1991
Sudah cita-cita dari sejak lama Apa (Bapak) dan Emak berangkat ke tanah suci Mekah. Menunaikan rukun Islam yang kelima. Biaya ongkos naik haji, diperoleh bukan dengan cara mudah. Tapi melalui pengorbanan yang tidak sedikit. Sawah tempat "ngantor" Apa, dan ladang tempat mendapatkan makan sehari-hari dan biaya sekolah kami kudu berpindah tangan. Karena, dijadikan areal industri.
Uang hasil penjualan sawah, cukup untuk ongkos naik haji Apa dan Emak berdua. Mereka berdua langsung daftar berangkat haji melalui pesantren Albidayah di Cangkorah yang waktu itu dipimpin oleh Pa Kiai Yayat. Berdua setiap Sabtu Apa dan Emak, latihan manasik haji di pesantren tersebut. Senyum cerah, selalu terpancar dari bibir Apa dan Emak. Mungkin, sudah membayangkan akan nikmatnya beribadah di tanah suci.
Hampir setiap saat, selepas sholat atau setiap waktu luang. Apa dan Emak, membaca buku tuntunan manasik haji dari Departemen Agama. Sebuah buku kecil, namun cukup tebal berisi doa dan ritual selama ibadah haji. Sambil duduk di teras rumah atau duduk di kursi meja makan, mereka berdua menghapalkan doa-doa manasik bersama-sama. Kadang-kadang, Emak dituntun oleh Apa untuk menghapalkan satu doa yang cukup sulit dihapalkan. Penuh pengertian dan kesetiaan serta kesabaran yang amat sangat, Apa mengajari Emak membaca doa-doa manasik tersebut. Bila, salah atau sulit mengucapkan. Emak dan Apa tertawa berdua...
Saya dan Asep, adik saya yang masih tinggal di rumah. Sementara kelima Kakak sudah jauh merantau. Kakak kesatu, keempat dan kelima di Jakarta, sedangkan kakak kedua dan ketiga masih di Batujajar. Masih teringat, Apa setiap malam bertahajud dan berdzikir. Bila, adzan shubuh, terdengar suara kunci dan handle pintu yang terbuka. Menandakan Apa pergi ke mesjid. Saat terbangun, Apa sudah duduk di atas kursi meja makan. Tampak, kopi buatan Emak mengepul asapnya. Harum, maklum kopi asli buatan Emak sendiri. Dipetik dari belakang rumah, dijemur, digarang dan ditumbuk halus, dan disaring sendiri oleh Emak. Sambil menikmati sepiring ubi rebus. Apa memegang buku manasik haji, dengan kacamata yang selalu bertengger di atas hidungnya bila membaca.
Ada satu kebiasaan kurang baik yang hilang saat Apa akan berangkat haji. Alhamdulillah, Apa berhenti total dari kebiasaan merokoknya. Badannya terlihat sangat segar, wajahnya putih bersinar. Kumisnya dicukur habis, dengan tahi lalat di sudut bibir kanan. Ciri khas Apa, tahi lalat itu. Kebalikan dari saya, tahi lalat terletak di sudut kiri bibir. Setiap pagi, selesai mutolaah membaca buku manasik. Apa berkeliling, jalan pagi-pagi. "Latihan, Sa'i dan Melempar jumroh. Sekalian memohon maaf, doa restu dari seluruh kampung!", ujarnya.
Ya, Apa sebelum berangkat haji. Berdua dengan Emak, sambil berolah raga pagi memakai training. Berkeliling ke tetangga dan orang2 di kampung untuk meminta maaf dan memohon doa restu mereka. Kebalikan dengan kebiasaan orang-orang sekarang, dengan istilah "Walimatul Safar". Orang-orang kampung dan tetangga dekat yang kudu datang bertandang ke tempat orang yang akan berangkat haji. Terkadang sambil membekali amplop berisi sejumlah uang untuk orang yang akan berangkat haji tersebut. Aneh! Padahal sebaiknya, orang yang akan berangkat haji yang berkeliling kampung sambil bersilaturahmi dan berolah raga meminta maaf ke para tetangganya. Sambil, melihat adakah tetangganya yang masih kelaparan atau tidak.
