Etape Kelima (123 km) : Grogot – Waru
Direncanakan etape kelima akan menempuh rute terpanjang yaitu 123
km. Menempuh rute dari Tana Paser, Kabupaten Paser, menuju Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara,
Kalimantan Timur akan start pada
pukul 05.30. Sarapan
yang biasanya pukul 05.30 pagi ini dimajukan pukul 04.30. Walaupun badan lemes karena kurang tidur, serta
paha dan betis yang mulai terasa pegal-pegal.
Tapi semua peserta masih bersemangat.
Bercanda ria dan bersenda gurau, bertukar ledekan atau berfoto bersama
selama sarapan. Senyum dan kelakar,
serta say hello yang full senyuman tetap menghiasi edisi
sarapan etape kelima ini.
Setelah sarapan, langsung checking
sepeda. Merupakan “aktipitas” rutin (pe-nya
pinjam lidah Kang Coe sang RC yang selama jelajah selalu berteriak “Pormasi
dua-dua! Ingat ya lidah saya lidah Sunda! Jadi itu harusnya pake “ep”!). Checking rem, kekerasan ban, shifter dan pastinya checking baud hanger RD pinjaman dari Om Rokhmat yang hanya menempel doang. Alhamdulillah semuanya masih OK! Walaupun ada sepeda cadangan milik
sponsor. Panitia sangat tegas terhadap
peserta. Sebelum sepeda yang dibawa
peserta benar-benar tidak bisa dipakai dan kerusakan masih bisa diperbaiki. Peserta tidak diijinkan untuk memakai sepeda
cadangan yang disediakan sponsor.
Makanya, setiap peserta kudu checking
sepedanya sebelum berangkat.
Pukul 06.15 setelah peregangan dan berdoa di
halaman depan Hotel Grand Sadurengas, tempat menginap. bendera start dikibarkan oleh perwakilan pemda setempat. Rute
yang ditempuh cukup panjang serta mengejar
waktu shalat Jumat. Walaupun rute yang akan ditempuh
merupakan rute terpanjang tetapi peserta jelajah akan beristirahat cukup
lama. Mengikuti waktu yang menunaikan
sholat jumat.
Sekitar satu kilo meter selepas start, rombongan jelajah berbelok
ke arah Tugu Gentung Temiang (Telaga Ungu), sebuah tugu berbentuk monument jam besar, mungkin ikon
Tana Paser. Bernarsis ria dengan berbagai pose. Sendiri-sendiri, berdua, bertiga, beregu dan
berombongan. Setelah polisi pengawal perjalanan
tiba. Pukul 06.40, peserta melanjutkan perjalanan. Disiram hangatnya sinar mentari pagi di Tana
Paser. Rombongan sepeda melaju melahap tanjakan
dan turunan yang silih berganti. Namun, badan jalan tidak semulus seperti di daerah
Kalimantan Selatan. Begitu meninggalkan Tana Paser, jalan rusak parah dan aspal berlubang telah menghadang.
Bersahutan saling mengingatkan: “Awas lubang!” atau dengan isyarat
tangan menunjuk lubang yang banyak menganga di atas jalan.
Di simpang Kuaro, sekitar 12 kilometer dari titik start, beristirahat mengingat banyak peserta yang
tertinggal cukup jauh dari rombongan depan.
Jalan dari titik awal yang didominasi tanjakan, menjadikan banyak yang
tertinggal dari rombongan. Sambil
melahap buah-buahan, kurma dan minuman
yang disediakan tim feeding. Beberapa peserta menyempatkan diri buang air
kecil, menumpang di sebuah warung bakso Solo.
Si Mas Bakso cerita kalo dia sudah 12 tahun mengembara dari Solo ke
Simpang Kuaro. Setahun bisa pulang 3
kali, berkah jualan bakso di Kalimantan.
Jalan aspal berlubang masih kudu dilewati oleh peserta jelajah sekitar 10 km. Kudu super hati-hati saat
menghindari jalan berlubang, karena banyak mobil dan truk yang melaju kencang
dari kedua arah. Jalanan masih didominasi dengan tanjakan
dan turunan. Di kiri dan kanan jalan terlihat hamparan kebun kelapa sawit. Sesekali tercium bau busuk dari getah
karet. Kang Aris yang membuka angin
dengan Om Ismet dengan dikapteni Kang Coe menggusur rombongan antara 28 – 32
km/jam. Padahal lutut Kang Aris masih bengkak
dan dibalut dengan kain mitela akibat terjatuh di perbatasan Kalsel-Kaltim
waktu bernarsis ria. Rombongan terus
melaju bersama, kompak kelima puluh peserta yang berpakaian hitam dengan motif
dayak melahap tanjakan demi tanjakan.
