Oleh: Deny Suwarja
Satu demi satu langkah, sepeda didorong dengan sisa tenaga yang
benar-benar nyaris sudah habis. Dihantui kabut yang mengejar di lembah, hati
makin ketar-ketir saat terdengar deru desah angin yang bertiup kencang.
Beberapa kali langkah kaki terperosok ke dalam jalan yang berubah menjadi
lubang dalam memanjang. Lebih dari tiga jam menapaki punggung Gunung Papandayan. Waktu menunjukkan
pukul 16.35 masih terjebak di hutan.
Hujan turun, kabut makin menebal, siap menerkam dengan jarak pandang
kurang lebih hanya 5 meter. Garmin sesekali dilihat, untuk memastikan arah
jalan yang benar. Sementara malam segera menjelang, membuat perasaan makin
mencekam...
KGC Garut Mountaibike pada 12 Maret 2017, Hari Minggu kemarin memilih
gowes adventure melalui rute Gunung Darajat-Puncak Cae-Cibeureum-Cisanti. Jarak yang ditempuh menurut Garmin 93,7
km. Perjalanan dimulai pukul 08.50 dari Gunung
Gagak, Darajat. Diawali turunan aspal
hotmix sekitar 2 km yang berakhir di jalan tanah rusak cukup berat. Drastis.
Jalan berubah jadi tanah yang becek. Licin, nyaris tidak bisa dilewati sepeda.
Kondisi makin diperparah dengan tanjakan pendek tapi cukup curam. Terpaksa sepeda dirayu untuk mau didorong.
Pukul 09.20 tiba di Puncak Cae, dijamu alam dengan pemandangan Bandung
Selatan yang super cantik. Biru langit dengan usapan awan putih tipis, menambah
kecantikan alam pagi itu. Nun jaun di bawah sana, bukit-bukit kecil yang dulu hijaunya
barisan tanaman palawija. Tidak tahan melihat kecantikan sang bumi
pertiwi. Menyempatkan diri, untuk
mengabadikan keindahan alam tersebut. Sejauh mata memandang, terbentang lukisan
alam hijau ranaunya perbukitan.
Perjalanan dilanjut dengan melahap turunan curam tanah merah. Jalan
walaupun lebar tapi karena banyaknya “pematang” dan “selokan” alami yang dibuat
aliran air. Menjadikan kudu waspada, diperlukan kontrol kemudi agar tidak terperosok. Beberapa kali
berpapasan dengan para pengendara motor dari arah bawah, yerpaksa harus
mendorong motornya dengan walaupun dihidupkan. Turunan jalur tanah merah habis lebih kurang 2
km. Berganti dengan turunan beton di tengah perkampungan. Sepeda bisa dipacu cukup kencang. Dibarengi awasnya mata karena banyaknya
anak-anak di sepanjang kampung yang dilewati.
Turunan yang relatif mulus sejauh 5 km, berakhir di sebuah jembatan
kecil. Tanjakan Darangdan, menghadang
dengan penampilan bengis. Kecuramannya membuat hati ciut. Mengingat
perjalanan masih amat sangat jauh, untuk menghemat energi. Kami berenam, lebih memilih untuk kembali
menuntun sepeda. Kecuali Mang Ruhiat dan Mang Obang yang bisa khatam sampai di
Jalan Raya Cibeureum!
Memulihkan stamina, di sebuah warung di pertigaan Cibeureum sambil minum
kopi dan kudapan ringan. Sepeda kembali
dikayuh menikmat tanjakan relatif ringan berupa aspal hotmix mulus. Cukup untuk hiburan setelah dihajar tanjakan
Darangdan. Sesekali berpapasan dengan
rombongan sepeda Federal dan beberapa onroader yang dipastikan baru pulang dari
Danau Cisanti yang berjarak 5 km dari pertigaan Cibeureum.
