Walaupun badan kurang segar karena kurang tidur akibat, AC kamar yang rusak. Jam 04.00 pagi terbangun dan langsung mandi. Sepintas memegang pakaian yang kemarin dicuci. Tidak kering memang tapi cukup untuk dimasukan tas sehingga tidak berbau. Pukul 05.00 sarapan sudah disiapkan berupa nasi bungkus berisi nasi kuning. Lengkap dengan telur rebus bumbu rendang dan tempe goreng bumbu pedas. Mengingat perjalanan yang masih jauh. Tidak berani memakan makanan yang pedas. Telur rebus hanya dimakan bagian dalamnya saja yang tidak pedas. Sedangkan tempe gorengnya yang super pedas, tidak disentuh sedikitpun.
Pukul 06.00 rombongan
yang menginap di wisma Mecca harus kembali ke jalur kedatangan kemarin sejauh 3
km. Menjemput rombongan yang menginap di wisma lain. Setelah peregangan
dan berdoa bersama. Kelima puluh goweser bersemangat menuju ke tempat
Bupati, Kalimantan Selatan, Arifin Arpan. Tempat dimana kemarin salah
tempat finish!
Sambutan Bupati Tapin
sangat luar biasa, tidak hanya memasang spanduk selamat datang terhadap para
peserta jelajah. Tetapi para goweser dipersilakan untuk sarapan dengan
mencicipi makanan khas Tapin. Sangat senang sekali saat tiba di titik start
disuguhi sarapan berupa kuliner khas Banjar yaitu Lontong, nasi kuning,
pundut nasi dan bubur ayam serta telur jaruk.
Setelah acara
seremonial. Tim jelajah dengan ditemani lebih dari 20 pesepeda dari
beberapa komunitas pesepeda di Tapin kembali melaju menuju perbatasan kabupaten. Hawa
pagi itu terasa sejuk membuat tim jelajah sangat nyaman melaju
di jalan Trans-Kalimantan yang beraspal hotmix mulus. Di depan masih
Om Aris ditemani Om Ismet menjadi pembuka angin. Diikuti para Srikandi Teh Gia,
Indah, Amel, Endi, Yunengsih, Tika serta goweser pria mengayuh dengan putaran
tetap. Kecepatan masih sekitar 28-32 km/jam. Diantara para
Srikandi, tentunya Teh Gia yang paling senior selalu di depan. Mengingat
jam terbangnya jauh di atas Srikandi lainnya! Kalo kata Indah yang orang
betawi. Teh Gia mah kan udah Bangkotan!
Sebenarnya
pemandangan di sepanjang jalan cukup menyejukan karena berupa hamparan
sawah. Tapi karena konsentrasi penuh pada putaran kaki dan kecepatan yang
tetap. Sepertinya tidak semua bisa menikmati pemandangan tersebut. Di
Kandangan, ibu kota Hulu Sungai Selatan, peserta jelajah rehat sejenak. Untuk mencicipi
dodol asli Kandangan, penganan khas daerah setempat yang terbuat dari
ketan. Rasanya terlalu amat sangat manis. Jadi kurang suka.
Saat sedang gowes
asyik masyuk di jalan mendatar dengan kayuhan yang pasti. Om Imam
sepertinya mulai kelelahan. Terpaksa disalip, sambil pamit: “Om Imam, aku
duluan ya!”. Tak sampai 30 detik saya menyusul Om Imam tadi.
Tiba-tiba teman di belakang saya. Entah siapa. Berteriak. Ada yang jatuh!
Tadinya mau berhenti. Tapi yang lain berteriak lanjut saja. Biarkan
ada tim medis di belakang! Tim jelajah terus melaju. Perasaan harap-harap
cemas, dan tidak nyaman. Menghantui tim jelajah. Semua terdiam.
Tidak ada celetukan apapun. Khawatir terjadi sesuatu dengan teman yang jatuh
tadi. Menurut informasi yang jatuh Om Imam yang coba didorong oleh Om
Putra Daulay. Entah bagaimana kejadiannya mereka berdua jadi terjatuh.
