Gegeplak adalah makanan khas Jawa Barat, khususnya di kampung saya. Mungkin ada juga dari teman-teman yang tidak mengenal gegeplak. Apatah anak-anak zaman sekarang. Berbeda dengan geplak yang terdapat di Bantul yang terbuat dari parutan kelapa, santan. Gegeplak buatan Emak kami sangat khas. Harum dan lezat sekali. Terbuat dari tepung beras ketan, santan, gula aren dan parutan kelapa.
Masih terbayang dalam ingatan. Pada sekitar jam 10 malam takbiran. Emak selalu membuat kue gegeplak untuk anak-anaknya. Sering kali saya menyaksikan bagaiman gegeplak tersebut dibuat. Tepung beras ketan yang sudah diayak, disiram dengan air gula aren hangat-hangat. Sebelumnya, tepung beras untuk bahan gegeplak tersebut digarang sampai berwarna agak kekuningan. Sambil dicampur air gula aren hangat dan parutan kelpa. Adonan tersebut kemudian diaduk rata menggunakan tangan. Digulung, didorong, digulung, didorong di dalam baskom besar. Sambil terus ditambahkan rebusan air gula aren hangat, sedikit demi sedikit.
Adonan yang telah kalis dan bercampur rata, sedikit demi sedikit juga ditambahkan tepung beras. Sampai akhirnya menjadi padat. Berwarna merah kecoklatan. Selanjutnya dicetak dengan menggunakan cetakan dari kayu berbentuk jajarangenjang atau cukup ditekan, diratakan dengan sebuah botol yang digelindingkan di atas adonan yang terletak di dalam tampah. Setelah, rata dan memenuhi permukaan tampah dengan tebal lebih kurang 0,5 cm kemudian diiris-iris menggunakan pisau. Dibentuk sama persis seperti cetakan jajaranggenjang.
Setelah selesai, dan siap dimakan. Emak melanjutkan aktifitasnya dengan menggoreng rangginang. Saat ditanya. Jawaban Emak, setiap tahun pada malam yang sama, pasti memberikan jawaban yang sama pula. "Nanti kirimkan ke mesjid ya! Untuk yang takbir di mesjid!", biasanya tidak hanya gegeplak dan rangginang. Emak, juga menambahkan satu teko kaleng kopi hitam panas-panas!
Serpihan catatan ringan. Mungkin tidak bermakna bagi orang lain. Tapi sangat membekas dan memberikan arti diri si GuruDess. Hanya cerita biasa, pengalaman dari pernak-pernik kehidupan
Wednesday, August 7, 2013
Tuesday, August 6, 2013
Peupeuncitan
Hari terakhir puasa, adalah saat-saat yang kritis untuk puasa seorang anak yang baru belajar puasa. Betapa tidak. Pada hari itu, hampir tiap orang tua mengusahakan untuk memotong unggas. Baik membeli atau atau didapat dari peternakan sendiri.
Aneka makanan olahan pun dihidangkan dengan aneka rasa, aneka rupa. Mulai dari kentang goreng yang dicampur dengan petai, opor ayam yang dimasak santan dengan pepaya muda, daging semur, daging bistik (beepstick), kubis yang diiris kecil2 plus bihun yang dibumbu kecap dan masih banyak lagi.
Tercium harum masakan itu dari setiap rumah.
Setelah semuanya matang dan siap. Anak-anak beriringan saling antar makanan ke rumah tetangga. Menggunakan baki yang ditutup sehelai koran atau rantang susun. Tak jarang saling berpapasan. Saling tertawa menanyakan arah tujuan baki atau rantang yang berisi olahan makanan. Masih terasa kental rasa kekeluargaan dan gotong royong. Makanan tersebut, dikirimkan sebagai tanda silaturahmi. Mohon maaf lahir batin serta rasa syukur kepada Illahi karena telah berhasil melewati puasa ramadhan.
Tak jarang, karena terlalu banyak makanan yang dikirim dari puluhan tetatangga. Karena tidak mau ribet. Makanan yang diterima tersebut hanya dipindahpiringkan. Dikirimkan kembali kepada tetangga yang lain. Lucunya, sepertinya perilaku memberikan dan makanan yang diterima tersebut. Juga dilakukan oleh tetangga kita. Akibatnya, bukan sekali dua kali justru makanan yang dikirimkan oleh kita kepada si Anu, malah kembali ke rumah! :)
Saat hari raya Idul Fitri tiba, pagi-pagi sekali Emak saya telah menyiapkan makanan hasil olahan tersebut dimasukan ke dalam wadah yang disebut "besek" yaitu wadah yang terbuat dari bambu. Biasanya, selama malam takbiran, beliau tidak pernah tidur. Sibuk memasak, mengolah kue "gegeplak" dan menggoreng rangginang. Yang rutin dikirimkan oleh beliau ke mesjid, sebagai makanan camilan untuk mereka yang mengumandangkan takbir di dalam mesjid. Emak, biasanya mengirimkan besek-besek dengan menggunakan "nyiru" atau tampah tersebut sebanyak 10 buah. Begitupun para tetangga, melakukan hal yang sama.
Saat usai, sholat Idul Fitri di mesjid. Jemaah tidak langsung pulang, tapi duduk sendiri untuk "hamin". Berdoa, berkumpul mengelilingi susunan besek-besek yang jumlahnya puluhan buah. Tidak aneh berjumlah puluhan, karena setiap rumah minima mengirimkan 5-10 besek. Setelah selesai berdoa langsung bersalaman. Pulang ke rumah masing-masing. Saat keluar dari mesjid, setiap tampah yang tertumpuk kemudian, dimuati besek sejumlah orang yang dibagi rata. Masing-masing telah dititipkan pada anak atau keluarga atau perwakilannya.
Pada waktu tiba di rumah. Lagi-lagi terjadi hal lucu, ternyata besek-besek yang diterima oleh kita adalah besek-besek yang dikirimkan oleh Emak tadi pagi :) alias mereka kembali!
Karena, saking banyaknya olahan masakan tersebut. Seringkali, emak harus memanaskan di dalam satu wajan. Aneka macam hidangan tersebut disatukan, dipanaskan berulang-ulang dalam satu wajan. Maka jadilah makanan baru khas lebaran, yaitu Tumis Haseum!
Subscribe to:
Posts (Atom)