Oleh : Deny Suwarja
Gerbang 328, belakang Payung Besar, tempat Uang ditemukan |
Mudah sekali untuk mengenali asal negara dan kebangsaan mereka, cukup dengan melihat pakaian atau penutup kepala mereka. Kita sudah bisa membedakan asal negara mereka. Orang Pakistan, terlihat dari pakaian tradisional mereka yang dikenal dengan Syirwal, atasan dan bawahan rata-rata putih atau krem. Orang Afghanistan, tutup kepalanya berwarna hitam panjang dan diikat di atas kepalanya sedemikian rupa sehingga menjadi ciri khasnya. Orang Pakistan membiarkan penutup kepala di bagian dahinya melekuk ke atas. Sehingga pada waktu sujud bagian dahi, tidak terhalangi oleh penutup kepala tersebut. Orang Eropa Timur (Rusia, Dagestan, Azerbaijan, Tazikistan) bajunya ngepas di badan, seperti syirwal tetapi tidak gombrong, plus rompi khas bertuliskan asal negara mereka atau nama travel yang memfasilitasi keberangkatan mereka. Orang Turki, celananya panjangnya gombrong, baju atasannya dimasukkan kedalam celana panjangnya, sehingga terlihat jelas celana panjang tersebut dikencangkan memakain karet di bagian pinggangnya. Orang Bangladesh, atasan memakai baju seperti koko, tetapi ngepas banget di tubuh. Bawahannya, memakai kain sarung seperti orang Indonesia. Tapi, sarungnya lebih pendek. Satu pembeda yang paling jelas adalah, setiap orang Bangladesh melilitkan semacam kain yang lebarnya lebih kuran 5 meter berupa tenunan, yang digunakan untuk mengikat kaki ke tubuhnya pada waktu mereka merasa pegal saat duduk kelamaan.
Suhanallah...walaupun berbeda pakaian, berbeda kulit, berbeda bentuk mata, berbeda suku dan bangsa. Semua saling menyapa: Assalamu'alaikum, setiap berjumpa di mana saja dengan senyum di kulum atau senyum lebar. Saling menghargai dan menyapa atau mengucapkan terima kasih dengan menempelkan telapak tangan di dada. Bila ada yang tidak kebagian tempat duduk untuk sholat, dengan senang hati mereka berbagi dan menekuk lututnya sehingga yang tidak kebagian tempat duduk bisa ikut menyisip di sisinya. Bila ada yang egois, tidak memberikan. Maka, semua mengingatkan untuk tidak boleh egois, dan harus berbagi tempat duduk. Sesekali dari mereka dengan suka rela, mengambil air zamzam beberapa gelas plastik, kemudian diedarkan dengan penuh senyum kepada siapa saja yang merasa haus. Yang membawa makanan, akan berbagi dengan siapapun yang ada di sisi kiri atau kanannya. Yang mengantuk dan ingin tidur, dipersilakan tertidur tanpa merasa jengah. Karena, mungkin sepenanggungan, seperasaan yang diikat oleh keyakinan yang sama. Bahwa, mereka hadir di sana. Hanya untuk mencari keridhoan Allah semata.
Untuk tempat sholat, baik di Mesjid Haram atau di Mesjid Nabawi antara tempat sholat pria dan wanita dipisahkan. Jadi, tidak bisa suami isteri sholat di satu tempat yang sama. Jarak antara tempat sholat pria dan wanita terpisah rata-rata antara 50 sampai 100 meter. Dalam kumpulan ratusan ribu bahkan jutaan jemaah, bukan satu hal yang mudah untuk kembali bertemu bila kita berpisah dengan isteri, suami atau teman-teman kita. Makanya, untuk memudahkan kembali bertemu, kita janjian untuk bertemu di pintu gerbang nomor berapa. Di Mesjid Haram, kalau saya tidak salah lihat ada 210 nomor gerbang (gate) sedangkan untuk pintu mesjid ada 100 pintu. Pintu Masjid Nabawi ada 43 pintu dan 300 lebih gerbang pagar mesjid. Namun, karena sangat menyemutnya jumlah jemaah pada waktu bubaran sholat. Walaupun, sudah janjian di gerbang pintu sekian atau pintu mesjid sekian lengkap dengan ciri tempatnya. Seringkali, kita tetap saja cukup sulit untuk menemukan istri, suami atau teman kita. Jurus terakhir adalah video call! Eh, pas diangkat isteri, suami atau teman kita ada di belakang bahkan di depan kita. Akhirnya, suka pada melengos sendiri. Asem!
