Mungkin karena tubuh masih penyesuaian waktu, tidur di hotel tidak menjadikan lelap juga. Jam 03.00 sudah terbangun. Satu jam sebelum morning call. Sementara my roommate kang Dede Supriatna masih pulas. Lengkap dengan desisan dan dengkuran halusnya mengingatkan dengkuran kucing tetangga yang tertidur di kursi depan. Berdoa semoga besok mendung, berawan atau hujan. Minta doa juga sama handai taulan di WA agar diteduhkan, didinginkan cuaca sehingga gowes tidak kepanasan. Mengingat cuaca kemarin yang super panas.
Jam 05.30 turun loby hotel Aston untuk sarapan. Tas pakaian dan tas pakaian kotor sekalian dibawa biar gak usah bolak balik ke kamar. Ruang lobby ternyata sudah dipenuhi oleh peserta yang juga sudah bersiap dengan etape pertama. Konon menurut bocoran, etape pertama relatif flat. Tidak ada tanjakan dengan permukaan sangat mulus dihotmix. Pukul 06.30 menuju tempat penyimpanan sepeda yaitu sebuah aula yang terpisah di depan hotel sejauh 100 meteran. Di depan aula tampak truk pengangkut tas dan kardus sepeda. Tidak beranjak dari tempatnya parkir kemarin sore.
Teringat kemarin sore salah seorang panitia, teriak-teriak melarang para peserta yang mencoba menurunkan barang-barang pribadi yang tersimpan di dalam tas atau kardus sepedanya masing-masing. Untuk menjaga agar tas atau dus tidak berantakan lagi karena sudah disusun rapi. Tapi, seorang peserta ngotot untuk tetap membongkar kardus sepedanya. Panitia itu tetap melarang. Tapi saat peserta itu (belakangan baru ngeh kalo dia Pak Heru) tetap ngotot juga. Tapi saat Pak Heru bilag, itu di dalam kardus saya ada pistolnya! Si panitia langsung bilang. Weleh...ya udah, turunkan, cepat turunkan! Jangan sampai hilang. Bahaya kalau sampai hilang! :p
Checking si spez sekali lagi, terutama baud RD yang kemarin patah. Setelah yakin aman. Menuju halaman depan hotel. Cuaca mendung, bahkan akhirnya hujan sekitar pukul 07.00 WITA. Menunggu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin, dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo yang rencana akan melepas peserta JSBB pada pukul 08.00 WITA. Hujan gerimis dan awan yang hitam menyertai keberangkatan peserta. Beberapa peserta memakai wind shielder atau jas hujan. Tapi, mayoritas tidak memakainya. Alasan mereka, gerah nanti juga kalaupun basah pasti kering dengan sendirinya di badan.
Checking si spez sekali lagi, terutama baud RD yang kemarin patah. Setelah yakin aman. Menuju halaman depan hotel. Cuaca mendung, bahkan akhirnya hujan sekitar pukul 07.00 WITA. Menunggu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin, dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo yang rencana akan melepas peserta JSBB pada pukul 08.00 WITA. Hujan gerimis dan awan yang hitam menyertai keberangkatan peserta. Beberapa peserta memakai wind shielder atau jas hujan. Tapi, mayoritas tidak memakainya. Alasan mereka, gerah nanti juga kalaupun basah pasti kering dengan sendirinya di badan.
Tepat pukul 08.00, setelah berdoa bersama ke-50 peserta jelajah sepeda beserta 20-an goweser lokal Banjarmasin bergerak saat bendera start dikibaskan. Di depan mobil patwal diserta raungan sirinenya bergerak menuju kota Rantau. Perjalan menuju Martapura full hujan gerimis bahkan sesekali ditempa hujan deras. Tapi justru hal itu menjadi berkah tersendiri. Karena cuaca dan suhu jadi tidak terasa panas. Rombongan dipimpin marshal Om Mega dan Om Aris menuntun rombongan untuk menyamakan putaran kaki dan kecepatan agar berkisar antara 25-30 km/jam. Di Martapura, sekitar 40 kilometer dari Banjarmasin, rombongan menarik nafas dan beristirahat sekitar 30 menit. Martapura adalah kota intan dan terkenal dengan batu akiknya di Kalimantan. Saat rehat di Martapura tersebut, beberapa pesepeda penggila batu akik langsung berburu batu akik di pusat jual beli batu permata di Pertokoan Cahaya Bumi Selamat. Sebagian kecil justru berfoto ria di alun-alun Zalekha, Martapura.
