emak sedang mengepel lantai Puskesmas setiap saya berangkat. Alhamdulillah, saat itu saya melihat Emak dan Bapak saya bisa tersenyum bahagia!" Mang Budi mengakhiri ceritanya, saat kami tiba di penghabisan tanjakan Toblong, Darajat...
No comments:
Post a Comment