Man propose, God disposses. Manusia berencana, Tuhan menentukan.
Makin mendekati hari H keberangkatan. Seperti biasa, semua calon jemaah haji. Kudu diperiksa kesehatannya. Hasil pemeriksaan, ternyata Emak menderita kencing manis. Kondisi Ibunda langsung drop. Bahkan beberapa kali dirawat di RS Asadyra. Apa, terlihat sangat "down" dengan kondisi Emak. Walaupun, disembunyikan pada saat menjenguk Emak di rumah sakit. Mata apa terlihat berair, beberapa kali beliau berusaha mengusap air matanya. Melihat kondisi Emak yang terbaring di atas ranjang.
Kesetiaan Tanpa Batas
"Pokoknya, Apa harus berangkat. Walaupun tanpa Emak!", kata Emak, sambil menangis.
"Masa, Apa tega berangkat sendiri. Sementara Emak di rumah sakit. Tenang aja Mak, Emak pasti sehat. Kita pasti berangkat bareng ke Mekah!", jawab Apa.
Emak beberapa kali, kondisinya mengali naik turun. Sampai pada hari H, dipastikan Apa dan Emak bisa berangkat bareng. Tapi, entah karena stress karena akan berangkat. Atau memang Tuhan berkehendak lain.
Pada saat adzan pemberangkatan yang dikumandangkan oleh seorang santri yang dibawa Buya (mertua dari Pesantren Keresek Cibatu Garut). Apa berdiri di pintu. Berpeci hitam, berbatik hitam putih. Selendang putih pemberian dari Buya tersangkut di lehernya. Seluruh warga kampung Babakansari, tumplek dan berbaris rapi di sepanjang jalan keberangkatan. Saat adzan berkumandang. Semuanya tak kuasa menahan tangis....
Betapa tidak, Apa yang tetap harus berangkat sendiri ke Mekah. Sementara Emak malah kembali harus masuk rumah sakit. Pada hari yang sama! Semuanya, merasakan kepedihan dan kesedihan kami sekeluarga. Yang ditinggal oleh mereka berdua, dengan kondisi dan tempat yang dituju berbeda pula. Saat Apa, berkeliling bersalaman sambil diiringi sholawat. Seluruh warga menangis, dan memeluk apa. Beliau memang orang baik, selalu ringan tangan menolong orang kampung dalam segala hal. Beliau sangat dekat dengan semua usia; kakek-nenek, tua-muda, bahkan anak-anak kampung semuanya dekat dengan Apa. Tak segan, anak-anak saling menggoda, dengan panggilan akrab Pak Eman!
Tiba di pesantren Albidayah, tempat pemberangkatan Apa menuju Pondok Gede, penginapan sementara calon jemaah haji. Carry putih Bang Randi (kakak ipar), dengan amat sangat terpaksa harus langsung menuju rumah sakit. Membawa Emak yang kondisinya sangat drop. Kami terpecah dua bagian, satu bagian mengantar Apa masuk ke dalam Bis. Apa tampak sangat terpukul, matanya tak henti berurai air mata! Berusaha melambaikan tangan, dengan senyum dipaksakan.
Pergi Tak Kembali
Dua minggu setelah keberangkatan Apa ke tanah suci. Kami bergantian, menunggui Emak di rumah sakit. Handphone belum ada waktu itu. Kalaupun ada masih berbentuk seperti radio PCB milik militer. Jadi kami belum pernah mendapatkan kabar dari Apa. Apa dan bagaimana keadaan beliau di Mekah. Emak, dalam sakitnya seringkali menanyakan Apa. Beliau seringkali menyesali diri. "Kenapa Emak mah, malah masuk rumah sakit? Bukannya ke Mekah?". Kami hanya bisa menangis...berusaha menghibur dengan segala cara dan meminta Emak untuk bersabar.