Mampir dan rehat di Situ Cisanti pukul 10.40. Membayar tiket Rp. 10.000
rupiah, sepeda bisa dibawa masuk ke dalam areal Situ. Berfoto ria sepuasnya dengan background beningnya air Situ Cisanti
dengan tulisan besar warna merah KM 0 CITARUM. Situ
Cisanti seluas 7 hektare itu dikelilingi perkebunan Talun Santosa,
puncak Gunung Wayang, Windu, dan Gunung Rakutak. Udaranya dingin dan mudah
berkabut. Di pagi hari, ketika matahari menyinari bagian tengah danau dan
meninggalkan garis cahaya keemasan di rerumputan pinggir danau. Kabut tipis dan
gulungan awan hitam memayungi hutan di punggung dan puncak gunung.
Setelah puas menikmati keindahan dan keanggunan Situ Cisanti selama 20
menit. Rombongan balik kanan menuju perkebunan teh Kertasarie Santosa.
Ada Raisa di Santosa
Kawah Papandayan! Itulah yang mengingatkan kami untuk segera cabut dari
Cisanti. Sepeda kembali dikayuh, mencumbu tanjakan landai nan panjang. Tidak terasa melelahkan karena selain aspal
hotmix mulus. Disepanjang jalan, mata dimanjakan pemandangan yang super duper. Cantik! Secantik
Raisa saat bersenandung lagu Terjebak Nostalgia. Benar-benar terjebak
nostalgia. Saat melewati lautan permadani hijau, perkebunan teh Santosa. Gunung Wayang, berselimut awan tipis yang
menghiasi langit biru saat itu makin mempercantik dan keanggunan pesona
perkebunan teh Santosa. Terlebih tiba di
pusat pabrik teh Kertasari. Tidak saja tubuh tiitup udara sejuk, tapi hati dan
perasaan terasa seperti berbalik ke jaman penjajahan. Semuanya, nyaris sempurna bernuansa semasa
penjajahan Belanda. Rumah-rumah eks Tuan
Afdeling, masih dilestarikan di perkebunan nyaris belum berubah. Ciri khas
bangunan Eropa. Arsitektur gaya art Deco
dengan tembok dinding putih tinggi, atap genting curam, dengan cerobong asap
berdiri dengan anggunnya.
Kaki kembali menginjak pedal, mencumbu jalan yang mulai sedikit berbatu.
Tidak terlalu menyulitkan, karena rata-rata ban sepeda berukuran 2.35 sampai
2.50. Sekitar 2 kilometer kemudian. Tiba di warung nasi langganan di pertigaan
Santosa-Sedep-Bandung. Kali ketiga makan
di warung nasi ini. Lumayan lengkap dan cukup untuk lidah orang Sunda. Ibu
warung sudah mafhum dengan pesepeda.
Saat tiba, dengan raah dia mempersilakan untuk makan parasmanan. Bahkan,
membekali kami dengan teh Santosa!
Pukul 12.30 saat akan menuju mesjid di bedeng Sedep. Tiba-tiba hujan
cukup deras. Menepi, sambil berdoa agar hujan segera reda. Doa terkabulkan.
Tidak sampai 10 menit hujan reda. Energi
yang sudah terisi, kembali memberikan semangat. Semua berpacu menuju mesjid. Jalanan turun
makadam ringan, lalu membelok dengan tanjakan di perbatasan Sedep. Dilahap tanpa
omelan, berpacu menuju mesjid. Saat berwudhu, air yang menyentuh anggota wudhu seperti
air es. Wajah dan tubuh kembali terasa
segar. Kemudia sholat berjamaah dijama taqdim Dhuhur dengan Asyar.
Perjalanan dilanjutkan menyusuri tanjakan demi tanjakan. Jalan yang dilewati kondinya jauh berbeda,
sewaktu kami melewatinya 3 tahun lalu. Sekarang nyaris semua rata dibeton.
Mulus. Sehingga tanjakan yang panjang pun tidak lagi terasa melelahkan.
Pemandangan tetap memikat, mata terus berputar menikmati pesona demi pesona
yang ditampilkan lukisan alam. Seorang
teman kami bahkan berujar: “Seandainya ada yang menawar 10 juta sekalipun,
pemandangan ini tidak akan saya jual!”