Antusiasme perburuan batu akik makin meningkat saat seorang peserta mengatakan, kalo membeli batu akik jangan beli satu-satu. Tapi harus milih 6-7 butir baru bayar sekian puluh ribu rupiah. Ternyata selain yang berjualan di toko-toko, ada juga penjual batu akik yang ditengteng. Jenis batunya tidak jauh berbeda dengan yang ditawarkan di toko. Untuk jenis green atau red Borneo, ditawarkan antara 80 ribu sampai 90 ribu per 7 butir. Setelah ditawar diberikan dengan harga cukup 60 sampai 70 ribu rupiah.
Ada cerita menggelitik tersendiri dari seorang srikandi yang ikut JSBB. Srikandi itu membeli batu akik mentahan berupa sebongkah batu dengan harga 250 ribu rupiah. Saat ia berjalan ke luar toko, dia ditawari batu sejenis dengan bongkahan yang juga tidak jauh berbeda cukup dengan 50 ribu saja. Lha, melongolah sang Srikandi itu. Karena merasa sudah diapusi. Ia kembali ke toko semula yang menjual batu seharga 250 ribu itu. "Pak, koq harga batu mentahan dengan jenis yang sama dan besarnya sama koq harganya murah banget?", protesnya. Tapi, dasar penjual dia beralasan kalau batu yang dijual di tokonya jauh lebih bagus, lebih tua, tembus dan alasan lain-lain yang masuk akal. Terpaksa deh Srikandi itu mengalah, karena dia terburu-buru membayar batu itu tanpa melihat ke toko lain dulu.
Ternyata benar perjalanan etape pertama hingga melewati
Martapura relatif cepat. Kecepatan bisa antara 20-28 km per jam. Karena jalannya selain mulus juga datar. Nyaris tidak ada tanjakan sama sekali. Dikawal raungan sirine polisi PJR di depan yang selama perjalanan rombongan juga dikawal para motoris Banjarmasin. Yang membantu peserta JSBB yang membutuhkan pertolongan, pengisian air minum atau mendorong pesepeda yang tidak kuat bila menemukan tanjakan yang sangat ekstrim.
Ketemu Tahu Sumedang
Tiba di km 70 pukul 11.40 ke 50 peserta JSBB berisitirahat di sebuah rumah makan, untuk makan siang dan melakukan sholat dhuhur bagi yang beragama Islam. Jauh-jauh dari pulau Jawa, eh...ternyata rumah makan itu rumah makan Sunda! Tulisan besar tampak di depannya: Rumah Makan Tahu Sumedang! Di atas meja makan, sudah disiapkan piring yang sudah berisi nasi putih, ikan goreng atau ayam goreng dengan bumbu serundeng. Lengkap dengan lalab sambel bahkan tahu Sumedangnya! Jadi para peserta tidak usah bingung-bingung memilih menu. Karena menunya pasti sama.