Neraka Bocor Ujian Mental
Perjalanan terasa lebih berat dari etape ketiga dan keempat yang didominasi
tanjakan, karena cuaca yang teramat sangat panas terik. Suhu udara
mencapai lebih 36 derajat celsius. Walaupun
belum memasuki tengah hari tapi kulit tangan dan wajah yang sudah dibaluri sunblock, manset, dan buff tidak mampu meredam bara panasnya
cuaca di Borneo. “Alllahu Akbar… ya Allah, tolong dinginkan, sejukan!” hati
berbisik dalam harap yang teramat sangat.
Dalam kayuhan yang tetap konstan, jersey hitam telah basah kuyup oleh
keringat. Motoris yang bertugas mengisi
vidon, cukup kewalahan mengisi ulang vidon para peserta yang terus bergantian
mengacungkan vidon kosong. Rasa haus dan lelah, benar-benar menguras fisik seluruh
peserta jelajah.
“Sepertinya neraka bocor!
Panasnya minta ampun!” seorang peserta berteriak. Cuaca panasnya hampir tak tertahankan oleh
para peserta jelajah. Namun, semangat
dan ketahanan fisik serta mental benar-benar diuji di etape kelima ini. Walaupun, fisik bagus tapi mentalnya
lemah. Bisa dipastikan minta dievak
dengan berbagai alasan. Sebaliknya, bila
mental kuat walaupun fisik lemah. Dalam
keletihan seperti apapun dalam bersepeda bila mentalnya kuat akan menguji dalam
kesabaran, ketabahan, kesetiakawanan dan mengendalikan ego seseorang.
Bersepeda itu olah raga yang sebenarnya melatih mental daripada
fisik. Seringkali pada waktu melihat
tanjakan yang curam. Beberapa peserta
melambatkan kayuhan dan mengacungkan tangan minta didorong. Bahkan, ada yang langsung minta dievak.
Tidak baik memang, tapi itulah uniknya bersepeda bisa menggambarkan mental dan
sifat seseorang. Bukan tinggi rendahnya
jabatan,pangkat atau keudukan; bukan mahal murahnya sepeda; bukan kaya miskinnya seseorang; bukan warna kulit yang dihargai dan dihormati
sesama goweser. Tetapi jiwa besar,
kesabaran, ketabahan dan kesetiakawanannya!
Dalam kelelahannya beberapa orang yang masih mempunyai cadangan lebih, ikhlas membantu marshal mendorong para srikandi yang kendor gowesannya. Beberapa kali Tante Intan dari KGC Jakarta yang terlihat mulai lusuh letih, lemah, dan lunglai,ibarat cucian yang kusut. Saat menghadapi tanjakan, dibantu bergantian oleh Om Rokhmat, Om Mega, Om Fami, Om Priyo, Om Imam, Om Dimas dan dewan penasehat Abah Ush. Supaya tetap dalam rombongan dan kebersamaan group KGC.
Tim marshal terus berusaha beberapa
kali mendorong peserta agar kuat menanjak dan mempertahankan laju di 28-32
km/jam demi mengejar waktu sholat jumat.
Karena jarak antara satu kampung dengan kampung tidak seperti jawa yang
rapat dan berdekatan. Di jalur lintas
Borneo ini, jangankan jarak antara satu kecamatan dengan kecamatan lain. Jarak antara satu atau
dua rumah yang dilewati di tengah perjalan, jaraknya bisa belasan kilo bahkan
puluhan kilometer. Untuk membakar
semangat, yang mulai redup karena fisik yang dihajar habis-habisan oleh cuaca
yang sangat panas. Sesekali terdengar Kang Coe berteriak: “Mana
Suaranyaaaa!!!” yang dijawab dengan sorakan yang nyaris tidak terdengar dan
tidak kompak lagi!
Jumatan Berpakaian Basah Kuyup.
Jarak sekitar 60 km yang telah ditempuh dari total sejauh 122,76 kilometer beberapa kali terdengar teriakan minta rehat
dari para peserta saat menemui masjid yang cukup besar. Walaupun memang waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11.00 WITA. Tapi sepertinya
bukan jumatan yang menjadi alasan utama.
Tapi rasa penat dan lelah dari fisik akibat cuaca panas dan tenaga yang
terkuras akibat digeber sejak dari awal! Bahkan, Kang Aris yang membuka angin
di depan hampir kebablasan mengangkat dan mengepalkan tangan tanda rombongan
harus istirahat. Untunglah Kang Coe yang
berada tidak jauh dari Kang Haris berteriak: “Bukan di sini! Sebentar lagi
masih di depan tempat istirahat mah! Nanti juga ada yang patwal yang mencegat!”.