Sebenarnya di etape
kedua ini rombongan sempat dibarengi Bupati dan Wakil Bupati Tapin
serta komunitas hingga di perbatasan Kota Tapin. Tapi keikutsertaan Bupadi
dan Wakil Bupati justru membuat kecepatan tim jelajah jadi bawah kecepatan
rata-rata jelajah yaitu 25-35 km/jam. Tuan rumah mengantarkan
rombongan hingga km 15. Rombongan lalu rehat sejenak di SPBU untuk
member kesempatan buang air kecil, setelah itu perjalaman pun
dilanjutkan di tengah udara yang tidak terlalu panas dan jalan yang cukup
rata.
Di km 70, Om
Heru dan Om Santa menyerah dan masuk mobil evakuasi. Mungkin karena
kelelahan karena kecepatan ditarik oleh Om Aris sampai 32 km/jam (Om
Aris bilang bahkan di pedometernya sampai 35 km/jam!). Biar tidak membosankan,
ujar Om Aris dan Om Marta lagi. Untuk goweser yang tak terbiasa
dengan kecepatan tinggi dan tidak menggunakan cadence atau malah
menggunakan power justru akan membuat napas ngos-ngosan. Mangap!
Untuk menghibur dan
supaya tidak membosankan di jalur rolling dan flat seperti itu. Om Marta
Mufreni sang pelatih. Dengan sepeda single gear-nya beberapa kali
melakukan aksi akrobat. Jumping dan interval sambil melakukan aksi bunny
hop di samping kiri jalan yang tidak rata dan banyak lubangnya. Aksi Om
Marta cukup menghibur, dan membuat tim jelajah bersorak ceria! Sempat
terpikir aksi Sarimin yang pergi ke pasar naik sepeda sambil bawa payung.
Untunglah Om Marta melakukan aksinya tidak sambil bawa payung juga! :p
Cuaca siang yang
mendung sangat membantu peserta dalam melahap rolling di sisa rute
sebelum makan siang di Wong Solo, Balangan. Rumah makan yang katanya di
Jakarta sudah banyak yang tutup karena diboikot oleh ibu-ibu yang anti poligami
tersebut pelayanannya kurang sreg. Saat tiba, air mati, listrik mati
juga. Bahkan, untuk sholat di mushola tidak ada sarung! Padahal sudah
meminta kepada pelayan rumah makan sampai 4 kali! Untunglah Om Endang,
bawa sarung. Jadi bisa ngerental untuk sholat dhuhur. Walaupun
harus antri cukup panjang. Untuk wudhu, karena air tidak
mengalir. Om Endang dengan ikhlas mengangkat botol gallon aqua yang
berisi air refill agar yang lain bisa berwudhu.
Setelah melahap menu
makan siang, sempat menemui Om Putra yang terjatuh tadi di luar sisi kiri rumah
makan. Om Abeng, sedang menasihati Om Putra agar dioperasi saja, karena
menurut hasil rontgen bahu kanan Om Putra patah. Hanya bisa mengucapkan
turut prihatin, dan berdoa semoga lekas sembuh. Om Putra tampak sangat
terpukul, mata dan mukanya tampak bengkak. Ada luka gores di matanya.
Bertelanjang, tangan kanannya digendong dengan holder kain biru.
Sepertinya dia menahan rasa sakit.
Setelah menemui Om
Putra, langsung menemui Om Imam. Kondisinya tidak jauh berbeda, walaupun tidak
separah Om Putra. Sepertinya Om Imam juga sangat terpukul dengan kejadian
tabrakan tadi. Dadanya dibalut plester. “Sakit di dada”, kata Om Imam.
Sekali lagi hanya bisa berdoa dan memberikan semangat!
Dalam dua hari tiga
rute jalur Kabupaten sudah dilewati oleh tim jelajah mulai dari
Tapin, Kandangan dan Balangan. Saat memasuk Balangan, mulai menikmati
gowesan karena jalur yang menanjak. Tetap dengan kayuhan ngicik.
Tidak menggunakan power. Banyak juga yang ngebut dan menyalib di
tanjakan tersebut. Tapi tidak terpancing, tetap dengan gowesan bawaan
dari Garut. Ngicik. Sesuai saran dan tauziah sang Road Captain Kang Coe
dan Abah Ush. Jangan terpancing di tanjakan! Tetap dalam putaran gaya
sendiri. Alhamdulillah, gak ada masalah. Cedera lutut yang
menghantui dietape pertama. Perlahan mulai hilang. Mulai percaya diri.
