Janji gowes ke Cihurip bertiga Wa Muksin
dan Mang Yudi sangat mendadak. Untung tidak ada agenda gowes.
Tiba di Bayongbong, Wa Muksin dan Mang
Yudi sudah menunggu di depan sebuah toko alat-alat outdoor. Langsung perjalanan di lanjut. Jam
menunjukkan pukul 07.30.
Wa Muksin yang lebaran pertama kalinya memakai sepatu cleat sudah
diwanti-wanti. Hati-hati karena saya sampai terjatuh sampai 7 kali pada
awal-awal memakai cleat.
Melewati Kecamatan Cisurupan di sebuah mesjid berhenti sebentar
untuk buang air kecil. Sambil menarik nafas. Gowesan kaki dibuat seringan
mungkin menghemat tenaga mengingat perjalanan ke Cihurip membutuhkan energi
yang lumayan. Maklum kontur dan medannya yang bisa dibilang “sangar”
tanjakannya. Tiba di Cikajang pukul 09.50
WIB tanpa istirahat, langsung menuju ke Batu Tumpang. Sedikit tersendat di
pasar Cikajang. Karena banyaknya kendaraan yang parkir di kedua sisi depan
pasar Cikajang yang lumayan rame. Pedagang, becak, sepeda, dan bejibunnya motor
menambah kemacetan di sana.
Sekitar 2 km dari pertigaan jalan menuju Singajaya/Cibalong, saya
yang berada persis di belakang Wa Muksin dibuat kalang kabut. Karena tiba-tiba
Wa Muksin keliatan limbung. Saat shifting sepertinya kurang mulus, akhirnya
rantai keluar dari jalur crank. Nyangkut. Sementara kakinya belum terbiasa
refleks. Untunglah masih kontrol. Saya ambil kanan dan tancap pedal secepat
mungkin menyusul Wa Muksin. Dan...bruk!
Bener aja beliau “jatuh bego” sambil tertawa. “Satu kali Wa!, tinggal 6 kali
lagi!!!”, teriak saya. Sambil ngakak! Mang Yudi, yang berada di belakang Wa
Muksin juga ikut ngakak!
Tiba di Batu Tumpang pukul 10.40 rehat di warung nasi langganan.
Udara yang mendung, di ketinggian daerah Batu Tumpang menambah perut minta
diisi. Tapi kita tahan, karena ada harapan akan makan nasi liwet di Cihurip
nanti. Jadi cukup pesan susu coklat, dan
makan lontong, tahu, gehu, bala dan kawan-kawannya. Cukup mengenyangkan. Sepuluh menit kemudian dilanjutkan gowes
tinggal menikmati jalan turunan. Praktis hampir bisa dibilang dari Batu Tumpang
menuju pertigaan Ciparay sejauh 15 km jalan menurun tapi berkelok-kelok jadi kudu
super hati-hati. Langit pun mulai
menangis, hujan gerimis. Kabut menyapa
kami diselingi desiran angin yang dingin.
Baru kurang lebih 5 km, kami dipaksa harus berhenti karena hujan mulai
deras.
Wa Muksin yang ngebut dengan KHS-nya saya teriakin, “Wa, hujan...
berteduh dulu di warung!”.
Wa Muksin tersalip, saat mendekati warung. Baru saja si Heisty
akan diparkir. Tiba-tiba Wa Muksin, berteriak-teriak panik! “Eh, Eh, Eh.....!!!”
dan terdengar “Bruk” untuk kedua kalinya terjatuh. Saya dan Mang Yudi kembali
ngakak, diikuti gelak tawa dua orang tukang ojeg yang juga ikut berteduh. Yang
akhirnya ikut membantu Wa Muksin yang tertindih si KHS. “Lupa euy... cleatnya
gak dibuka dulu!”, kata Wa Muksin.
“Dua kali wa! Berarti masih lima kali lagi!”, ujar saya sambil
ngikik dan ngangkat jari tangan!
Setelah memakai wind shielder/jas hujan, perjalanan dilanjutkan
kembali menikmati turunan. Tidak sampai setengah jam jarak 15 km sudah habis
dilalap. Nyampe di pertigaan Cihurip, narsis sebentar untuk barang bukti(barbuk). Jantung sempat berdegup kencang, karena
adrenalin seperti mengalir dengan cepat. Betapa tidak saat mengambil foto, di
seberah lembah tampak motor jauuuuuuhhhh.... berada di atas, kemudian
menghilan. Muncul kembali sudah dibawah! Berarti? Turunan dan tanjakan super
curam!!!
Benar saja tidak sampai satu menit dari pertigaan, jalanan
langsung turun curam. Berakhir di sebuah jembatan yang melintasi sebuah sungai
yang cukup lebar dan dalam. Airnya tampak bening walaupun deras. Tak kuasa menolak keindahan alam yang masih
perawan. Kami pun kembali foto-foto di atas jembatan bahkan Wa Muksin dan Mang
Yudi turun ke sungai untuk mengambil beberapa foto.