Langsung mengambil segelas teh manis dingin! Rasanya nikmat banget! Pada saat menyantap nasi putih. Sudah dibayangkan akan sama dengan nasi putih di rumah. Ternyata, nasi putihnya amat keras! Kang Budiman yang makan bareng juga mengatakan hal yang sama. Mungkin karena tanah di sini rata-rata gambut. Mengakibatkan nasi yang dihasilkan amat keras! Namun, apa boleh buat. Perjalanan masih 50 km di depan. Kalau tidak dilahap pasti kelaparan. Akhirnya, nasi keras itu pun tandas! :p
Setelah makan, Kang Budiman ngajak minum kopi. Saya mengiyakan, tapi minta kopi susu aja. Karena kebiasaan di Garut kalau sedang gowes, sesudah makan siang, di warung pasti pesan kopi susu. Bayangan saya kopi susu di sini akan sama dengan yang di Garut. Yaitu kopi susu sachet merek A** dalam 250 cc. Begitu kopi susu yang dipesan, datang. Melihatnya aja langsung kenyang. Ternyata kopi susu di sini adalah kopi bubuk biasa diberi gula lalu dicampur susu kental manis yang dihidangkan segelas besar penuh! Tidak menyangka seupil pun kalau kopi susu khas rumah makan tahu Sumedang ini menjadi malapetaka untuk jam tidur malamnya.
Setelah finish dan rehat untuk tidur. Di akhir etape pertama ini, malamnya tidak bisa tidur sekejap pun. Gedebak gedebuk, pindah posisi. Mencoba memejamkan mata. Otot kelopak mata malah pegal! Karena memang tidak mau dipejamkan sampai subuh! Praktis malam kedua di Borneo tidak tidur sekejap pun! Padahal esoknya Etape 2 sejauh 113 km menanti untuk dilahap!
Pada waktu melakukan sholat Dzuhur sedikit ada keraguan. Om Dimas dan seorang peserta yang makmum di belakang saya yakin dengan waktu sholat Dzuhur sudah tiba. Sementara saya lebih cenderung meyakini pendapat goweser setempat. Yang menyatakan Dzuhur belum tiba. Jadinya, saya mengulang sholat Dzuhur :)
Selesai makan siang, dan menunaikan sholat Dzuhur rombongan kembali bergerak pada pukul 13.30. Cuaca masih berawan. Cukup teduh. Tidak terlalu menyengat. Rombongan masih lengkap. Beriringan. Kang Coe sang Road Captain, bolak balik dari depan ke belakang, dari belakang ke depan. Sesekali mendorong peserta wanita ke depan barisan. Tak henti, mulutnya berteriak mengingatkan: "Pormasi dua-dua...!" bila ada peserta yang menyalip atau bergerak diluar barisan!
Perjalanan ke kota Rantau yang merupakan ibukota Kabupaten Tapin finish sekitar jam 16.15 WITA atau pukul 15.15 WIB. Kalo ngeliat kelakuan Kang Coe si RC yang bolak balik kaya setrikaan mengontrol pasukan. Jadi inget tukang angon bebek di sawah depan rumah, yang menggiring ke sana kemari barisan bebek. Sambil membawa tongkat kecil, untuk menggiring bebek yang nakal keluar dari barisan!
Terjadi kejadian lucu sekaligus bikin mangkel. Ceritanya saat mobil patroli memasuki sebuah bangunan yang bertuliskan selamat datang peserta jelaja sepeda Banjarmasin Balikpapan. Seluruh peserta pun meluapkan kegembiraan dengan saling bersalaman. Saling high five plus foto-foto narsis! Eh, tahunya Pak Polisinya miskomunikasi ternyata tempat finish masih jauh. Masih sekitar 3 km dari tempat finish tadi. Sambil, bertanya-tanya karena ketidaktahuan karena harus gowes lagi padahal sudah lelah. Sambil tersenyum kecut terpaksa gowes lagi!
Ketika sampai di penginapan ternyata rombongan kudu dibagi dua karena kamar penginapan tidak mencukupi untuk seluruh rombongan. Rombongan kedua kudu gowes lagi sejauh 2 km menuju Mecca guesthouse! Sebuah penginapan kecil, dua bed. Kembali sekamar dengan Kang Dede Supriatna. Tidur tidak bisa nyenyak karena AC mati plus minum kopi tadi siang! :(
(foto: pedalku.com, kompas)
No comments:
Post a Comment