Pada saat kami, selonjoran karena sepertinya karpet yang diduduki baru ditinggalkan oleh jemaah dari negara lain. Tiba-tiba, Mang Iwan setengah berteriak campur kaget memanggil saya. "Pak...ada uang! Dua riyal! Dua lembar kertas!" Sambil memegang kedua lembar tersebut. Di sisi uang tersebut tampak sebuah kunci magnet hotel. Saya, periksa kedua lembar uang kertas yang terbungkus kertas resi pengambilan dari ATM. "Waduh...ini mah bukan dua riyal Mang! Tapi Dua ribu riyal jadi kalau dua lembar jadi empat ribu riyal! Berarti kalau dirupiahkan sekitar Enam belas juta rupiah!!!"
"Aneh ya Pak, kalau kita pegang uang kertas rupiah. Enam belas juta mungkin segepok uang kertas. Tapi, kalau riyal mah cuma dua lembar!" Ujar Mang Iwan tertawa. "Kasihan, yang punyanya ya Pak! Kebayang kebingungan!" katanya lagi. "Iyalah, pasti...jangankan enam belas juta rupiah. Kita aja yang kehilangan lima puluh ribu perak aja udah garuk-garuk kepala!" jawab saya lagi. "Udah simpen aja dulu mang. Tapi,jangan dipake apalagi di bawa ke tanah air. Inget, ini tanah haram!" Lalu saya ceritakan seorang teman yang mengalami kejadian hal yang sama, tapi di Mekah. Kemudian, uang yang tidak sedikit yang ditemukannya di bawa ke tanah air. Bisnisnya malah hancur tak bersisa!
Walaupun, baru mengenal Mang Iwan beberapa hari saja. Saya sudah mengetahui beliau orang yang jujur dan tawadhu. Terbukti, sekalipun uangnya puluhan juta tapi cara berpakaiannya tetap sederhana. Bicara apa adanya, dan selalu berterus terang bila ada sesuatu yang tidak berkenan. Hal itu terbukti, uang tersebut tetap dipegangnya dan tidak ingin diserahkan kepada sembarang orang. Bahkan, dia mencoba mencari kira-kira hotel yang menggunakan kunci hotel yang ditemukan bersama dengan uang tersebut.
Namun, hasilnya nihil! Mungkin, karena beban mental dan rasa takut yang berlebihan Mang Ipan jatuh sakit. Beberapa hari sebelumnya, isteri Mang Iwan juga sakit di bagian kepala selama dua hari, bukan hal yang mungkin beliau juga dibebani mental dan rasa takut yang sama di hadapan Allah. Bila, uang tersebut tidak kembali kepada pemiliknya. Di sisi lalin, tidak ingin menyerahkan kepada sembarang orang, bahkan polisi sekalipun yang tidak jelas.
Setelah berdiskusi dengan TL, Mang Yuda dan Om Andri, semua menganjurkan agar uang tersebut jangan sampai terbawa ke tanah air. Sebaiknya diserahkan kepada badan atau lembaga di mesjid yang mengelola pengurusan penemuan atau kehilangan barang jemaah di mesjid Nabawi. Masalahnya, kami belum mengetahui di mana kantor tersebut.
Beruntung. Alhamdulillah, pada saat akan pulang ke tanah air. Kita didatangi oleh Abdullah, seorang mahasiswa Indonesia yang mukim di Yaman dan pernah lama kuliah di Madinah. Dia menganjurkan uang tersebut diserahkan ke "Kantor Penemuan dan Kehilangan Barang" yang ada di depan Masjid Nabawi. Kita sepakat, karena mahasiswa tersebut sangat fasih berbahasa Arab dan orangnya bisa dipercaya (kita sudah sering bertemu dan berjalan dengan mahasiswa itu selama di Mekah). uang tersebut akan diserahkan ke kantor tersebut. Anehnya, setelah uang tersebut diserahterimakan kepada Abdullah. Mang Iwan pun sembuh dari sakitnya. Kembali bercanda dan bisa tertawa lepas.
Alhamdulillah, seminggu kemudian setalah tiba di tanah air. Mahasiswa yang bernama Abdullah tersebut mengirimkan foto-foto bukti bahwa, uang tersebut benar sudah diserahkan ke petugas di Kantor Penemuan dan Kehilangan Barang di depan masjid Nabawi.
Menurut informasi, uang tersebut akan disimpan dan akan diberikan kepada pemiliknya. Bila dia mengklaim dan bisa menunjukkan bukti kepemilikkannya dan menceritakan di mana kira-kira kehilangan uang tersebut serta menyebutkan berapa jumlah uang yang hilangnya dengan tepat. Namun, bila dalam jangka waktu satu tahun tidak ada yang mengklaim. Dipastikan uang tersebut akan digunakan untuk fisabilillah dimasukkan ke dalam infaq atau shodaqah. Bahkan, bukan hal yang mungkin diserahkan kepada penemu uang tersebut!
Wallahu a'lam bishowab!