Tapi tetap tidak berani mengumbar tenaga. Harus tahu diri, selain karena
lulut pernah cedera juga baud hanger RD yang cuma nempel doang!
Jalur masih menanjak
saat tim jelajah menyelesaikan etape dua ini. Tanjakannya tidak terlalu
curam cenderung landai dan tidak terlalu curam seperti di Bandung atau
Garut. Tanjakannya masih relatif mudah bagi tim jelajah yang mayoritas
sudah kenyang makan asam garam. Mulusnya jalan mengakibatkan tim jelajah dapat
melewati tanjakan itu tanpa mengalami kesulitan sedikitpun. Kecuali untuk
beberapa srikandi dan yang berat badannya terlalu maxi mereka kudu didorong
oleh para Marshal yang lumayan cukup kerepotan mendorong mereka. Di
etape ini yang dievakuasi tetap dua orang tapi dengan orang yang berbeda.
Karena Om Santa kembali gowes selepas makan siang. Digantikan oleh tante Endi
yang harus evakuasi karena lecet ….
Setelah hampir 9 jam
lebih mengayuh pedal dari Kabupaten Tapin. Akhirnya kelima puluh tim
jelajah tiba di kabupaten terujung Kalsel. Diiringi goweser dari Barabai
dan beberapa goweser dari Tabalong yang menyambut di perbatasan kabupaten.
Rombongan tiba di Tabalong sekitar pukul 14.25 wita dan langsung menuju hotel
untuk beristirahat. Tim jelajah mengakhiri etape kedua di Hotel
Jelita, Tanjung, Kalimantan Selatan. Tanjung adalah kabupaten
perbatasan dengan Kalimantan Timur.
Karena konon malam ini akan
ada malam ramah tamah dengan jajaran Pemkab Tabalong, KONI Tabalong,
komunitas sepeda Tabalong dan pers. Setelah mencuci jersey dan pakaian
dalam. Setelah sholat Isya. Kelima puluh orang anggota tim jelajah
plus tim pendukung menuju pendopo untuk makan malam dan audisi dengan Bupati
Tabalong.
Makan Malam jadi
Makan Angin
Sambil menunggu makan
malam, saling kirim pesan via SMS dan WA. Isinya, pokoknya saling PHP
kalo malam ini akan makan besar. Karena akan dijamu bupati. Pasti
disediakan buah-buah lokal, seperti langsat, buah duren, buah lai dan
lain-lain. Pasti ada makanan tradisional yang tentunya akan memuaskan
lidah dan perut kita.
Tiba di pendopo
ternyata Bupati belum datang, yang hadir baru staf dan ketua KONI (katanya).
Bupati tidak dapat hadir karena harus menghadiri acara yang tidak dapat
ditinggalkan, kata stafnya. Rombongan pun dipersilakan makan malam.
Karena sudah amat sangat lapar. Tanpa diminta dua kali. Langsung menuju
meja parasmanan. Menunya nasi putih satu termos, soto banjar, dan sate
serta buah melon dan semangka. Semua makan dengan lahap dan pasti dengan porsi
yang cukup besar. Tak menyangka seorang pun. Kalau makanan yang ada di
meja makan itu adalah yang pertama dan terakhir. Tidak akan ada tambahan
makanan. Akibatnya, saat peserta yang makan baru sekitar 20an orang.
Makanan di atas meja sudah tandas. Peserta yang belum makan terpaksa
makan angin. Untunglah tim Kompas sangat tanggap. Dengan berbisik,
takut menyinggung tuan rumah. Yang belum makan, nanti dikirim nasi kotak
di hotel ya!
Karena mata sangat
mengantuk dan bupati dipastikan tidak akan hadir. Saat disajikan video
profil kabupaten Tabalong. Mengajak Om Baron dan Tante Endi untuk pulang
duluan. Tapi di pintu dicegat oleh Om Janes. “Mau kemana? Kan acara belum
selesai?”. Om Baron dan Tante Endi, spontan menjawab; “Lapar Om, gak
kebagian makanan!”. Om Janes sepertinya maklum; “Ya, sudah silakan pulang
ke hotel. Nanti di hotel ada nasi kotak ya!” Padahal mah rasa kantuk yang
luar biasa yang gak bisa diajak kompromi bukan karena lapar!
No comments:
Post a Comment