Harapan untuk sedikit menarik nafas legapun sirna. Rombongan yang perlahan sudah mengurangi
kecepatan pun kembali melaju, ditarik perlahan pada kecepatan 28 km/jam. “Edan! Gak pada punya udel apa?!” , teriak
Amel, peserta wanita yang paling muda!
Ternyata kalimat “sebentar lagi” hanya PHP (Pemberi Harapan Palsu). Kondisi fisik dan mental sepertinya sudah
pada puncak kelelahan. Kayuhan kaki
hampir gak sinkron lagi. Kontroling handlebar
jadi gak lurus lagi, di tanjakan yang derajat kemiringannya aduhai dan panjang
membuat perjalanan akhir ke tempat jumatan terasa sagat lama sekali. Padahal jarak yang ditempuh tidak lebih dari
6-7 km saja.
Alhamdulillah, akhirnya terlihat dua orang petugas patwal yang member isyarat
agar rombongan menepi dan berhenti di masjid Nurul Ijtihad,
Desa Long Kali Kabupaten Paser, Kaltim. Yang terletak di depan sebuah
pasar yang cukup ramai dan perumahan penduduk yang cukup padat. Waktu menunjukan pukul 11.15. Menyandarkan
sepeda di tembok pagar mesjid, buka kacamata, buka helem, buka buff dan jersey
yang basah kuyup oleh keringat, buka sepatu dan kaos kaki. Hampir seluruh peserta mencari tempat yang
menurut pikiraan masing-masing nyaman dan teduh untuk beristirahat. Lagi-lagi hanya
mimpi dan pemberian harapan palsu semata, ternyata mesjid, warung kecil dan
rumah-rumah atau bangunan madrasah sekitar mesjid. Ternyata beratapkan seng!
Kepala udah “tuwing-tuwing” bin “kleyengan”
saking panasnya.
Sudah Digarang Masuk Oven pula
Bayangkan, sudah gowes sekitar 70 km dalam keadaan panas terik
membaranya sang raja cahaya. Dalam
keadaan letih dan baju basah kuyup oleh keringat, saat ingin beristirahat dalam
keteduhan. Ternyata yang ditemukan
atap-atap seng. Setelah digarang
habis-habisan, kudu masuk “oven” pula!
Saat makan siang, mungkin karena jarak yang sangat jauh serta cuaca
panas. Nasi yang ada pada kotak yang
dibagikan, hampir dua kali lipat dari biasanya!
Buwanyaaaak banget! Tapi keras! Lengkaplah sudah ujian dan cobaan hari
ini.
Dua kali jersey yang dicuci dan dipakai basah-basah di tubuh kering
hanya dalam waktu hitungan menit . Pada
waktu jumatan pun jersey kembali dicelupkan ke dalam air, diperas dan langsung
dipakai. Untuk mengurangi panas saat di
dalam mesjid. Kering hanya dalam waktu sesaat! Luar biasa. Terpikir juga kenapa ya koq ada orang yang
bisa hidup dan bertahan di daerah panas seperti ini. Sambil menunggu sholat jumat mengobrol dengan
anak-anak setempat yang berkumpul dan mendekati malu-malu. Setelah dibagi beng-beng, fitbar dan buah
peer perlahan mereka berani ngobrol.
Saat ditanya, memang setiap hari sepanjang tahun cuacanya panas
begini? Mereka serempak menjawab,
iya! Kadang-kadang hujan juga, tapi
tetap aja “hareudang” bin panas, kata mereka lagi.
Molor Waktu, Molor!
Panitia dan tim marshal sepertinya memaklumi cuaca yang teramat
panas. Rencana start kembali pukul 13.00
diundur menjadi pukul 14.00. Molornya
waktu terebut digunakan sebaik-baiknya oleh para peserta untuk molor. Bergelimpanganlah hampir semua peserta di
berbagai sudut mejid dan madrasah. Untuk
mengembalikan kesegaran fisik yang masih harus menempuh sekitar 52 km lagi
menuju kota Waru. Semua sudah memahami
betul kondisi fisik dan mental yang letih mengharuskan mereka lebih berhati-hati saat
mengayuh pedal. Salah satu recovery yang terbaik adalah tidur
sekejap tapi berkualitas. Lelap.
Walaupun sesaat. Tubuh akan kembali
segar.