Karena harus bekerja, semua kakak saya harus kembali ke jakarta. Jadi Emak, akhirnya dibawa ke rumah kakak yang paling besar, Asih di Cijantung, Jakarta Timur. Dengan alasan biar mudah untuk dirawat dan dijaga kondisinya. Saya, istri dan adik saya bertugas menjaga rumah.
Siang terasa sangat panas, terik sekali waktu itu. Rasa gerah. Rumah seperti terasa sepi. Sementara, istri saya sedang menyuapi Danial. Anak pertama saya yang waktu itu baru berusia sekitar 8 bulan. Adik saya masih sekolah. Rumah, mendadak terasa sunyi. Sepi. Ada yang kosong dari jiga. Ada yang hilang. Entah kenapa. Tampak, 2 hari terakhir Kang Encep (kakak ipar) dan Kang Asep Arifin tetangga di depan rumah saya. Bolak-balik dan duduk di kursi depan rumah. Terdiam. Membisu seperti kebingungan. Karena sibuk, menunggui Emak, saya pun kurang memperhatikan hal itu.
Hari beranjak sore, keanehan dan rasa tidak enak mulai muncul saat Kang Asep Aripin (Daseng), Pak Elon dan Kang Encep bertandang ke rumah. Jantung tiba-tiba berdegup kencang. Sepertinya rasa tidak nyaman yang dirasakan sedari tadi pagi menjadi kenyataan. "Den, Enung, Asep...kudu sabar...!" Kang Asep memulai pembicaraan. Tapi, tidak berlanjut...matanya basah. Begitupun mata Kang Encep, mengucur dengan derasnya. Pak Elon yang waktu itu Ketua RT, akhirnya melanjutkan. "Jodo, pati, bagja, cilaka sudah digariskan oleh Allah SWT...sebenarnya ada kabar dari pesantren Cangkorah, ada jemaah haji yang wafat!"
"Dugh...!" jantung serasa terhenti. Tidak dilanjutkan pun saya sudah bisa menduga. Apa! Serasa disambar petir di siang bolong! Apa wafat! Benarkah? Ah, Masa??? Tidak Mungkin! Aneka perasaan berkecamuk dalam diri. Sementara Emak belum sembuh dari sakit, baru ditinggal ke Mekah. Ditambah sekarang ditinggal wafat! Allahu Akbar!
Berusaha menguatkan diri, tapi tetap tidak percaya. Saya tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh mereka bertiga. Namun, air mata dan kekosongan jiwa yang dirasakan tidak bisa membohongi diri sendiri. Saya tetap berusaha tabah. Istri, saya langsung menangis. Dia langsung menelepon Buya di Cibatu. Mengabarkan kabar buruk tersebut.
Magrib menjelang, suasana makin sepi. Buya dan Umi dari Cibatu sudah tiba. Saya dengan ditemani Pak Jaka dan Kang Encep langsung menuju Cijantung. Tiba di Cijantung sekitar jam 9 malam. Di sana Iyan dan Aush, kakak saya sudah menunggu di rumah Asih, kakak tertua. Saya langsung menuju asrama haji Pondok Gede untuk memastikan wafatnya Apa. Tiba di atas, langsung melihat para jemaah yang wafat hari itu. "Degh....!" mata langsung tertumbuk pada nama EMAN SULAEMAN! Nama Apa, saya terdiam. Tak bisa berkata apapun. Tapi, dalam hati tetap tidak percaya, dan yakin. Seyakin-yakinnya Apa masih hidup!
Beliau mungkin memang wafat, tapi karena saya tidak pernah melihat sosok tubuh jenazah dan tidak menguburkannya. Makanya, sampai sekarang saya tetap menganggap Apa masih hidup. Namun, di alam yang lain. Mungkin, saat saya menceritakan ini. Apa dan Emak melihat dari alam sana dengan penuh kebahagiaan. Amien...!
No comments:
Post a Comment