Kayuhan makin dipercepat saat mulai terlihat pertigaan Neglasari sebelum
Cibutarua. Suasananya jauh lebih “maju”
dibanding tiga tahun lalu. Terminal
sederhana sudah mulai dibenahi. Lengkap dengan tukan tambal ban, warung nasi,
warung baso dan warung kelontongan. Dari pertigaan ini jalan berubah menjadi
makadam dan berakhir di monumen Cibutarua! Udara sejuk dan dingin, sepertinya
membantu kondisi tubuh kami. Tiba di
warung terakhir, karena sesudahnya tidak ada warung lagi. Ranselpun dipenuhi
dengan persediaan air dan kudapan ringan yang cukup banyak. Mengingat tiga tahun lalu, di tengah hutan. Saking
hausnya teman kami, sampai merelakan cincin batu yang dipakainya dengan sebotl
air teh yang dibawa penyabit rumput!
Di warung sempat menjalin keakraban dengan anak-anak keluarga pemetik
teh. Pakaian mereka masih sangat sederhana. Kusam, dekil bahkan sudah ada yang
robek. Kepala mereka tertutup peci hitam
yang juga sudah pudar warnanya. Sarung dilendangkan pada masing-masing bahunya.
Mereka berkerubung mengelilingi sepeda. Sesekali
menyentuhnya. Sempat terjadi dialog
menggelikan. “Jang, pernah ka Papandayan
teu?” Tanya saya. “Pernah atuh, sering
malahan. Deukeut atuh Pak teu sajam-sajam acan ka Papandayan mah!” jawab
seorang anak. “Hah? Nu bener? Naha, meni
gancang euy!” Seru saya kaget. “Tuh tidieu oge katinggali atuh Papandayan mah!”
Tunjuk seorang anak. Kami jadi
mesem-mesem sendiri. Ternyata yang dimaksud anak-anak itu kampung Papandayan.
Bukan Kawah Papandayan! Kampung terakhir sebelum masuk ke perkebunan teh di
punggung Papandayan!
Tanjakan makadam dengan batu-batu lepas di tengah perkebunan teh mulai
memperlambat kayuhan. Bahkan, akhirnya dituntun karena tidak gowesable. Dua
orang teman yang mencoba, memaksa gowes. Malah terpeleset dan terjatuh. Waktu
menunjukkan pukul 14.50. Terlambat setengah jam untuk tiba di punggung gunung
Papandayan! Kalkulasi rasional pun muncul di kepala. Bila sampai pukul 17 belum
mencapai punggungan yang Papandayan.
Lebih baik putar balik. Pulang
lewat Bandung. Mengingat kabut tebal dan hujan yang bisa menjadi ancaman
serius.
Sepeda kembali dikayuh, menyusuri jalan khas perkebunan. Kiri kanan,
tampak lubang dalam penuh air. Bekas dihajar ban truk yang membawa hasil
palawija. Praktis, harus mengambil jalan
tengah. Itupun siswa tergerus oleh gardan mobil. Kesejukan dan keindahan pesona perkebunan teh
serta sejuknya udara, menambah semangat yang mulai memudar. Untuk menambah semangat, sesekali berhenti
mendokumentasikan pemandangan atau sekedar selfi.
Hari menjelang petang, mulai sering berpapasan dengan para petani yang
mengangkut hasil tani mereka. Ban motor tuannya menggunakan. Memperparah jalan tanah yang sudah rusak
parah. Walaupun sudah kali keempat
melewati jalur ini. Ada istilah malu
bertanya sesat di jalan. Untuk meyakinkan arah yang benar ke kawah Papandayan,
kamipun bertanya kepada mereka. Lucunya,
setiap petani yang ditanya. Memberikan jawaban dan saran yang berbeda! Akhirnya, runtuhlah sudah pepatah tersebut.
Malah berbalik menjadi, banyak bertanya sesat di jalan! Hampir satu jam
berputar-putar di tengah perkebunan teh.
Waktu sudah menunjukkan pukul 14.45.
Jalan utama di punggungan Papandayan belum ditemukan juga. 15 menit lagi
tidak ditemukan, dipastikan balik kanan!