“Priiiit, Priiiiit….!!!” Terdengar bunyi peluit tanda persiapan. Pukul 13.45. Walaupun hanya sekejap, terasa
nikmat . Semua bersiap-siap. Tak ada
umpatan atau omelan. Kembali bersiap dan
saling mengingatkan kalau-kalau ada barang ketinggalan. Om Nuzul goweser Tana Paser yang rencananya
akan mengantar rombongan sampai Balikpapan, menawarkan obat gosok berupa cream agar kaki tidak keram. Lumayan, paha dan betis yang asalnya terasa
pegal-pegal berkurang. “Ini obat gosok
asli dari Kalimantan Kang. Panasnya
sekitar 20 sampai 30 menit, tapi bagian tubuh yang diolesi akan enakan!, kata
Om Nuzul yang entah kenapa disebut Nuzul Edan karena selama perjalanan tidak
menunjukan gejala-gejala edannya hehehe….
“Tinggal 50 km, ayo semangat Yah! Semoga cuacanya didinginkan dan
diteduhkan!”, itulah pesan WA anak-anak dan anak mertua saya. Yang selama perjalanan berkomunikasi melalui
WA. Plus kirim-kirim foto untuk mengurangi rasa rindu akan rumah.
Perjalanan dilanjut dalam cuaca yang tidak berubah, sekalipun sudah
memasuki sore hari. Tanjakan dan turunan
bergantian menyambut rombongan yang sudah mulai gowes “goyang dumang”. Di kiri kanan jalan masih dipenuhi perkebunan
kelapa sawit dan karet. Jalurnya masih
lurus hampir tidak ada belokan kiri atau kanan. Rolling, rolling, dan rolling 50 pasang kaki mengayuh
bersamaan dan kompak menciptakan lagu kecepatan antara 28-32 km/jam (belakangan
Kang Aris berbisik, di speedo saya malah sampai 35 km/jam!).
Om Martha Mufreni sang pelatih, yang berada di belakang rombongan. Tiba-tiba menyusul dan berpindah
rombongan. Sepeda single gear-nya mengharuskan dia melakukan interval saat menghadapi tanjakan.
Tapi karena mungkin sudah letih, Kang Haris yang berada di depan
menyangka Om Martha sengaja menarik kecepatan rombongan yang memang mulai
melambat. Dan… terjadilan hiruk pikuk dan teriakan “huuuuu…!”, “Hihaaa…!”, “Hajaaar…!”
dan teriakan lainnya, yang diikuti meluncurnya para peserta yang menghajar
tanjakan dengan powernya! Ngebut semua dah! Rombongan pun jadi cerai berai tak
karuan!
Finish!
“Masih jauh gak Pak?”, Tanya saya
kepada polisi patwal.
“Ya, sekitar 7 km lagilah!”,
jawab polisi yang berbadan cukup tambun itu enteng.
“Ealah…Bapak mah PHP doang, dari
tadi tempat kita istirahat dibilangnya tinggal 10 km lagi! Udah hampir 23 km koq
gak nyampe-nyampe!”, timpal saya.
“Hehehe… kan biar semangat Pak!”
ucapnya lagi.
Tampaknya ucapan polisi patwal
itu kali ini tidak PHP lagi, saat Kang Idham yang pernah gowes touring di jalur
ini mengatakan hal yang sama. Paling 7
km lagi, saat keliatan kantor polisi berarti sudah nyampe di Waru! Kata Kang
Idham. Ternyata benar, setelah rehat dan
menunggu rombongan lengkap. Baru gowes sekitar 3 km. Suasana kota mulai terasa. Lalu lintas mulai ramai, lampu kiri kanan
terang benderang. Perumahan penduduk
tidak lagi didominasi atap seng.
Berganti dengan gedung-gedung dan rumah permanen. Kecepatan rombongan terasa makin bertambah
seiring dengan makin dekatnya tempat finish.
Tepat, pukul 17.45 WITA saat
rombongan melihat umbul-umbul dan baligo berwarna biru bertuliskan KOMPAS di
sebuah hotel. Rombongan pun serentak berteriak, “Horeeee…!!!”. Semuanya langsung masuk ke halaman
hotel. Tepuk tangan, high five dan saling salaman serta pelukan kebahagiaan bercampur baur dengan senyuman, tawa lebar dan mata yang berkaca-kaca! Etape kelima adalah perjalanan yang sangat super melelahkan. Kegembiraan tak henti, dibarengi dengan foto-foto bersama. Tangan saling bergandengan, salam komando, dan tawa lebar menghiasi foto-foto sore menjelang malam hari itu.
Di tempat parkir telah disiapkan
sop es buah dan aneka makanan khas.
Seperti kesetanan, semuanya serempak berebutan menyerbu sop es
buah. Idaman yang dibayangkan dicumbu
selama perjalanan yang panas membara selama siang ini. Menikmati, dingin dan manisnya sop buah yang saat melewati tenggorokan seperti terpenuhinya rasa rindu pada kekasih hati!
(foto2: dokter Monica dan om Dimas Basudewo)
(foto2: dokter Monica dan om Dimas Basudewo)
No comments:
Post a Comment