2010
Saat keluar dari pintu BIP, tampak seorang anak berusia 8 tahunan. Berdiri di atas trotoar. Tubuhnya kecil, kulitnya hitam. Bajunya yang putih tampah sudah kusam, dua buah kancingnya sudah tak tampak. Sehingga, bagian dada dan tonjolan tulang rusuk anak itu tampak terlihat. Bersendal jepit, yang juga sudah lusuh. Di depannya tampak pikulan bambu yang sudah menghitam dan mengkilat tanda sering dipakai. Di ujung pikulan itu tampak dua buah bakul.
Mata terus terpusat pada tingkah laku si anak. Sambil perlahan mendekatinya. Penuh keraguan dan penuh hati-hati anak itu, beberapa kali mencoba menawarkan dagangannya. Ternyata, setelah didekati. Anak itu menjual "cireng" mentah.
"Bu, cireng Bu...!", tawarnya pelan. Penuh harap. Tatapannya pasti menatap orang-orang yang lewat di depannya sambil menawarkan dagangannya. Tak seorang pun sepertinya, tertarik. Mereka yang ditawari bersikap tak acuh. Berjalan terus, lurus. Jangankan membeli, menoleh pun tidak. Kebanyakan, mereka hanya memberikan isyarat dengan tangannya. Bahwa, mereka tidak tertarik membelinya.
Tanpa putus asa, anak itu terus, mencoba menawarkan dagangannya. Tapi, tetap saja. Belum ada satu pun yang membeli dagangannya.
"Jang, jualan cireng ya?" tanya saya. Pura-pura tidak tahu.
"Muhun, mau beli Pak?" jawab anak itu dan balik bertanya. Menawarkan cirengnya
"Berapa satunya?", tanya saya lagi.
"Satunya tiga ribu lima ratus Pak" jawab anak itu. Matanya berbinar.
"Beli 2 buah ya!" kata saya sambil menyodorkan satu lembar uang dua puluh ribu rupiah.
Tangan anak itu, dengan cekatan mengambil kantong plastik dari dalam bakul. Kemudian memasukan dua buah cirengnya ke dalam kantong plastik itu. Disodorkannya bungkusan plastik itu ke tangan saya.
Sambil menerima lembaran uang dua puluh ribu, dia berkata : "Pak, nanti kalau mau digoreng cirengnya dipotong-potong dulu ya. Terus di tekan-tekan...agar minyaknya gak muncrat!"
"Sebentar ya Pak! Gak ada kembalian. Saya tukarkan dulu!" katanya.
"Udah gak usah...buat jajan kamu aja!" cegah saya kepada anak itu. Niat awal memang hanya ingin memberi tidak untuk membeli.
"Jangan Pak! Sebentar saya tukarkan dulu!" anak itu tanpa bisa dicegah. Kakinya yang kecil, melangkah cepat. Setengah berlari, menuju ke pedagang asesories. Menukarkan uang.
"Ini Pak, kembaliannya!", anak itu menyodorkan uang itu.
"Hush, kan tadi udah dibilang. Untuk jajan kamu aja ya!", paksa saya lagi.
"Maaf Pak, terima kasih...tapi saya bukan pengemis. Terima kasih ya Pak!" jawab anak itu tegas.
Buru-buru, pikulan bambunya diletakan di atas bahunya. Anak itu setengah berlari menuju jalan Aceh.
Saya, hanya bisa termangu. Si Cikal, mencoba mengejar anak itu. Tapi, tidak terkejar...
subhanallaah...
ReplyDeleteAslina mang....
DeleteHebat ya Om... di jaman sekarang masih ada anak seperti itu....
ReplyDeletedisaat dari kebanyakn anak bahkan dewasa meminta bahkan sampai memaksa...
Semoga menjadi orang sukses.. dan menjadi pemipin negeri ini..
Super hebat. Disaat banyak orang segar bugar jadi pengemis. Anak ini yakin akan prinsipnya
Delete