Sepeda kembali dikayuh, langsung dihajar tanjakan jahanam. Gak ada
datarnya, naik curam dan berkelok-kelok. Untuk sedikit terbantu oleh permukaan
jalan yang sudah full hotmix. Kalau makadam mah mending “jualan es” alias TTB
ajalah, mana si Heisty mah bannya kecil. Sempat beberapa kali terlontar
pertanyaan, masih jauh Wa? Tanya saya ke Wa Muksin. Ya, lumayanlah udah
deket. Kirain deket teh, ke Kecamatan
Cihurip. Ternyata, deket sampai “punuk” bukit. Selanjutnya turunan
curaaaammm....Terus turun gak ada datar atau tanjakan lagi. Kantor Kecamatan
sudah terlewati, alun-alun Cihurip, SD, SMP, SMA, Puskesmas terlewati. Tapi gak
nyampe juga. “Tanggung, mending kita ke air terjun Cibadak dulu!”, jawab Wa
Muksin yang diprotes oleh Mang Yudi. Ternyata informasi yang diberika Wa Muksin
bahwa jalan ke air terjun Cibadak adalah hotmix, dan kita bisa memakai ban
kecil. Cumah PHP (Pemberian Harapan Palsu) belaka. Ternyata jalan hotmix hanya
sampai kota kecamatan. Selebihnya jalan ke air terjun adalah makadam jahanam.
Wa Muksin yang memakai ban besar mah ngaciiiirrr. Bahkan, beberapa kali
berhenti untuk menunggu saya dan Mang Yudi yang terpaksa TTB sambil
geleng-geleng kepala. Karena batuan di jalanan yang jauh dari harapan. Bahkan
beberapa kali masuk lumpur!
Alhamdulillah, setelah TTB dan sesekali gowes. Dengan dipandu oleh
dua orang anak yang diperkirakan baru kelas 4 SD memakai sepeda motor. Kita
akhirnya tiba di air terjun Cibadak.
“Hihaaaaaa!!!!”, saya berteriak saya melihat air terjun yang
sangat tinggi lebih kurang 100 meteran. Putihnya air yang mengalir deras dari
puncak bukit, jatuh ke bawah membentuk 4
anak air terjun yang besar pula. Walaupun tidak tinggi tapi sangat indah untuk
dipandang. Rumput dan tanaman perdu
menghijau ranau disekitar area air terjun. Setelah narsis dan mengambil foto
yang tidak ada puasnya. Kami pun melakukan sholat Dhuhur.
Saat berfoto ria, beberapa kali melontarkan teriakan “ngeri”
bagaimana kita nanti kembali ke atas? Namun, dengan kesabaran walaupun kembali
harus TTB dengan perut yang sudah terasa lapar sampai ke ubun-ubun! Dihajar
tanjakn yang gak ada putusnya dengan makadam dan batu bahkan lumpur. Fisik kami
benar-benar habis. Bahkan, Mang Yudi di sebuah warung kecil. Terpaksa membeli
air kemasan. Setelah lebih kurang satu jam, perjalanan akhirnya berakhir di
kantor kecamatan. Langsung disuguhi makan siang menuju magrib dengan menu ayam
goreng kampung dadakan, sambal, sayur rebung, dan lalab daun singkong plus nasi
hangat! Alhamdulillah,nikmat bangeeet sampai nambah 2 kali nasi. Bahkan, daging
ayam yang sepertinya 2 ekor, dimamahbiak, sampai habis, dan tersisa hanya
sepotong leher!
Jam 17.30 kami masih tertahan di Kantor Kecamatan Cihurip. Diputuskan
untuk diloading mencari pickup borongan milik warga setempat. Tapi tidak ada,
akhirnya mau tidak perjalanan dilanjut. Dengan penerangan seadanya, tapi cukup
membantu menikmati tanjakan. Yang super curam. Ibaratnya datang seperti di
surga karena turunan, pulang seperti neraka karena tanjakan. Tapi, karena gelap tanjakan tidak terlalu
terasa. Jam 20 lebih sudah bisa tiba di Batu Tumpang kembali. Teman-teman
beberapa kali menelepon dan sms menanyakan posisi. Bahkan, mereka siap untuk
menjemput. Tapi karena, posisi sudah relatif aman dari Batu Tumpang mah. Kami
bertiga menolak. Untunglah hujan hanya
gerimis, karena jalanan relatif turun. Jam 21.30an tiba di rumah.
What a great day, and a long day indeed! Hampir 120 km pulang
pergi.
Terharuu akuuuu
ReplyDelete