Diselamatkan Pohon Mati
Pada saat kritis, dan kebingungan seperti itu. Untunglah terlihat di jalur setapak. Di
punggungan gunung, bayangan “seorang pengendara” motor. Remang-remang terhalang kabut. Kamipun potong
kompas, memaksakan diri mendaki perbukitan dimana “motor” itu terparkir. Ternyata pandangan keliru tidak selamanya
menyesatkan. Pengendara motor yang
terlihat dari bawah, setelah didekati ternyata hanya seonggok pangkal pohon
yang sudah mati. Untungnya, jalan yang
“ditunjukkan” oleh pohon itu adalah jalan yang biasa dilalui untuk tiba di
kawah Papandayan. Ternyata sekarang,
jalur setapak sudah hancur oleh motor! Dalam sekali. Terpaksa mengambil jalur ke kiri atau ke
kanan, bahkan terpaksa ambil posisi mengangkang sekaligus mendorong sepeda!
Pilihan posisi yang buruk diantara yang
terburuk. Sangat meletihkan dan menguras tenaga. Licin, dan seringkali terperosok.
Makin ke puncak punggungan bukit. Jalan setapak yang dulu, paling
digilai oleh para pesepeda dari Bandung untuk meluncur sampai ke Cibutarua itu
sudah seperti selokan! Memanjang dari
puncak bukit sampai ke bawah. Berlanjut sampai ke perkebunan palawija dan
gubug-gubug para petani biasa menunggui kebunnya. Praktis, sepeda sudah tidak bisa digowes.
Bahkan, untuk mendorong ke atas, posisi mengangkang dengang mendorong sepeda
terus menerus harus dilakukan. Menguras tenaga, pikiran dan mental. Selain, rusak parah. Tanah yang tertimpa
hujan, menjadi licin. Menjadikan langkah kaki, diayun satu demi satu. Plus
kabut tebal dengan batas jarak pandang paling 5 – 10 meter saja.
Setelah bersusah payah berjuang, yang menghabiskan energi dan
meruntuhkan mental. Jalan utama yang berupa makadam akhirnya ditemukan. Jam menunjukkan 17.15. Jalan berbatu menuju Lawang Angin yang tiga
tahun lalu masih bisa didaki dengan digowes. Saat itu tidak berbentuk. Hanya
berupa aliran air dengan kondisi batu lepas.
Sepeda terpaksa didorong terus di tengah hujan deras sampai kurang lebih
15 menit kemudian tiba di jalan yang gowesable.
Tiba di Lawang Angin (Ghober Hut) yang merupakan gerbang Papandayan dari
arah Pangalengan pukul 18.05. Gelap dan
berkabut tebal! Berhenti di sebuah
warung tempat para pendaki ngaso.
Berganti pakaian dan memasang senter.
Setelah beristirahat sebentar. Setelah berdoa bersama, kembali sepeda
harus didorong. Sepeda yang pada siang hari, dari Lawang Angin bisa ditunggangi
ala kuda binal. Malam itu mah
boro-boro. Memasuki “lorong” sempit hutan
cantigi yang menurun, beberapa kali beberapa kali terperosok ke dalam lubang
atau terpeleset dan jatuh. Situasi kondisinya sangat mencekam, karena tangan
dan kaki sudah tidak mau berkoodinasi dengan otak karena kelelahan. Di sisi
lain kudu menuruni jalan berbatu yang terjal.
Melewati lembah terakhir, sebelum kawah. Mengucap puji syukur
Alhamdulillah. Karena walaupun malam dan
berkabut. Masih terbantu dengan putihnya asap dari kawah. Membantu arah yang dituju. Pukul 18.45 akhirnya tiba di pelataran Kawah
Papandayan. Berupaya mengambil foto
sebagai barang bukti dengan cahaya seadanya dari senter. Setelah itu meluncur, melewati tangga demi
tangga yang belakangan dibuat oleh pengelola swasta di Papandayan. Setelah itu langsung meluncur ke Garut dan
tiba pukul 21.35. Total jarak yang
ditempuh lebih kurang 93,7 km dengan jarak tempuh hampir 16 jam.